Mohon tunggu...
Mutaya Saroh
Mutaya Saroh Mohon Tunggu... -

Sedang belajar bahasa dan sastra indonesia di UNY. Senang membaca dan menulis. Bermimpi kelak akan menjadi penulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Haruskah Aku Menulis?

3 Juni 2013   22:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:34 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para Tetangganya cuma mesam mesem ketika Peang menceritakan rencananya. Malah Kang Dasimo menertawakan, mengejek, dan menganggapnya gendeng, “Mbok, ya kamu itu mikir, mikir, siapa kamu itu! Cuma buruh tani berkepala peang begitu kok oleh-olehnya pengin ketemu presiden. Dengkulmu sempal po?! Ledek Kang Dasimo… (Agus Noor, Bapak Presiden Yang Terhormat, 2000)

Satu penggal paragraph di atas adalah cuplikan dari cerpen karya Agus Noor berjudul Bapak Presiden Yang terhormat, judul tersebut juga menjadi judul kumpulan cerpennya.

Kira-kira apa yang bisa kita tangkap dari sepenggal paragraph cerpen di atas? bukankah ada semacam keberpihakan dari seorang cerpenis kepada khalayak? Layaknya penulis berita, dia pun menentukan tema yang akan digarapnya menjadi sebuah tulisan utuh. Agus Noor dikenal sebagai seorang cerpenis yang berpihak kepada wong cilik. Sikap berpihaknya ini memberinya peluang cerdas untuk menampilkan kritik sosial. Mengambil peran-peran wong cilik, kebiasaan mereka, hal-hal krusial yang menjadi pembahasan wong cilik ketika ngopi bareng.

Persoalan paragraf di dalam cerpen itu mengantarkan si tokoh Peang yang ingin menyampaikan keluhan warganya pada presiden. Tentunya, sikap orang-orang di sekitarnya skeptis, tidak! tapi lebih condong pada percaya bahwa, “Niat Peang adalah niat yang tidak mungkin dilaksanakan.” Kenapa? Karena orang-orang di sekitar Peang takut menyatakan keluhan mereka pada pejabat. Takut jika nanti mereka malah disiksa, dipenjara karena dianggap mengancam keamanan lingkungan. Sikap takut ini memunculkan sikap pasrah.

kalimat di atas hanya sebuah ulasan kecil. Yang ingin dibicarakan dalam tulisan ini adalah bagaimana kita membuat cerpen. Untuk membuat cerpen kita perlu melakukan perencanaan sederhana. berkhayal itu juga merupakan salah satu sarana. Sebelum jauh, saya paparkan hal berikut di bawah ini:

Dalam karya sastra, baik dalam prosa ataupun puisi memiliki tugas untuk menyampaikan suatu pesan. Sastrawan sebagai seorang individu yang hidup di tengah masyarakat sudah sepantasnya bila dia merekam kehidupan sosial lingkungannya yang ada. Kemudian meresponnya menjadi sebuah karya sastra. Banyak sastrawan yang bertindak demikian, tidak hanya Agus Noor, kita sebutkan saja Kuntowijoyo, dia tidak hanya seorang sejarawan tapi juga seorang penulis cerita yang handal. Pramodya Ananta Toer, dengan kisah tetralogi buru yang tidak perlu kita perdebatkan lagi kualitas dan hal-hal apa yang ingin diceritakannya, lalu ada sebuah novel yang menceritakan kisah gerilya Tan Malaka dengan judul Pacar Merah-saya lupa nama penulisnya. Ahmad Tohari, dengan kekhasan tulisan berupa kedaerahannya, dan penulis-penulis lainnya. Mereka bertindak sebagai agen sosial. Begitulah kata para kritikus sastra.

Perencanaan mereka dalam menulis sederhana sekali yakni mengenali (baca: peka) lingkungannya. Dengan kata lain, tindakan ini pun bisa dilakukan dengan cara banyak-banyak membaca berita. Setelah membaca, mungkinkah kita bisa langsung menuliskannya? Mungkin bisa, mungkin juga tidak. Hal ini bergantung pada kematangan gagasan atau tema yang kita usung. Setelahnya, jangan lupakan soal unsur-unsur penting dalam pembuatan sebuah cerpen.

Unsur-Unsur Penting (Intrinsik) dalam Pembuatan Cerpen

Ketika masih sekolah dasar, (mungkin) pernah menjumpai yang namanya tokoh, alur, setting, penokohan, konflik, dan lain-lain. Yak, itulah unsur-unsur utama dalam cerpen. Hal-hal yang saya sebutkan tadi selalu menjadi tugas rumah di mata pelajaran bahasa Indonesia sejak sekolah dasar hingga sekolah lanjutan. Itu artinya, unsur-unsur dasarnya tidak pernah berubah.

Seperti halnya di kehidupan nyata, ada orang-orang di dalamnya. Mereka menjadi lakon untuk menjalankan sebuah skenario.Di dalam dunia karya sastra, dunia rekaan kita adalah replika kecil dari dunia nyata, tentunya kita harus membuatnya rasional seperti dunia nyata. Adanya tokoh, berperan penting untuk menjalankan alur cerita. Setting atau latar, baik tempat maupun waktu, di kehidupan nyata selalu ada waktu, tahun, bulan dan hari, begitu pula dengan di dunia karya sastra, waktu penting untuk menandai kapan berlangsungnya peristiwa, latar tempat pun penting bagi kita untuk mengetahui di mana letak kejadian. Seandainya seorang pencerita tidak mengatakan, Minangkabau atau hal-hal yang menjadi penandanya, kita mungkin tidak akan membayangkan kebudayaan minangkabau saat membaca cerpen itu. Contohnya sepenggal paragraph cerpen di atas, kata-kata yang dilontarkan oleh Kang Dasimo sudah menunjukkan di jaman apakah kira-kira mereka hidup di dalam cerpen itu. Bukankah di jaman orde baru? Lalu konfliknya, kita bisa menebakkasus korupsi, kesewenang-wenangan pejabat, dan orang-orang cilik yang tak bisa bertindak.

Persoalan alur, apakah akan maju, mundur, atau campuran, adalah persoalan pilihan pencerita untuk membuat ceritanya menarik. Terkadang saya mendiskusikan hal ini kepada teman saya, kesesuaian alurnya akan menentukan imajinasi pembacanya untuk menikmati atau tidak. Keberterimaan terhadap kenyamanan penyajian.

Kemudian, masalah penokohan, ini penting, seorang tokoh di dalam masyarakat pasti memiliki watak, suatu ciri khas yang akan menjadi penandanya. Nah, tokoh di dalam karya sastra juga perlu diberi kekhasan semacam itu. Pikirkan wataknya, struktur tubuhnya, apakah kepalanya peang atau lonjong, atau bulat. Bagaimana dengan matanya? sipit, atau serupa buah kenari? Seorang warga keturunan atau asli? Bagaimana dengan logat bicaranya dan sifat-sifatnya. Bila hal-hal ini dipenuhi cerita akan menjadi semakin menarik.

Jika ada tokoh dan penokohan, dalam penyajiannya pastilah menggunakan sudut pandang. Sudut pandang yang digunakan oleh seorang pencerita akan menentukan pula keterkaitan emosi pembaca terhadap cerita. Ketika menggunakan sudut pandang orang pertama, aku dan kita, maka dia mengajak pembaca berperan serta. Ada berbagai macam sudut pandang, salah satunya adalah sudut pandang orang pertama tadi, kemudian sudut pandang orang kedua, dia dan ia. Lalu sudut pandang orang ketiga. Dan ada pula sudut pandang orang serba tahu, sebagai seorang narator kita mendeskripsikan seluruh tindakan dan keadaaan tokoh-tokohnya.

Bapak dihajar sampai terkapar. Mak berdiri mendekap bayi yang terus menangis keras, menggigil meyaksikan itu semua dan menjerit minta ampunan. Perutnya yang bengkak karena tengah hamil membuat langkah Mak terhuyung-huyung. Begitu payah. (Agus Noor, Bapak Termangu Di Beranda, 2000)

Tema dan amanat akan menjadi dua hal yang berperan sebagai pigura dalam karya sastra. Penting untuk diperhatikan namun tak perlu dicantumkan di dalam cerita. Biarkan saja pembaca bebas memaknai dan bebas menerka temanya. Saya yakin tak akan jauh berbeda antar pembaca jika penyaji cerita mengemasnya dengan baik.

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan metafora. Berikut ini adalah sebuah contoh penggunaan metafora,

Ariel mengangguk. “Kau juga bisal bilang bahwa dunialah yang mendatangi anak itu. Terlahir sama artinya dengan dianugerahi seluruh dunia ini-dengan matahari di kala siang, bulan di waktu malam, dan bitang-bintang di angkasa hitam. Dengan samudra yang membasahi pantai-pantai. Dengan rimba-rimba belantara yang sedemikian lebatnya sehingga mereka sendiri tak tahu rahasia di dalam diri mereka. Dengan makhluk-makhluk aneh berkeliaran di daratannya. Karena dunia tak pernah menjadi tua dan beruban. Kalian, manusia, kalianlah yang menjadi tua dan beruban. Selama anak-anak masih datang ke dunia, dunia ini tetap sama barunya seperti pada hari ketujuh ketika Tuhan beristirahat.”

Mulut Cecilia ternganga, dan malaikat Ariel melanjutkan: “Bukan hanya Adan dan Hawa yang saat itu tercipta. Saat itu, sebagian kecil dirimu ikut tercipta. Kemudian, suatu hari, mendadak tiba giliranmu untuk melihat apa yang telah Tuhan ciptakan. Kau diguncangkan keluar dari lengan jas Tuhan dan kau temukan dirimu menghirup udara, benar-benar hidup. Hidup! Oh! Dan kau lihat segala sesuatu sungguh-sungguh indah.” (Joestin Gaarder, Cecilia dan Malaikat Ariel, 2009)

Bayangkan bila kata-kata “rimba-rimba belantara” diganti dengan kata-kata sederhana macam “hutan” dan kata-kata “jas Tuhan” diganti dengan kata-kata “rahim”. Masih kentalkah “rasa” keindahan di dalam kalimat itu? mengelola penggunaan metafora sama artinya dengan menghias sebuah kue ulang tahun.

Ada satu hal lagi yang penting, yakni Ironi.

Badut-badut terlihat lucu karena mereka jelek sekali. Ketika menanggalkan topeng badut, mereka jadi sangat tampan. Itulah sebabnya, badut-badut sangat sedih dan murung tiap kali memasuki caravan sirkus mereka sembari membanting pintunya. (Joestin Gaarder, Cecilia dan Malaikat Ariel, 2009)

Contoh kedua,

Semua mengambil cuti dari hidup dengan cara masing-masing. Sebagian berdoa, sebagian sengaja mabuk secara cukup atau berlebihan, untuk terakhir kalinya. tapi para ibu terjaga hingga larut malam. dengan penuh kasih mereka menyiapkan bekal makanan untuk perjalanan, memandikan anak-anak dan mengepas barang-barang. Di waktu subuh, pagar kawat berduri sudah dipenuhi jemuran pakaian anak-anak yang baru dicuci…..pasti anda akan melakukan hal yang sama, bukan? Jika anda dan anak anda akan dibunuh keesokan hari, tentunya anda pun akan memberinya makanan hari ini, bukan? (Primo Levi, Bertahan Hidup di Auschwitz, 2009)

Ironi terkadang memberikan suatu efek keindahan tersendiri selain penggunaan metafora dan majas-majas yang lainnya. Untuk memperkaya kepemilikan atas metafora, dan ironi, yang diperlukan hanyalah membaca!

***

Untuk mendapatkan tulisan yang baik, ada baiknya pula kita memikirkan siapa yang akan kita beri tulisan itu. Atau bisa dikatakan dengan kalimat siapa calon pembaca kita? Dan untuk mendapatkan keduanya, Rainer Maria Rilke, si penyair Australia yang bohemian, mengatakan, “Pergilah ke dalam dirimu sendiri, temukan alasan yang mendorongmu untuk menulis, lihat apakah alasan itu telah mengembangkan akar-akarnya ke dalam hatimu yang terdalam, akui pada dirimu sendiri, apakah kau rela mati bila kau dilarang menulis. Dan lebih daripada itu, tanya pada dirimu sendiri, haruskah aku menulis?”

Yogyakarta, 26 Mei 2013

*disampaikan dalam diklat penulisan GMNI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun