Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sadranan: Ajang Perang Antara Puritan dan Tradisional

30 Juni 2014   18:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:09 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SADRANAN: AJANG PERANG ANTARA PURITAN DAN TRADISIONAL

Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)

Suasana sadranan di desaku mendadak gaduh dan “panas”. Sang penceramah dengan berapi-api mencela dan menistakan kelompok tertentu dengan alasan mereka telah menuduhnya sebagai pelaku bid’ah karena melakukan tradisi nyadran. Umat yang hadir yang tidak tahu-menahu dan berasal dari beragam kelompok dan prinsip keagamaan hanya kaget dan melongo. Sebagian merasa senang dengan “provokasi” sang dai, sedangkan sebagian yang lain bergegas pulang karena merasa telah mengikuti kegiatan yang sia-sia.

Sadranan atau nyadran merupakan tradisi Jawa bernafaskan keislaman yang memiliki tujuan utama yaitu mengingat kematian. Tradisi nyadran biasanya diselenggarakan pada akhir bulan Sya’ban (Jawa=Ruwah). Dalam ritual ini, umat Islam secara bersama mendatangi kuburan untuk membersihkan makam para leluhur, berdoa, dzikir tahlil, mendengarkan ceramah, dan diakhiri dengan makan bersama. Tradisi nyadran di beberapa daerah di Pulau Jawa terdapat perbedaan dalam hal praktik maupun prosesinya.

Pada kenyataannya, selain sebagai momen mengingat kematian, event sadranan malah dijadikan ajang untuk memperuncing perbedaan dalam diri umat Islam. Kelompok yang setuju dengan tradisi nyadran dan kelompok yang tidak setuju saling “serang” satu sama lain. Yang setuju menyebut kelompok yang tidak setuju hanya memakai dalil Qur’an-Hadits saja tanpa memakai ijma-qiyas. Sedangkan yang tidak setuju menuduh pelaku sadranan sebagai ahli bid’ah.

Tak jarang, ceramah sadranan yang seharusnya mengajak umat untuk selalu mengingat kematian atau menganjurkan untuk berbuat kebaikan, justru menularkan energi kebencian kepada kelompok lain (yang tidak setuju tradisi nyadran). Ceramahnya dipenuhi sindirian dan prasangka kepada kelompok lain, menjelek-jelekkan, bahkan hingga memvonis mereka sebagai sesat atau bukan pengikut sunnah Nabi. Lebih parah lagi, ia mengklaim bahwa kebenaran (dan surga) hanyalah milik kelompoknya, sementara kelompok lain tidak benar dan menyimpang.

Sadranan bukan mengajak untuk meningkatkan iman dan amal, memperkuat ukhuwwah, atau mencegah perbuatan munkar; melainkan malah sebagai wahana hujat-menghujat, caci-mencaci, dan menistakan kelompok lain.

Saya pribadi merasa amat prihatin dengan berbagai kenyataan di atas. Sepertinya sudah sebegitu parah kondisi umat Islam hingga akan menuju kepada ambang perpecahan dan kehancuran. Prihatin jika sesama Muslim harus bertikai, berselisih, dan “berperang” satu sama lain; apalagi hal-hal yang dipermasalahkan sebenarnya adalah perkara sepele, tidak substansial, dan khilafiyah semata.

Sangat disayangkan mereka mengaku beriman, jika dengan lidahnya mereka menyakiti kelompok lain, jika sikapnya menunjukkan kebencian terhadap yang berbeda prinsip. Padahal kedua kelompok adalah sama. Sama-sama orang Islam, melakukan syahadat, shalat, puasa, dan haji yang sama pula. Lantas apalagi yang mesti diperdebatkan, apalagi yang harus diperselisihkan.

Kalau hal-hal yang diperdebatkan adalah ibadah ghairu mahdhah, muamalah, apalagi khilafiyah. Hal ini sama artinya membuang energi secara sia-sia. Dan pada akhirnya hanya akan menuai konflik, perpecahan, bahkan permusuhan. Mengapa tidak melakukan hal yang sebaliknya, mengajak kepada kebaikan, amal yang produktif, memperkuat persatuan, dan menjalin kerjasama demi tercapainya kekuatan dan tujuan bersama.

Kekerasan Agama

Kekerasan agama tidak saja dilakukan kepada pemeluk agama lain, tapi bisa juga dilakukan terhadap sesama pemeluk agama. Uraian di awal tulisan ini adalah contohnya. Kelompok yang satu mencela, menindas, dan menistakan kelompok yang berseberangan prinsip dengan mereka. Jika perlu, kelompok lain itu musnah dan dilaknat Allah.

Kekerasan antarsesama agama membuktikan kelemahan pemahaman ajaran agama dan kekerdilan iman yang dimiliki. Keimanan mereka justru dipertanyakan ulang. Sebab mereka tidak bisa menghormati dan menghargai orang yang berbeda pendapat-berbeda prinsip. Prinsip demokrasi yang diajarkan Islam tidak mereka pakai. Bahkan, mereka menggunakan cara-cara batil dan tidak Islami dalam menyikapi kelompok yang berbeda prinsip.

Kelompok lain yang menjadi obyek kekerasan tentu akan merasa dizhalimi, jengkel, atau benci. Jika tidak dapat menahan diri, bisa jadi kelompok tersebut akan melakukan kekerasan agama yang sama pula. Kalau sudah demikian, keduanya akan saling serang, saling hujat, dan saling merasa benar sendiri. Inilah kondisi terlemah dari umat Islam.

Implikasi dari kekerasan agama di atas adalah terjadinya persaingan yang tidak sehat. Ketika kelompok yang satu membuat media (radio, televisi, majalah), maka kelompok yang lain melakukan hal yang sama. Di saat kelompok yang satu membuat sebuah buku yang isinya menyerang kelompok lain, maka kelompok yang diserang pun berbuat yang serupa.

Padahal, jika kita mau berpikir secara jernih dan dewasa, kekerasan antarsesama agama seharusnya tak perlu terjadi. Apalagi hanya disebabkan oleh beda pendapat atau beda prinsip semata. Kekerasan terhadap agama lain saja tidak patut dilakukan, terlebih terhadap sesama agama sendiri. Kalau sudah begini, di mana letak kesadaran agama mereka, di mana letak kedalaman iman mereka?

Kalau kita kembalikan kepada hak asasi manusia yang utama, jangankan hanya berbeda prinsip, berbeda agama saja diperbolehkan, bahkan tidak mempercayai Tuhan sekalipun juga tidak dilarang. Justru inilah sunnatullah. Keragaman dalam keberagamaan adalah sesuatu yang niscaya, dan tak mungkin kita hindari. Karena dengan pluralitas, hidup akan menjadi lebih indah dan bermakna, sekaligus bisa menjadi tolok-ukur seberapa besar dan dalam kadar keimanan kita. Thus, mengapa kita masih terus berselisih?

Berebut Otoritas Keagaman

Jika dilihat dari sudut pandang politis, pertikaian antarkelompok di atas bisa ditafsirkan sebagai adanya fenomena mempertahankan otoritas keagamaan dari masing-masing kelompok. Sepertinya mereka tak ingin kehilangan pengaruh, massa, atau kepentingan tertentu.

Dengan terus mencela atau menindas kelompok yang berbeda, satu kelompok akan mampu mempertahankan “status quo”-nya sebagai kelompok terbesar, sebagai kelompok pengikut sunnah Nabi, sebagai kelompok yang hanif, sebagai kelompok pelopor pendidikan, dan sebagainya. Jika status quo tersebut mampu dipertahankan, maka hak-hak di dalam kehidupan masyarakat akan tetap terus dapat dikuasainya. Sebagai misal, hak berceramah (berdakwah), hak memimpin doa atau ritual keagamaan lainnya, hak mengambil keputusan tertentu.

Sementara dalam skala makro, status quo bisa dipakai untuk mendukung parpol atau pejabat tertentu, agar berbagai kepentingan dan kebutuhannya bisa terakomodasi dengan baik. Juga untuk menunjukkan bahwa kelompoknyalah yang mampu dan berhak memimpin atau berkuasa.

Kekhawatiran bila anggota kelompoknya akan berpindah ke kelompok lain, kecemasan jika kelompok lain tumbuh menjadi besar dan memiliki akses tertentu, kegelisahan seandainya kelompok rival akan dominan dan superior; adalah kondisi psikologis akibat konflik antarkelompok.

Akhir kata, bagaimana pun kondisinya, di negara yang menjunjung tinggi prinsip HAM dan demokrasi, setiap kelompok berhak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang. Lalu, untuk apa mesti mencela dan menistakan kelompok lain. Marilah kita berkompetisi secara sehat dan bermartabat. Bukan semangat konflik yang kita kedepankan, tapi itikad persatuan dan kesatuanlah yang mesti kita utamakan.

*) Pemerhati sosial

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun