Mohon tunggu...
Muhammad Saefudin
Muhammad Saefudin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

HAMBA ALLAH yang sedang mempunyai cita-cita ''ingin menjadi tukang cukur rambut presiden mancanegara''.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nasihat Mulia Dari IBU 2

18 September 2012   09:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:17 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam

kenapa kau hanya terdiam.?

Menyendir dalam kegelapan

Hingga melemahkan hati yang kusam

Alangkah indahnya jika aku melanjutkan dan membiarka singga sana penaku menari di atas kertas pudar.

Semua keluh kesahku kan ku tulis, tetapi hati ini enggan berbicara sedikitpun

Bagaimana aku harus merayu kalbu ini..?

Kamar yang hampa di ujung perangainya, dan bergeming hingga menghening tanpa suara

Ingin ku akhiri malamku di kamar demi merenungi hiruk pikukku

Seketika aku bergegas ingin merebahkan badanku, ada suara yang menyelinap diam tanpa

Salam.

Sejurus kemudian pintu kamarku terbuka perlahan dan mengendus hingga mataku langsung terbelalak melihat penampilan wajah perempuan berdarah jawa itu.
dia melempar senyum kepadaku, yang aku heran kenapa tengah malam jiwa dan raganya masih keluyuran.
“belum tidur nak”.?

Dia bertanya dengan melempar senyumana tadi,
“belum mi”

Lirih aku. Dan hatiku tersentak seketika melihat mimi masuk kamarku

Hatiku bergumam, naluri seorang ibu tidak akan pernah meleset sasaran trhadap anaknya,
walaupun hati anak dari ibu menyangkal tidak semestinya ia ketahui.
ibuku tahu persis bahwa aku belum tidur dan mempunyai perasaan yang tidak sreg pada siapapun aku mengetahuinya, tapi ibuku lebih dulu mengetahui sebelum aku tersadarkan diri.

“kenapa belum tidur nak”.

Sambil membenahi bantal dan menatapku penuh Tanya,

“mboten nopo nopo mi” (tidak ada apa apa bu)
gelisah tanpa sesadar di hadapan ibu, tapi tidak mempengaruhi etitudeku di tepi muka ibuku
sebisanya aku memahami cara bicaraku untuk berlaku sopan di hadapannya.
karena beliau ibuku, ibu yang ikhlas melahirkanku demi kasihnya untuk anaknya.
sudah terbiasa aku memanggil ibuku dengan sebutan “mimi”

Karena memang sudah adat kampungku semua kawan kecilkupun sama seperti halnya aku memanggil panggilan mimi pada ibu.
“kenapa kamu gelisah seperti itu”

Menatapku tajam

“cuman ndak bisa tidur mi”

Berargumen, tapi tepat untuk sebuah alasan.
aku tahu persis watak ibuku, dia pasti menyangkal alasanku barusan.
“terus karena apa kau tak bisa tidur nak.”

“ceritakan apa yang kau rasa kepada mimi, mungkin saja mimi bisa membantu.”

Jelas ibuku

“mmm.. anu mi.”

Matanya lebih tajam maenatapku penuh rayuan.

“aku sudah berbuat dosa terhadapmu mi.”

“atas perbautan apa”

Tanya ibu

“sungguh mi, aku tidak bermaksud menyakiti mimi”

Jawabku penuh dosa

“mi tidak merasa di sakiti olehmu nak”

Lirih ibuku

“mi, maafkan aku atas segala kebodohanku mi.”

“nak, jujurlah pada mi apa yang kau perbuat”

“kejujuran itu tidak akan membuatmu lumpuh dan hancur berkeping-keping nak,

Kalaupun pahit yang kau telan akn menyehatkanmu nanti.

Lagi-lagi hatiku tersentak ketika ibu berbicara soal apapun yang menyehatkan pikiranku.

Nafasku seperti terbendung oleh perkataan ibu barusan.

Haruskah aku menahan diri untuk tidak berbicara yang sejujurnya?

Aahh.Itukan prbuatan keji di mata Allah, jika aku bohong di hadapan ibu lantas siapa yang akan menanggung dosa-dosaku nanti di yaumil kiyaamah (hari pembalasan)

Sejenak aku terdiam lalu akupun menjawab dengan penuh khidmat.

Dengan menghela nafas panjang.

“mi, sore tadi aku tidak mngikuti plajaran di MDA (Madrasah diniyah Alislamiyah), aku lari dari tanggung jawabku sebagai siswa MDA mi.

Rintih aku membuat ibu mematung.
“lalu kau kemana saja nak.”

Setengah marah, ini baru setengah marahnya dari ibu, belum lagi kalau sudah maraknya kemarahan ibu lebih tepatnya murka ke dua belas,

“jangan marah dulu mi”

Penjelasanku belum lunas tuntas mi, kalau penjelasanku sudah rampung setelah itu terserah mimi

“baiklah, teruskan nak”

Sambil menghela nafas

“aku pergi bersama kawanku untuk mengikuti pertandingan sepak bola, tim sepak bolaku mengikuti turnament antar desa yang di selenggrakan untuk memeriahkkan tujuh belasan mi.

“Niatku ini baik, tapi belum tentu baik di balik ketegasan matamu kan mi..”

“kau sudah lari dari tanggung jawab nak”

“iya mi, maafkan aku mi”

Aku sudah menyesal atas perbuatanku mi.

“nak, mimi sudah memaafkanmu, mungkin mi akan lebih marah jika kau enggan menjelskannya, tapi kau juga harus ingat satu hal nak.

Jika kau menahadapi situasi yang kau anggap sulit namun banyak ribuan jalan di balik itu.

Dari padanya kaupun mampu melewatinya nak.

Tidak perlu meragu atas segala perasaan yang menyindirmu secara tiba-tiba

Hadapi saja dengan hal yang pasitif, kau kan bisa meminta izin pada pengajarmu.

“takut tidak di izinkan mi.”

“asal kamu tahu ya nak, meminta izin itu sangat di perlukan, pun itu kalau kau sadar dengan ketaatanmu, itu yang akan menjadi tameng seorang muslim sejati

Menjadi muslim sejati itu tidak mudah jika tidak mempunyai pondasi yang kuat

Pondasinya yaitu madrasah yang mengajarkan beberapa ilmu dasar agama, agar kita berjalan tidak keluar dari jalan Allah.
“Allah kan sudah berjanji dalam Al-qur’an.
*setiap seseorang muslim sejati yang tinggi ilmunya, tinggi ketaatannya, serta tinggi imannya

Akan di tinggikan derajatnya oleh Allah.*

Jelas ibu

“aku mengerti mi.”

“sebaiknya kau tidur nak, jangan lupa bersihkan hadasmu dengan air wudlu”

“baik mi.”

Detik berganti menjadi menit, menit berevolusi menjadi jam, lalu aku beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu, sejurus kemudian aku langsung bergegas untuk tidur.

Aku berdoa agar tidurku selalu dijaga dan mimpiku diindahkan oleh-Nya

Di usiaku yang masih belia aku harus bersemangat untuk lebih menuntut ilmu,
gak mau sia-siakan umurku yang masih sepuluh tahun ini.
Aku masih membayangkan nasihat mulia dari ibu barusan, betapa besarnya kepedulian ibu terhadapku

Sudah tidak di ragukan lagi akan kasih sayangnya, rasanya aku ingin selalu bersama ibu sekalipun untuk seumur hidupku, aku rela manjadi tamengnya nanti disaat ibu lemah.

“Wahai ibuku, kaulah ibu yang menjuarai di seluruh dunia yang telah melekat di kalbuku”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun