Aku masih ingat betul ketika masih SD, diminta untuk membantu orang tua menuai padi memakai anai-anai. Padinya sangat lebat dan tinggi-tinggi, melebihi tinggi badanku. Padi itu diikat seperti pocong untuk dibawa pulang dan dijemur hingga kering. Lalu padi disimpan di lumbung atau dengan cara digantung tak jauh dari tungku dapur. Ketika dibutuhkan, padi-padi itu ditumbuk memakai lesung kayu.
Itulah sekelumit kenangan masa kecil menjadi bocah dari keluarga petani. Namun kini semuanya telah sangat jauh berbeda. Modernisasi dan globalisasi telah mengubah segalanya. Tiada lagi anai-anai, bajak kerbau, lesung kayu, nasi manis dan pulen tanpa pupuk atau obat kimia, sawah masih banyak ikannya karena belum tercemar.
Petani tidak lagi mencangkul karena sudah ada mesin traktor. Ia tak lagi menyiangi tanaman karena sudah ada herbisida. Ia tak lagi repot dan berkotor-ria mengurus kotoran hewan karena sudah ada pupuk kimia. Ia tak perlu menumbuk padi dengan alu karena sudah ada mesin selep. Dan ia tak harus menunggu padi hingga umur enam bulan atau lebih karena sudah ada benih padi hibrid yang hanya berumur sekitar tiga bulan saja.
Pola Pikir Pragmatis
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah merubah semua lini kehidupan, termasuk di dalamnya perubahan revolusioner dalam bidang pertanian. Selain mempengaruhi pola kerja, juga berpengaruh dalam pola pikir dan budaya petani. Gaya hidup instan yang merupakan ciri utama globalisasi dan industri kapitalisme kian merasuk dalam sikap dan perilaku petani.
Keinginan dan nafsu untuk memperoleh hasil panen yang melimpah dan dalam waktu yang relatif singkat, membuat petani rela melakukan apa saja, meski itu membawa efek negatif dan merusak lingkungan. Kerakusan dan keserakahannya tega memunahkan makhluk hidup lain dan mengganggu keseimbangan ekosistem dari mikro-makrokosmos.
Pupuk kimia telah menggantikan pupuk organik. Tinggal beli terus ditabur. Sedang pupuk organik (kandang) repot mengumpulkannya, bau dan kotor, juga prosesnya lama. Padahal pupuk inilah yang aman tanpa efek samping, menggemburkan tanah dan banyak jasad renik, tanpa biaya karena bisa dibuat atau disediakan sendiri, dan menghasilkan panen yang berkualitas.
Sementara penggunaan pupuk kimia membuat tanah menjadi keras (bantat), padi yang dihasilkan tidak steril, dan tentunya perlu modal tambahan untuk membelinya. Demikian halnya penggunaan obat rumput atau obat serangga bisa mencemari lingkungan dan mematikan habitat dan mikroorganisme.
Dampak kerusakan lingkungan sudah luar biasa dan sangat mengkhawatirkan. Beberapa spesies rumput-rumputan punah. Belalang, kupu-kupu, kinjeng, dan beberapa serangga lain semakin susah dijumpai. Hewan air seperti belut, ular, bekicot, keong, orong-orong, ikan-ikan kecil nyaris langka. Termasuk cacing tanah dan mikroorganisme penggembur tanah ikut pula terbasmi. Seakan-seakan yang boleh hidup dan eksis hanyalah padi atau tanaman lain yang menguntungkan petani.
Pada petani sayur dan buah, kini ada pula obat untuk mempercepat tumbuh tanaman dan mempercepat atau memperbesar buah. Maka jangan heran jika ada kangkung atau bayam yang hanya beberapa minggu sudah panen. Ada tanaman buah yang umurnya hanya dua bulan dan buahnya lebih besar. Sayur dan buah juga nampak mulus dan segar karena banyak obatnya, sehingga hama atau serangga tidak mau memakannya. Ulat, belalang, jamur, atau bekicot takut untuk mendekat.
Dicengkeram Kaki Kapitalisme
Berbagai realitas di atas, seakan para petani tak bisa melepaskan diri segala macam obat. Selain budaya hidup yang mulai malas dan tak mau repot, juga ada perasaan (dan keyakinan) bahwa kalau tidak diobat belum merasa puas, ditambah pula hasrat untuk memperoleh hasil yang cepat dan banyak. Sebuah lingkaran yang kian mengukuhkan gurita industri kapitalistik.
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)
Hingga pada akhirnya muncul banyak keluhan bahwa penggarapan sawah dan perawatan tanaman “lebih besar” daripada hasil panen yang diperoleh. Hal ini dikarenakan membengkaknya biaya tenaga kerja, pembelian obat dan pupuk, serta biaya perawatan dan pemanenan. Belum lagi jika harga obat dan pupuk naik, ada permainan harga ketika panen tiba, serta mahalnya biaya buruh tani karena semakin langkanya orang yang mau bekerja sebagai petani.
Akibatnya, budaya konsumerisme pun melanda para petani. Ketergantungan kepada obat dan pupuk kimia, ketergantungan kepada buruh dan pekerja tani, ketergantungan kepada mesin dan alat pertanian, termasuk juga benih pun tak lagi dapat disediakan sendiri. Jika dulu petani dianggap profesi yang paling produktif, karena segalanya dibuat, diciptakan, dan disediakan sendiri; sekarang segalanya harus membeli.
Penjajahan kapitalisme global kian menancapkan kuku-kuku liarnya ke ranah pertanian. Kepemilikan lahan oleh orang atau sekelompok orang tertentu, penyewaan lahan oleh perusahaan, pemilik sawah yang kini menjadi buruh karena lahannya dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan diperparah pula oleh beralih-fungsi lahan pertanian menjadi perumahan atau toko.
Parahnya lagi, tangan kapitalisme semakin diperkuat oleh kekuasaan negara lewat berbagai peraturan dan kebijakan yang bersifat massal dan homogen, kurang memperhatikan karakteristik wilayah dan konteks petani itu sendiri, sehingga hasilnya malah tidak maksimal dan tidak tepat sasaran. Kebijakan mekanisasi pertanian, budidaya varietas tertentu, teknik pemanenan dan pengolahan pascapanen, serta penentuan harga seringkali terkesan dipaksakan dan malah merugikan petani.
Ketika biaya pengolahan lahan dan penanaman sudah kian membengkak, ketika saat panen tiba, petani masih dihadapkan pada kesulitan pemasaran dan harga jual yang tidak memadai. Banyak pihak yang mempermainkan harga, sehingga harga produk pertanian tertentu anjlok. Bahkan, pada beberapa komoditas susah menemukan pembeli. Akhirnya petani rugi karena biaya produksi lebih besar daripada hasil yang diterima.
Penutup
Pelan tapi pasti, kapitalisasi di sektor pertanian memang tidak bisa kita elakkan, sebagai konsekuensi logis dari perkembangan teknologi. Salah satunya adalah mekanisasi pertanian yang membuat sistem kerja menjadi lebih cepat, efektif, dan efisien. Namun di semua bidang, selain membawa dampak positif, kemajuan teknologi juga selalu membawa efek negatif. Selain kerusakan lingkungan alam, juga berpengaruh terhadap aspek-aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Masalah pengangguran, budaya konsumtif, gap kaya dan miskin, kecemburuan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan masih banyak lagi. Semoga bisa menjadi perhatian kita bersama.
*) Seorang petani juga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H