Aku tahu, mungkin Salim sudah bosan menagih hutangnya. Tapi mau bagaimana lagi. Walau dia tidak kaya, tapi termasuk teman yang mudah dipinjami uang. Dia orangnya paling tidak tegaan melihat temannya dalam kesulitan. Aku beruntung berteman dengannya.
“Tuh kan, kamu sangat butuh uang. Sudahlah tak usah ragu lagi, pakai saja uang di dompet itu!” mendadak suara bisikan aneh itu kembali muncul dalam diriku.
***
(“Tidaaaaak...tidaaakkk.....!
Bukan aku yang mengambilnya, bukan...bukan aku!”)
“Bangun, Mad! Bangun.....bangun......!” pekik Ghofur membangunkanku.
“Ada apa Fur?” tanyaku masih kebingungan sambil mengucek-ngucek mataku, nafasku masih tersengal-sengal dan detak jantungku terasa kencang.
“Kamu ngigau, sampai teriak-teriak keras sekali”
Lalu Ghofur mengambilkanku segelas air putih. Aku pun meminumnya dengan perlahan.
“Lain kali kalau mau tidur jangan lupa berdoa ya!” saran Ghofur padaku. Lalu kulihat ia meneruskan shalat sunnahnya. Kulirik jam dinding menunjuk angka tiga.
Setelah aku merasa tenang, aku mencoba mengingat-ingat mimpi yang barusan kualami. Dalam mimpi sepertinya aku sedang dikerubungi oleh santri-santri di sini. Semua telunjuk menuding ke arahku. Mereka menuduhku telah mencuri uang milik salah satu santri. Aku membantah dengan keras, karena seumur hidup aku belum pernah mencuri. Tapi mereka menunjukkan bukti dompetku yang penuh berisi uang. Mereka terus menudingku, dan aku pun bersikeras menyangkal tuduhan itu.