Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Khas Mandailing (2) "Partangga Bulu"

29 Januari 2015   14:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen

PARTANGGA BULU

karya: trimanto b ngaderi*)



Sore itu aku mengungkapkan keinginanku untuk menikahi seorang gadis kepada Amang dan Inang. Secara diam-diam, anak boru dari keluargaku melakukan mangaligi tangga ke kampung tempat tinggal gadis pilihanku itu.

Dan ketika kedua orang tuaku tahu siapa sesungguhnya gadis yang aku cintai itu, berkobarlah api kemarahan di wajah mereka.

“Apa kau tidak salah pilih akan menikahi gadis itu?” tanya Inang dengan nada tinggi.

“Apanya yang salah. Aku benar-benar mencintainya!” jawabku tegas.

Amang yang sedari tadi menghisap rokok kesukaannya bangkit dan berkata dengan lantang.

”Kita ini keluarga dari keturunan Raja Panusunan Bulung, bagaimana mungkin akan menikahi seorang hatoban? Apa kata para hatobangon di kampung kita” bentak Amang dengan mata melotot.

”Tapi dia adalah gadis yang sangat istimewa bagiku. Gadis yang baik hati, cerdas dan mandiri.” jawabku memberi alasan.

”Tidak. Pokoknya kami tidak setuju. Sampai kapan pun hatoban tetap hatoban ...!!!”

***

Salwa, nama gadis pujaanku itu. Entah mengapa, walaupun ia tak terlalu cantik, namun ia bisa membuatku tak berdaya. Kata-katanya yang lembut mampu menggetarkan segenap jiwaku. Sikapnya yang sopan dan santun membuatku menaruh hormat padanya. Juga kecerdasan yang dimilikinya semakin menambah kekagumanku.

Kedekatan kami bermula saat kami sama-sama kuliah di Yogyakarta. Walaupun kami tidak satu fakultas, namun kami sering bertemu di perpustakaan kampus; karena  kebetulan kami hobi membaca. Kami sering berdiskusi tentang banyak hal. Kuakui, ide-ide dan pemikirannya sangat brilian. Aku mulai mengaguminya.

Yang lebih membuatku kagum, ternyata ia adalah perempuan yang mandiri. Kuliah dengan biaya sendiri. Aku tahu, di sela-sela kuliahnya, ia bekerja paruh waktu di sebuah toko di kawasan Beringharjo. Entah bagaimana ia membagi waktu. Sekalipun demikian, ia selalu mendapat nilai yang bagus dan memiliki banyak prestasi di kampus. Berbeda dengan aku, walau aku masih dibiayai orang tuaku dan diberi fasilitas yang lengkap, aku tak bisa seperti dia. Aku malu sendiri.

Semakin sering aku bertemu dan bercakap dengannya, aku semakin kagum. Bahkan, benih-benih cinta dalam kalbuku semakin merekah. Aku seperti terkena sihir bidadari dari langit cinta. Setiap detik, wajah Salwa selalu terlintas dalam pikiranku. Ingin rasanya setiap hari aku bertemu dengannya. Aku ingin mendengar suaranya yang renyah dan merdu.

Dan ketika aku sudah tak sanggup lagi menahan perasaanku padanya,  maka di suatu sore ketika kami tanpa sengaja bertemu di lembah UGM, aku mengungkapkan perasaan cintaku padanya, bahkan aku berjanji akan menikahinya.

Apa reaksi gadis pujaanku itu? Pada mulanya ia terkejut mendengar ucapanku, lalu ia tersenyum tipis dan berkata, ”Apa sudah kau pikirkan benar-benar?”

”Apa maksudmu, Salwa?” tanyaku tak mengerti.

”Suatu saat nanti kamu akan tahu. Dan aku tak mau kau menyesalinya.”

Belum sempat aku menanyakan apa maksud kata-katanya itu, ia segera berlalu meninggalkanku. Sepertinya ia menyembunyikan sesuatu. Dan sejak itu, ia selalu menghindar dariku.

***

Kini kami telah kembali ke bona bulu kami di kawasan Sipirok, Tapanuli Selatan. Aku benar-benar ingin memenuhi janjiku untuk menikahinya. Maka, di suatu hari aku martandang ke rumah Salwa, sebuah kampung di pinggiran Aek Sirumbe. Aku ingin sekali berkenalan dengan kedua orang tuanya. Ketika aku sampai di depan rumahnya, aku sempat terkejut melihat tangga bulu di depan rumah Salwa. Ternyata ini makna dari ucapan Salwa ketika masih di Yogya dulu. Namun hal ini tak menyurutkan niatku untuk tetap menikahinya.

Aku dipersilahkan masuk oleh kedua orang tua Salwa. Mereka sangat sopan dan ramah kepadaku. Tutur katanya juga lemah-lembut. Dan  yang membuatku tak enak, sebagai tamu aku duduk di kursi, sementara mereka sebagai tuan rumah malah duduk di lantai. Tapi aku maklum.

Salwa keluar dari kamarnya. Lalu kedua orang tuanya berlalu dari hadapanku dengan berjalan membungkuk. Salwa tampak begitu mempesona dan duduk di kursi sebelahku. Ketika aku melihat wajahnya ia menunduk. Aku bingung harus mulai bicara apa.

”Aku ke sini ingin menepati janjiku dulu.” kataku memulai pembicaran.

”Sekarang kamu sudah tahu kan, siapa aku. Lebih baik urungkanlah niatmu!” jawabnya dengan nada berat.

”Tidak, Salwa. Aku tidak akan menarik ucapanku, apapun yang terjadi.”

Ia hanya diam.

Memang, sejak aku mengenal Salwa di Yogyakarta, ia tak pernah mau bercerita perihal keluarganya. Bahkan ketika aku bertanya tentang marganya, ia hanya menjawab, ”Apa pentingnya sebuah marga?” Setelah itu, aku tak pernah bertanya lagi, karena aku tak begitu mempedulikan hal itu.

Kini aku baru tahu, bahwa ia keturunan hatoban. Di kampungku, ada perbedaan yang begitu kentara antara keturunan raja dan keturunan hatoban. Menurut adat, seorang hatoban tidak bisa menikah dengan keturunan raja. Aku sendiri tak habis pikir, mengapa orang-orang di kampungku masih membeda-bedakan antara manusia berdasarkan keturunan. Padahal, kami semua adalah pemeluk Islam, agama yang memandang semua manusia sama di mata Tuhan. Apalagi di zaman kemerdekaan dan globalisasi seperti sekarang ini, di mana hak-hak asasi setiap orang begitu dijunjung tinggi.

Aku tahu, hal ini tak lepas dari sejarah di masa lalu, entah lima ratus atau seribu tahun yang lalu. Perang antarkampung adalah sesuatu yang biasa. Entah itu ingin mengadakan perluasan wilayah, balas dendam atau ada konflik yang tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Suatu ketika, leluhur gadis pujaanku kalah dalam perang antarkampung dengan leluhur keluargaku. Sebagai konsekuensinya, anak-keturunan mereka harus mau menjadi hatoban.

Ya .... tangga bulu itu. Sebuah kayu atau bambu bulat dan kayu pipih di sebelahnya yang menjadi tangga masuk rumah gadisku, seakan telah menjadi saksi abadi status sosial mereka. Orang yang menghuni rumah itu disebut partangga bulu alias hatoban. Tapi, mengapa mereka harus mengalami nasib seperti itu? Mengapa pula mereka harus menanggung dosa-dosa para leluhur mereka?

Kini, walaupun kedua orang tuaku sangat menentang niatku untuk menikahi Salwa, aku tak peduli. Aku sudah membulatkan tekad untuk tetap menikahinya, sekalipun kami harus melakukan marlojong. Maka, dengan langkah pasti, aku kembali martandang ke rumah Salwa. Namun betapa kecewanya hatiku ketika aku tidak mendapatkan Salwa di rumahnya. Hanya Amang dan Inangnya yang menatapku dengan sorot mata memelas.

”Kami harap kamu tidak datang lagi ke sini, karena Salwa telah pergi?” kata Inang penuh harap dan mata berkaca-kaca.

”Pergi. Pergi ke mana? Mengapa ia tidak memberitahu aku?”

”Maaf, kami tidak bisa memberitahu. Ini adalah permintaan Salwa sendiri.”

“Mengapa Salwa tega melakukan ini semua padaku?”

”Sudahlah. Lebih baik kamu melupakan anak kami. Kami sangat sadar, siapa kami.” Inang Salwa mengusap air matanya dan katanya lagi, ”Ini ada titipan surat buat kamu.”

Sesampainya di rumah aku langsung membuka surat Salwa.

Abang Pandapotan yang baik hati,

Aku tahu, kamu sangat mencintaiku. Demikian juga aku. Tapi derajat kita berbeda. Lebih baik kamu melupakan aku. Jika kamu tetap memaksakan diri, hal itu akan lebih menyakitkan. Aku tak ingin orang tuamu membencimu karena aku. Aku juga tak ingin orang-orang di kampungku semakin memandang keluargaku dengan penuh kebencian dan penghinaan. Semoga engkau mendapatkan perempuan yang lebih baik dariku.

Abang, maafkan aku.

Salwa.

Aku mendekap surat itu ke dadaku. Bayangan wajah Salwa kembali terlintas dalam benakku. Aku tak menyangka kalau Salwa tega meninggalkanku. Aku juga tak bisa menyalahkan dia sepenuhnya. Aku tahu, ia menyadari siapa dirinya. Dan ia pun tak sanggup mengubah itu semua. Kami sama-sama tak berdaya. Tapi aku tetap yakin, suatu saat nanti cinta kami pasti akan bersatu. Karena cintaku yang sekokoh gunung Tampulon Anjing dan sederas aliran Aek Sihapus tak mungkin sirna begitu saja.

Malam ini pula, aku telah membulatkan tekad untuk pergi ke Jakarta ke rumah amangboruku. Ia adalah orang Mandailing dan pandai berdagang. Untuk sementara waktu aku ingin membuang segala kekecewaan dan melupakan persoalanku. Aku bisa bantu-bantu dia dan belajar berdagang.

***

Bus ALS telah melaju dengan kencang. Di sebelah utara aku melihat deretan Bukit Barisan yang membentang bak hamparan ombak berwarna hijau gelap. Nun jauh di sebelah timur, tampak Gunung Sorik Marapi berdiri dengan gagahnya. Ini berarti, aku telah masuk ke wilayah Mandailing. Inilah daerah yang penduduknya sangat egaliter. Berbagai agama dan etnis budaya dapat hidup berdampingan secara damai. Hal yang terpenting adalah di sini tidak mengenal perbudakan.

Aku teringat sesuatu. Di akhir abad ke-19, ada seorang raja ulama yang kharismatik, Yang Dipertuan Sutan Kumala dari Hutasiantar. Dia bersama Alexander Philipus Godon, Asisten Residen Mandailing Angkola menghapus perbudakan di daerah Mandailing. Pada masa itu pula terjadi migrasi besar-besaran penduduk Angkola, Padang Lawas, Sosa dan sekitarnya ke wilayah Mandailing. Selain untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik karena tanah Mandailing yang subur, juga menghindari perbudakan yang semakin merajalela akibat perang antarkampung yang tak kunjung selesai. Dengan menetap di Mandailing, status mereka sebagai budak akan hilang dengan sendirinya.

Ahhh ....... mengapa pikiranku jadi ke mana-mana?

Bus ALS terus melaju. Ketika bus melewati Pasar Lama Panyabungan, tiba-tiba aku menangkap sesosok gadis yang sangat mirip dengan Salwa, sedang beranjak naik becak khas Mandailing. Spontan aku berteriak, ”Salwaaa .........”

*) pegiat forum lingkar pena

Daftar istilah:

Anak boru: bagian dari dalihan na tolu

Mangaligi tangga: melihat tangga

Raja panusunan bulung: keluarga pendiri kampung

Hatoban: budak=partangga bulu

Hatobangon: sesepuh adat

Bona bulu: kampung halaman

Martandang: bertamu, berkunjung

Tangga bulu: tangga bambu

Marlojong: kawin lari

Amangboru: suami dari saudara perempuan ayah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun