Yerusalem memiliki sejarah yang amat sangat panjang, berlangsung ribuan tahun lamanya. Sejak zaman kuno hingga era modern sekarang, Yerusalem selalu mengukirkan sejarahnya yang lebih didominasi konflik dan kekerasan daripada kedamaian sebagai sebuah tanah suci.
Selama ribuan tahun Yerusalem dikuasai oleh bangsa-bangsa secara silih-berganti. Komunitas Yerusalem pun sangat plural dan multikultural. Berbagai bangsa, bahasa, dan agama mendiami Yerusalem. Terkadang ada masa-masa damai dan toleransi, tapi masa perang dan pertikaian begitu melelahkan dan tak berkesudahan.
Inti persoalan bermuara pada satu hal: sebuah geografi sakral. Dimulai sejak era Daud dan Sulaiman, yang meninggalkan sebuah rumah suci (Baitullah)[1] di Bukit Zion yang menjadi simbol dan kebanggaan bagi kaumnya Bani Israil. Baitullah merupakan sarana untuk berkomunikasi dan mendekat kepada Tuhan, di tengah-tengah komunitas sekelilingnya yang penyembah berhala (pagan).
Baitullah ini berulang kali hancur dan dibangun kembali. Pernah dihancurkan oleh Nebukadnezar dari Babilonia, oleh para penguasa Yerusalem, atau hancur oleh sebab gempa. Yerusalem silih berganti dikuasai oleh imperium-imperium besar, mulai dari Romawi, Makedonia, Babilonia, Assiria, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Tentara Salib, Ayyubiyah, Fathimiyah, dan terakhir Turki Utsmani.
Konflik di antara tiga agama pemicu utamanya adalah perebutan sebuah geografi sakral. Konflik itu terjadi antara Yahudi dan Kristen, Kristen dan Kristen sendiri, maupun Yahudi dan Islam. Masing-masing agama mengklaim bahwa Yerusalem adalah kota suci mereka. Klaim agama satu menafikan yang lainnya.
Yahudi mengklaim bahwa Yerusalem (terutama Bukit Zion) merupakan kuil peninggalan Sulaiman. Kristen mengklaim bahwa di sinilah Yesus disalibkan. Sedangkan Islam meyakini bahwa tempat inilah titik awal Muhammad saw naik ke langit untuk bertemu Tuhan.
Ada masa-masa damai dan penuh toleransi, seperti pada zaman Umar bin Khattab ra, era Shalahuddin al Ayyubi, maupun era Turki Utsmani. Shalahuddin mengizinkan kaum Yahudi untuk tinggal dan mengurusi kuil suci/tembok barat, sedangkan Utsmani malah menganjurkan kaum Yahudi di diaspora untuk berbondong-bondong bermukim di Yerusalem. Selebihnya lebih banyak diliputi oleh perselisihan, pertikaian, hingga konflik berdarah.
Sayang sekali, dalam rangka memperebutkan geografi sakral di antara tiga agama, jutaan nyawa manusia melayang sia-sia dari ketiga pihak akibat perselisihan dan peperangan yang berkepanjangan. Pembantaian Romawi dan Babilonia terhadap kaum Yahudi, Perang Salib, hingga era sekarang konflik Israel-Palestina yang tak berkesudahan, telah meninggalkan begitu banyak korban jiwa, harta, dan tanah air.
Esensi Agama
Inti ajaran agama bukanlah terletak pada klaim terhadap sebuah geografi sakral, atau merasa sebagai pewaris paling sah akan sebuah tempat suci; akan tetapi hakihat beragama adalah bagaimana praktik agama yang dilakukan sehari-hari mampu menumbuhkan cinta-kasih kepada sesama tanpa ada diskriminasi. Perbuatan baik dan cinta-kasih adalah buah dari peribadatan dan pengabdian kepada Tuhan. Tanpa kasih-sayang dan keadilan, untuk apa agama diadakan dan dijalankan.
Geografi sakral hanyalah sebuah simbol dan warisan masa lalu. Tidak perlu diperebutkan apalagi hingga pertumpahan darah. Tuhan tidak hanya bersemayam di tempat-tempat suci. Tuhan tidak hanya hadir di Yerusalem atau di Mekah-Madinah saja. Tuhan hadir dimana-mana dan kapan saja.
Permasalahan utamanya adalah: bersediakah kita membuka hati kita untuk tempat hadirnya Tuhan???
(Ditulis setelah membaca buku “Sejarah Yerusalem” karya Karen Amstrong)
[1] Ada yang menyebutnya dengan Bait Allah, Haikal atau Kuil Sulaiman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H