Tantangan ke Depan
Ruang publik yang seharusnya free dan menjadi milik bersama, bisa jadi dimanfaatkan yang bersifat komersial. Misalnya untuk tempat berjualan, tempat memasang reklame iklan, atau malah sebagai ruang publikasi kampanye partai/tokoh tertentu. Bahkan, di kota tertentu dikenakan retribusi tertentu untuk masuk dengan alasan untuk menambah pendapatan daerah.
Ada pula ruang publik yang nganggur dan tak terpakai, terlihat kotor dan tak terawat. Padahal tempatnya bagus dan fasilitasnya lengkap. Bisa jadi pemda setempat kurang mempertimbangkan berbagai faktor, baik faktor teknis maupun nonteknis, termasuk faktor manusianya (budaya).
Tantangan dari faktor budaya misalnya, kebiasaan kawula muda memanfaatkan ruang publik terutama di malam hari di sudut yang gelap, mereka memanfaatkannya untuk berpacaraan/bermesraan hingga (maaf) bermuat asusila. Atau tempat negatif lainnya seperti berkumpul untuk minuman keras, transaksi kencan, transaksi narkoba. Mereka tidak memiliki budaya rasa malu dan tidak memiliki etika tatakrama. Hal tersebut bisa bebas terjadi lantaran memang biasanya di ruang publik tidak tersedia personel keamanan, terlebih budaya masyarakat kita yang makin permisif.
Tantangan lain adalah mensinergikan antara obyek ruang publik dengan aktivitas keseharian manusia. Orang perkotaan begitu sibuk dengan pekerjaan mereka, urusan bisnis, urusan target, lobi, proyek dan sebagainya. Mereka butuh tempat khusus untuk refreshing, ruang untuk bersosialisasi, suasana untuk mengobrol santai dan berkomunikasi sosial.
Aspek budaya yang cukup penting dan tidak boleh dilupakan adalah membangun mental budaya: rasa memiliki dan peduli lingkungan. Jika rasa memiliki telah tertanam dalam diri masyarakat, mereka akan memperlakukan ruang publik selayaknya milik sendiri. Mereka akan merawatnya dengan baik, tidak merusaknya, dan (mungkin) berpartisipasi dalam setiap pembangunan dan perawatannya (sebagai donatur atau menyumbang tenaga sukarela). Budaya peduli lingkungan membuat mereka tidak membuang sampah sembarangan, tidak merusak tanaman yang ada, dan terlibat aktif dalam penghijauan kota.
Penutup
Mempertimbangkan aspek budaya dalam pembangunan ruang publik adalah hal penting. Aspek budaya di sini adalah menyangkut perihal manusia itu sendiri. Kebiasaan dan tingkah laku manusia akan sangat menentukan pemanfaatan dan perawatan dari sebuah fasilitas umum. Karena budaya keseharian manusia dalam memanfaatkan ruang publik merupakan cerminan asli dari sebuah komunitas (perkotaan).
Diharapkan pula, dengan tersedianya fasilitas umum dapat menjaga dan memelihara nilai-nilai budaya yang telah ada. Di antaranya budaya hidup bersih, budaya rapi dan disiplin, dan budaya gemar peduli lingkungan. Termasuk pula pelestarian budaya (lokal) yang disering dipentaskan dalam event-event tertentu di ruang publik.
Sebagai akhir kata dan yang penting untuk digarisbawahi adalah “membangun ruang publik amatlah mudah, tapi membangun mental budaya yang baik terhadap pemanfaatan ruang publik tidaklah mudah”.
(Surakarta, 29-09-2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H