3
Marjago Tarutung
oleh: Trimanto B. Ngaderi*)
Musim durian telah tiba. Sudah menjadi kebiasaan penduduk huta, mereka marjago tarutung, siang dan malam. Mereka berlindung dari hujan dan angin malam di sopo, dangau atau biasa disebut bandar. Sebuah balai-balai terbuat dari bambu yang dibelah dan kayu diletakkan di dangau itu. Mereka tidur atau duduk santai di atas balai itu. Api unggun di perapian terus menyala sepanjang siang dan malam untuk menghangatkan badan, menanak nasi dan sayur, memasak air untuk kopi dan teh, mengusir nyamuk dan serangga lainnya, dan untuk menghindari binatang buas seperti beruang yang tidak suka pada asap dan api.
Di salah satu dangau yang terletak di kebun durian yang sangat luas itu, tampak dua orang yang sedang duduk bersantai di atas balai-balai. Api unggun di sampingnya menyala-nyala membakar tungku di atasnya yang berisi air. Mereka adalah Pandapotan dan ayahnya. Mulai malam ini, mereka marjago tarutung. Durian miliknya sudah tua dan besar-besar, dan mulai berguguran. Kalau tidak dijaga malam-malam begini, pasti setiap durian yang jatuh akan dimangsa oleh harimau, atau mungkin akan diambil oleh orang lain. Makanya, mereka rela kedinginan di hutan atau kadang terkena hujan untuk mendapatkan durian itu.
Air yang mereka masak ternyata sudah mendidih. Pandapotan mengambil cangkir dan gula yang digantung di tiang dangau. Dua cangkir kopi panas kini telah siap dinikmati.
Malam bertambah larut. Hembusan angin malam terasa begitu menusuk tulang. Suara-suara binatang malam sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Demikian juga lolongan serigala, membuat bulu kuduk berdiri. Sementara langit tampak gelap-gulita, karena malam itu adalah akhir bulan.
”Kalau kamu sudah mengantuk, kamu boleh tidur. Biar ayah yang menjaga!” tanya ayah ketika melihat anak lelakinya itu sudah menguap beberapa kali.
”Tidak apa-apa, ayah. Aku ingin menemani ayah mengambil durian itu”.
”Tapi sampai hampir tengah malam begini, belum ada satupun durian yang jatuh.” sambil berkata demikian, sang ayah kembali meneguk kopi buatan Pandapotan. Sruput. Terasa nikmat dan segar sekali.
”Daripada bosan, ayah ingin bercerita kepadamu.”
”Cerita apa ayah?” tanya Pandapotan penasaran, sembari bangkit dari tiduran di balai-balai itu.
”Ayah ingin bercerita tentang pertemuan ayah dengan umakmu sewaktu muda dulu.”
”Bagaimana ayah, aku ingin sekali mendengar ceritanya!” pintanya dengan penuh semangat.
Lalu ayah menggeser posisi duduknya. Ia merebahkan punggungnya ke salah tiang sopo. Dan mulailah ia bercerita,
Waktu itu, ia akan berangkat ke pasar di Panyabungan. Seperti biasa, ia menjual sayur-sayuran atau buah-buahan. Ia naik pedati yang ditarik dengan kerbau. Ketika ia melewati jalan yang di sampingnya ada jurang, sayup-sayup ia mendengar orang menjerit-jerit meminta tolong. Lalu, turunlah ia dari pedati dan mencari sumber suara. Maka, dilihatlah seorang gadis yang terpeleset ke jurang dan kakinya terluka. Ia turun ke jurang dan menolong gadis itu. Karena lukanya cukup serius, ia mengantar gadis itu sampai ke rumahnya. Sejak itulah, ia mulai jatuh cinta pada gadis itu. Akhirnya ia meminta orang tuanya untuk melamarkan gadis itu.
Pandapotan hanya manggut-manggut mendengar cerita ayahnya itu. Namun, ketika ayahnya hendak melanjutkan ceritanya, terdengarlah suara buuugg.......
”Ayah, sepertinya sudah ada durian yang jatuh. Ayo, kita lihat!”
Keduanya bergegas menuju ke arah suara tadi. Baru beberapa jengkal kaki mereka melangkah, dari arah berlawanan, terlihat seekor harimau dengan gesit mengambil durian itu. Kemudian, sang raja hutan mengupas durian itu dan memakannya dengan lahap. Ketika sang ayah berjalan semakin mendekat, harimau itu tampak bersungut-sungut, sebagai isyarat untuk menyuruh mereka kembali ke dangau. Maka, ayah pun paham, bahwa harimau itu tidak ingin diganggu. Mereka pun perlahan-lahan kembali ke dangaunya, tanpa rasa takut yang berlebihan.
Baru saja mereka duduk dan ayah hendak melanjutkan ceritanya, terdengar suara lagi. Buuugg ..... Ketika keduanya hendak memungutnya, ternyata harimau yang tadi sudah lebih dulu memungutnya, maka dengan sabar mereka kembali ke dangaunya. Mereka rela berbagi anugerah alam itu dengan si raja hutan.
Malam semakin larut. Tampaknya Pandapotan sudah kelihatan mengantuk. Oleh ayahnya, ia disuruh tidur terlebih dahulu.
Baru saja mata Pandapotan akan terpejam, terdengar lagi bunyi durian jatuh. Ia bangkit dari pembaringan. Namun, lagi-lagi harimau itu berlari hendak mengambil durian itu. Buru-buru sang ayah berteriak dari dangaunya,
”Ompung, margonti jolo, au jolo manjoloina!”
Maka, harimau yang masih ada di tempat itu mengurungkan niatnya untuk menyantap durian itu. Ia hanya golek lemas saja sambil mengamati si penunggu durian. Lobe Mattohar dan Pandapotan segera mengambil durian itu dan membawanya ke dangau mereka.
Melihat peristiwa ini, Pandapotan menjadi teringat kejadian kalau ia hendak ke kebun kopi dan harus melewati jalan setapak di tombak situmalun (hutan belantara). Tak jarang, ia bertemu harimau di sana. Maka, ia menyapa harimau itu dengan sapaan hormat Ompung, sebagai tanda takzim kepada raja hutan itu. Ia pernah melihat harimau yang golek bermalas-malas sambil beristirahat di bawah pohon atau semak-belukar, lalu ia berguman ”Ompung, au bolus jolo, memohon izin untuk berlalu di tempat itu. Semua itu dilakukannya sambil perlahan menjauhi si raja hutan itu, dengan rasa takut yang tidak berlebihan. Lalu ia menyebutkan apa urusannya berjalan di tempat itu. Harimau itu pun diam saja sambil melirik-lirik, memicing-micingkan matanya perlahan-lahan. Ia mengibas-ngibaskan ekornya dan menggerak-gerakkan telinganya, pertanda ia mendengar gumanan dan gemerisik langkah orang di atas dedaunan kering itu.
Harimau sendiri tidak suka melihat manusia yang takut secara berlebihan kepadanya, seperti rombongan monyet dan bodat. Monyet dan bodat pasti akan panik luar biasa apabila melihat seekor harimau melintas di bawah pohon tempatnya bersantai. Mereka menjerit-jerit di atas pohon, meloncat dari satu dahan ke dahan lain. Sehingga, saking paniknya tidak sedikit anak-anak kera atau beruk itu yang terlepas dari dekapan dada induknya kemudian jatuh terhempas ke tanah, pingsan atau mati. Entah mengapa, harimau pun tak berselera memakan kera dan bodat itu. Kegaduhan seperti itu benar-benar tidak disukai oleh harimau.
Selain Ompung, si raja hutan ini memiliki sebutan ”Na Betengi”. Pada zaman dahulu, para leluhur Mandailing menganggap tidak ada hewan paling kuat dan berkausa di tengah hutan selain harimau. Ia bisa menjelajahi hutan antara 15-30 km untuk mencari mangsa. Dalam konteks kehidupan sosial, na betengi lebih dimaknai pada kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang. Satu lagi julukan untuk sang harimau adalah ”Na Maradati”. Hal ini terkait bahwa harimau memiliki aturan atau adat kapan dia harus memperlihatkan diri kepada manusia dan kapan harus berada di hutan belantara. Keluarnya harimau dari sarangnya untuk muncul di pinggir perkampungan atau pada perladangan penduduk adalah indikator adanya orang yang berzina . Sebelum si pelaku ditangkap atau ditegur oleh masyarakat, maka si raja hutan ini akan tetap memunculkan diri.
Pandapotan masih ingat pula, ketika sang harimau yang bergelar Sutan Manginte di Dolok itu pernah melakukan eksekusi mati manusia di kampungnya dengan menerkamnya dan pertama-tama melahap alat kelaminnya. Tak pelak lagi, penduduk Banjarsibaguri pun percaya, korban telah melakukan perbuatan maksiat besar. Sedangkan sang harimau sendiri memiliki alasan yang kuat untuk membunuh manusia, sebagai hukuman terhadap mereka yangt elah melanggar tata krama. Tata krama yang dilanggar boleh berupa perbuatan maksiat seperti berzina, memperkosa ibu atau anak kandungnya,. Itulah sebabnya, penduduk huta segera bermusyawarah untuk memutuskan tindakan apa yang harus dilakukan terhadap sang harimau. Hal ini dilakukan, agar tidak ada orang yang melakukan tindakan sendiri-sendiri yang tak senonoh terhadap sang harimau.
Ternyata, ada penduduk kampung Banjarsibaguri yang mengenal Sutan Manginte di Dolok secara pribadi. Orang itu mengajukan permohonan agar kepadanya diberikan kesempatan untuk melakukan perundingan dengan sang harimau.
***
Menjaga durian runtuh
Bangunan amat sederhana tanpa dinding, beratap daun rumbia, berlantai tanah, dan bertiang kayu bulat atau bambu.
Ompung, gantian dulu, biar aku yang mengambilnya
Ompung, mohon lewat!
Yang kuat
Yang beradat
Raja yang meniti di gunung
*) Pegiat Forum Lingkar Pena