Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ngegas atau Ngerem: Pelampiasan atau Pengendalian

14 Oktober 2015   09:43 Diperbarui: 14 Oktober 2015   12:47 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hidup ibarat kita mengemudikan kendaraan bermotor. Harus pandai-pandai memainkan alat kemudi. Kapan saatnya ngegas, kapan saatnya ngerem, kapan pula saatnya dalam keseimbangan (tidak ngegas maupun tidak ngerem). Kalau kita lihai dalam menjalankan kemudi, sudah barang tentu perjalanan kita akan selamat.

Demikian halnya dalam menjalani hidup di dunia ini. Kita harus pandai-pandai mengelola hati dan pikiran (perkataan dan perbuatan). Kita harus cerdik dalam mengatur sikap dan emosi. Kapan kita berbicara dan kapan kita harus diam. Kapan kita harus mengekspresikan isi hati dan pikiran, kapan pula kita menahan diri untuk tidak mengungkapkannya. Bila kita harus bersikap dan berbuat, bila pula kita no-action.

Banyak konflik dan masalah terjadi tak lebih karena kita tak mampu mengelola diri kita. Seharusnya kita ngerem, kita malah ngegas; atau sebaliknya. Kita lebih banyak salah dalam bersikap, berbuat, menentukan pilihan, atau menempatkan sesuatu secara tepat. Bahkan, kita bukanlah pengendali (controller) diri kita sendiri. Tapi kita membiarkan sesuatu di luar diri kita yang mengendalikannya. Ya, faktor eksternal: suasana, sikap orang lain, keadaan, dan segala sesuatu yang ada di luar kekuasaan kita.

Kita terbukti sebagai bangsa mudah sekali menghujat, mencaci, menyalahkan orang lain, hingga meluapkan amarah dengan merusak, mengamuk, membakar, dan perbuatan anarkis lainnya. Kita tidak bisa sabar, menahan diri, sareh. Kita sering kehilangan kendali, kehilangan nalar sehat, kehilangan hati nurani. Kita terbiasa menghembuskan dendam-kesumat, kita terbiasa menunjukkan naluri kehewanan kita.

Maka, sering kita jumpai tawuran pelajar, perang antarkampung/suku, amuk massa, perusakan fasilitas umum, pembakaran gedung pemerintah, adu jotos anggota DPR, dan masih banyak lagi. Kita mendadak menjadi bangsa yang beringas, liar, garang, bahkan kejam.

 

Kendali di Media/Media Sosial

Beragamnya jenis media/media sosial, memudahkan kita untuk berinteraksi dan menjalin pertemanan yang tanpa batas. Tanpa batas usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial, agama, suku bangsa, letak geografis, dan seterusnya. Kita pun bebas mengungkapkan sesuatu, berekspresi, menanggapi, berkomentar, dan lain sebagainya.

Nah, kita pun terkadang tidak pandai ngegas atau ngerem, terutama dalam hal berpendapat, berkomentar, atau menilai. Tak jarang kita merasa paling benar sendiri dan menyalahkan orang lain. kita tak tahan untuk tidak berkomentar yang negatif dan destruktif, yang mengarah kepada pelecehan, penghinaan, hingga yang bernada fitnah. Sering pula kita menilai secara asal dan tanpa bukti, menuduh atau menyimpulkan seseorang itu sesat, kafir, syiah, antek Yahudi, ekstrimis, teroris, kiri, dan cap atau label buruk lainnya.

Kita buru-buru broadcast sesuatu yang belum jelas sumbernya, belum valid kebenarannya, belum nyata kejadiannya. Selanjutnya kita dengan yakin menyebarkan ulang, lalu diterima secara viral oleh yang lainnya secara tidak utuh, untuk kemudian disebarkannya lagi. Demikian seterusnya. Dan pada kebiasaannya, sesuatu yang buruk dan belum jelas hal ihwalnya, amatlah mudah menyebar secara cepat. Anehnya lagi, orang lain pun dengan dengan sigap meresponnya dan melakukan seperti orang-orang sebelumnya. Sepertinya kita sudah tak tahu lagi kapan mesti bicara, kapan mesti menahan diri, dan kapan harus diam.

 

Manakah Jatidiri Kita

Sebenarnya sudah lama kita dikenal sebagai bangsa yang beretika, memiliki tatakrama, tinggi moralitas. Kita diakui sebagai bangsa yang religius. Seyogyanya kita menunjukkan kepada dunia kehalusan budi, kemuliaan akhlak, keindahan tingkah laku, dan keluhuran sikap. Seharusnya nilai-nilai dari agama dan kepercayaan yang dianut, terpancar dalam sikap dan perilaku keseharian. Budaya-budaya lokal pun tak kalah memiliki nilai yang agung dan mumpuni.

Kita seolah-olah telah kehilangan jatidiri kita sebagai pribadi maupun sebagai warga bangsa. Kita telah menjadi yang bukan diri kita sendiri. Hanya karena perbedaan pendapat atau   perbendaan keyakinan, kita rela bermusuhan atau berkonflik. Hanya karena bernafsu ingin memenangkan calon tertentu, kita rela berbuat curang dan melakukan intimidasi terhadap pihak lain. atau gara-gara kita serakah, mendapatkan yang lebih banyak untuk kepentingan diri dan atau golongan/kelompok, kita tega mengorbankan orang lain atau pihak yang lemah.

Akhir kata, marilah kita renungkan bersama. Sudah saatnya kita kembali kepada jatidiri kita yang asli, sebagai bangsa Indonesia yang berperadaban adiluhung. Sebagai bangsa yang memiliki warisan budaya yang memiliki nilai dan karakter agung. Dan yang terpenting, kebiasaan dan perilaku yang tidak baik kita perbaiki bersama dan menggantikannya dengan hal-hal yang positif.

Jadilah bangsa yang lihai dalam ngegas atau ngerem, yang ahli dalam menentukan kapan mesti berbuat kapan mesti berdiam diri. Hiduplah seperti karet, kapan tegang kapan statis, dan kapan lentur (elastis).

(Bandung, Beji; 10/10/2015)

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun