Oleh: Trimanto B. Ngaderi
“Kebenaran yang takut engkau ungkapkan di tempat gelap,
kelak akan berkumandang di keramaian;
agama yang kau pelajari di tempat-tempat sunyi,
kelak akan bergema di atap-atap rumah”
(Isa Almasih)
Kisah Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua) adalah kisah tujuh pemuda yang sangat gigih mempertahankan keimanannya kepada Allah swt, karena tekanan penguasa Romawi yang zalim dan penyembah berhala. Walau mereka adalah pengikut Nabi Isa as yang hidup jauh sebelum Nabi Muhammad saw lahir, kisahnya diabadikan secara detail dalam Al-Qur’an surat Al Kahfi.
Banyak versi tentang nama raja, nama tempat, lokasi gua, maupun nama-nama dari pemuda ashabul kahfi sendiri. Yang jelas, peristiwa tersebut terjadi di wilayah kerajaan Romawi di kawasan Timur Tengah. Di kerajaan tersebut menganut paganisme, yaitu menyembah dewa-dewa. Ada dewa Jupiter, Apollo, dan lain-lain. bahkan raja Romawi pun mengaku pula sebagai dewa (Tuhan). namun beberapa warga kota dan para penasihat kerajaan menganut agama Masehi (tauhid), termasuk puteri raja sendiri.
Karena telah sekian lama mengalami ancaman siksaan berat maupun pembunuhan, para pemuda memutuskan untuk bersembunyi di sebuah gua, yang pada akhirnya mereka ditidurkan oleh Allah swt di sana selama 300 tahun (Masehi) atau 309 tahun (Hijriyah). Lalu mereka dibangunkan kembali setelah segala sesuatunya berubah.
Terlepas dari berbagai versi yang ada, intisari dari kisah tersebut adalah tentang “kegigihan seseorang dalam mempertahankan iman”. Walau di bawah tekanan dan ancaman sebesar dan sedahsyat apapun, mereka tidak mau melepaskan keimanan dan mengikuti penyembahan berhala. Padahal di kala itu, tidak sedikit yang telah disiksa berat, dipenjara, bahkan sebagian dibakar hidup-hidup dan disalib.
Untuk sementara waktu, banyak di antara pemeluk agama tauhid yang menyembunyikan keimanannya, berdakwah secara sembunyi-sembunyi, atau melakukan pertemuan di tempat-tempat rahasia.
Puncak peristiwa terjadi ketika Kaisar Roma berkunjung ke kota tersebut. Para pemuda mengikrarkan keimanannya di hadapan jamuan akbar kerajaan. Tidak hanya itu, mereka berani menghina kaisar dan mencemooh para dewa. Raja marah besar dan menangkap mereka dan kemudian dipenjarakan. Namun mereka dibebaskan oleh penjaga penjara sendiri yang tertarik untuk mempercayai adanya Tuhan.
Dalam pelariannya, mereka menuju sebuah gua di luar kota, tak jauh dari desa Raqim. Di sinilah Allah menidurkan mereka selama 300 tahun lamanya.
Kebenaran Janji Tuhan
Dalam tekanan dan penindasan yang maha dahsyat, para pemeluk agama tauhid sering bertanya: kapan penderitaan mereka akan berakhir, kapan Tuhan mengalahkan orang kafir dan memenangkan agamaNya, kapan mereka dapat beribadah dengan tenang tanpa gangguan dan ancaman, kapan agama ini akan bersinar menerangi dunia, dan seterusnya.
Ketika mereka dibangunkan atau dibangkitkan kembali, mereka tercengang hampir tak percaya, karena segalanya telah berubah 180 derajat. Di kerajaan, patung dan berhala tidak ada lagi, rumah ibadah bertebaran di mana, orang menyebut nama Tuhan di segala tempat, bahkan di istana, raja dan keluarganya telah beriman.
Melihat semua itu, mereka bersyukur atas rahmat Tuhan atas segala yang baru saja mereka saksikan, semakin yakin akan kebenaran janji Tuhan, dan betapa Allah mahakuasa atas segala sesuatu.
Mereka ingat akan ucapan Isa Almasih: “Kebenaran yang takut engkau ungkapkan di tempat gelap, kelak akan berkumandang di keramaian; agama yang kau pelajari di tempat-tempat sunyi, kelak akan bergema di atap-atap rumah”.
Kebenaran Hari Kiamat
Peristiwa dibangunkannya (dibangkitkannya) para pemuda ashabul kahfi dari tidurnya yang sangat panjang selama 300 tahun, adalah bukti nyata akan datangnya Hari Kebangkitan (Hari Kiamat).
Bahwa Allah kelak akan menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, membangkitkan mereka kembali untuk dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatannya di dunia. Amat mudah bagi Allah untuk membangkitkan orang dari kematian (tidur).
Bagi Tuhan, waktu sebentar atau lama tiadalah bedanya. Mau tiga jam, tiga hari, tiga bulan, atau 300 tahun. Hal ini terbukti dari dialog di antara para pemuda ashabul kahfi sesaat setelah dibangunkan. Ada yang merasa hanya tidur sebentar, ada yang merasa hanya tidur beberapa jam saja, atau cuma tidur semalam. Oleh karena itu, alangkah ruginya orang-orang yang menyia-nyiakan waktunya untuk melakukan perbuatan buruk atau melawan Tuhannya.
Titik Tolak Perhitungan Kalender
Dalam Al Qur’an, disebutkan bahwa para penghuni gua tidur selama 300 tahun atau 309 tahun. Hal ini bisa dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan penghitungan kalender. Jika dihitung menurut sistem Masehi, maka tidurnya ashabul kahfi adalah selama 300 tahun. Sedangkan jika dihitung menurut sistem Hijriyah, maka lamanya adalah 309 tahun.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa peristiwa ashabul kahfi selain sebagai mukjizat yang hanya bisa dipercaya dengan dasar keimanan, juga bermuatan ilmiah (teknologi), yaitu sebagai dasar perhitungan kalender.
Akhir kata, mencermati kisah ashabul kahfi bukan membuat kita malah meragukan atau mengingkarinya; tapi diharapkan dapat semakin memperkuat iman dan bersemangat dalam meniti jalan Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H