Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ruang Publik Berbasis Budaya: Tantangan Baru Tata Ruang Perkotaan

29 September 2015   10:11 Diperbarui: 29 September 2015   10:50 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RUANG PUBLIK BERBASIS BUDAYA:
TANTANGAN BARU TATA RUANG PERKOTAAN
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan perkotaan, diperlukan tata ruang kota yang baik dan tepat, sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan penduduknya. Tata ruang kota diperlukan baik oleh kota yang sudah lama ada, terlebih bagi kota yang sedang mengalami pemekaran (perluasan) maupun suatu kawasan yang dijadikan sebagai kota yang benar-benar baru. Salah satu tata ruang kota yang perlu mendapat perhatian serius adalah prasarana dan sarana ruang publik.

Rustam Hakim (1987) mengatakan bahwa ruang umum pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu maupun kelompok, dimana bentuk ruang publik ini sangat tergantung pada pola dan susunan massa bangunan.

Pada umumnya, ruang publik adalah ruang terbuka yang mampu menampung kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan antarmanusia untuk saling berinteraksi. Karena pada ruang ini seringkali timbul berbagai kegiatan bersama, ruang-ruang terbuka ini dikategorikan sebagai ruang umum. Bentuk ruang publik dapat berupa jalan, pedestrian, taman, plaza, fasilitas transportasi umum (halte) dan museum.(menurut Project for Public Spaces in New York, 1984).

Ada tiga indikator yang perlu dijadikan acuan dalam pembangunan infrastruktur ruang publik, yaitu kebutuhan manusia, jumlah penduduk, dan aktivitas manusia itu sendiri. Pembangunan ruang publik dimulai dari perencanaan tata ruang, penyusunan program, detail desain hingga penetapan biaya. Termasuk berbagai pertimbangan, baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan lingkungan.

Ruang Publik Berbasis Budaya
Dalam pembangunan prasarana dan sarana ruang publik, aspek budaya terkadang kurang mendapat perhatian yang proporsional; bahkan di beberapa kota pertimbangan budaya menjadi terabaikan.

Budaya dalam konteks tata ruang kota meliputi perilaku, kebiasaan, tatacara, pandangan hidup, nilai yang dianut dalam kehidupan sehari-hari; yang nantinya akan berkaitan dengan bagaimana ia bersikap, merespon, dan memanfaatkan ruang publik yang tersedia. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap apakah ruang publik tersebut tepat sasaran, sesuai dengan budaya setempat, serta memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Bukan ruang publik yang hanya sekedar sebagai pelengkap sarana kota, yang kotor tak terawat, fasilitasnya rusak, dan jarang sekali dikunjungi/dipakai oleh orang.

Sebagai contoh di sini, saya kemukakan yang ada di kota saya sendiri, yaitu Surakarta. Di sepanjang jalan protokol Slamet Riyadi, dibuatlah city walk, area khusus bagi pejalan kaki. Area ini cukup representatif dan nyaman, ruang yang cukup lega, tidak terganggu oleh pedagang kaki lima atau parkir kendaraan, ditambah segarnya rimbunnya pepohonan. Hal ini memang cocok dengan budaya orang Solo pada umumnya yang suka berjalan-jalan. Termasuk tabiat orang Solo yang santai, tidak tergesa-gesa, alon-alon waton kelakon. Dalam jarak tertentu, disediakan pula ruang publik berupa pusat jajanan khas Solo (kuliner), bagi mereka yang ingin sarapan atau melepas lelah.

Contoh lain adalah Taman Balekambang yang masih satu komplek dengan Stadion Manahan dan pasar burung Depok. Taman Balekambang adalah taman milik Pemda Surakarta yang merupakan ruang publik terpadu segala ragam fasilitas dan sarananya. Ada taman yang luas, danau buatan, kebun binatang mini, auditorium (pagelaran), dan gedung kesenian yang sering mementaskan sendratari, teater, pameran, ketoprak, dan kesenian daerah lainnya. Hal ini sesuai dengan kebiasaan orang Solo yang suka sekali menikmati hidup dengan bersantai sembari menikmati hiburan lokal yang jarang ditemukan di tempat lain, apalagi di media elektronik.

Di depan pintu gerbang Taman Balekambang ada ruang publik yang biasa dipakai untuk lomba kicauan burung. Sarana  ini dibangun untuk memfasilitasi mereka yang menyukai klangenan (hewan piaraan) dan tradisi adu kicauan.Hal itu dilakukan pula oleh Pemda Surakarta untuk ruang publik lainnya seperti Taman Sriwedari, area sekitar Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan, Taman Keprabon, Edupark UMS, dan lain-lain.

Pembangunan prasarana dan sarana ruang publik di atas oleh pemerintah kota Surakarta sangat memperhatikan aspek budaya, ruang publik yang benar-benar pas dan sesuai dengan cermin budaya orang Solo; sesuai dengan selera, harapan, rasa, karakter dan tradisi keseharian warga. Dampak positifnya adalah ruang publik terawat dengan baik, ramai dikunjungi warga, dan dicintai (rasa memiliki).

Tantangan ke Depan
Ruang publik yang seharusnya free dan menjadi milik bersama, bisa jadi dimanfaatkan yang bersifat komersial. Misalnya untuk tempat berjualan, tempat memasang reklame iklan, atau malah sebagai ruang publikasi kampanye partai/tokoh tertentu. Bahkan, di kota tertentu dikenakan retribusi tertentu untuk masuk dengan alasan untuk menambah pendapatan daerah.

Ada pula ruang publik yang nganggur dan tak terpakai, terlihat kotor dan tak terawat. Padahal tempatnya bagus dan fasilitasnya lengkap. Bisa jadi pemda setempat kurang mempertimbangkan berbagai faktor, baik faktor teknis maupun nonteknis, termasuk faktor manusianya (budaya).

Tantangan dari faktor budaya misalnya, kebiasaan kawula muda memanfaatkan ruang publik terutama di malam hari di sudut yang gelap, mereka memanfaatkannya untuk berpacaraan/bermesraan hingga (maaf) bermuat asusila. Atau tempat negatif lainnya seperti berkumpul untuk minuman keras, transaksi kencan, transaksi narkoba. Mereka tidak memiliki budaya rasa malu dan tidak memiliki etika tatakrama. Hal tersebut bisa bebas terjadi lantaran memang biasanya di ruang publik tidak tersedia personel keamanan, terlebih budaya masyarakat kita yang makin permisif.

Tantangan lain adalah mensinergikan antara obyek ruang publik dengan aktivitas keseharian manusia. Orang perkotaan begitu sibuk dengan pekerjaan mereka, urusan bisnis, urusan target, lobi, proyek dan sebagainya. Mereka butuh tempat khusus untuk refreshing, ruang untuk bersosialisasi, suasana untuk mengobrol santai dan berkomunikasi sosial.

Di sinilah pentingnya aspek budaya. Pembangunan ruang publik seyogyanya memperhatikan bagaimana sikap dan perilaku individu dalam memanfaatkan fasilitas umum. Kapan mereka suka datang ke tempat publik, aktivitas apa saja yang biasa mereka lakukan, bagaimana mereka memanfaatkan fasilitas yang ada, apakah mereka memiliki kegemaran berbelanja atau menikmati hiburan tertentu. Termasuk juga budaya masyarakat seperti kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, memanfaatkan fasilitas sesuai kebutuhan dan kegunaan, kedisiplinan dalam menaati aturan yang ada, dan seterusnya.

Aspek budaya yang cukup penting dan tidak boleh dilupakan adalah membangun mental budaya: rasa memiliki dan peduli lingkungan. Jika rasa memiliki telah tertanam dalam diri masyarakat, mereka akan memperlakukan ruang publik selayaknya milik sendiri. Mereka akan merawatnya dengan baik, tidak merusaknya, dan (mungkin) berpartisipasi dalam setiap pembangunan dan perawatannya (sebagai donatur atau menyumbang tenaga sukarela). Budaya peduli lingkungan membuat mereka tidak membuang sampah sembarangan, tidak merusak tanaman yang ada, dan terlibat aktif dalam penghijauan kota.

Penutup
Mempertimbangkan aspek budaya dalam pembangunan ruang publik adalah hal penting. Aspek budaya di sini adalah menyangkut perihal manusia itu sendiri. Kebiasaan dan tingkah laku manusia akan sangat menentukan pemanfaatan dan perawatan dari sebuah fasilitas umum. Karena budaya keseharian manusia dalam memanfaatkan ruang publik merupakan cerminan asli dari sebuah komunitas (perkotaan).

Diharapkan pula, dengan tersedianya fasilitas umum dapat menjaga dan memelihara nilai-nilai budaya yang telah ada. Di antaranya budaya hidup bersih, budaya rapi dan disiplin, dan budaya gemar peduli lingkungan. Termasuk pula pelestarian budaya (lokal) yang disering dipentaskan dalam event-event tertentu di ruang publik.

Sebagai akhir kata dan yang penting untuk digarisbawahi adalah “membangun ruang publik amatlah mudah, tapi membangun mental budaya yang baik terhadap pemanfaatan ruang publik tidaklah mudah”.

(Surakarta, 29-09-2015)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun