Agustus yang sunyi.
Langit malam hari nampak tenang dan lembut. Gema cahaya malam yang lebam biru tergenang ke seluruh ruangan, sehingga seperti terapung-apung dalam remang udara di dalamnya. Ruang ini pun terasa semakin luas dan tenang. Namun teramat sepi.
Entah mengapa, tiba-tiba aku diserang rasa sepi yang begitu mencekam. Rasanya belum pernah aku merasakan kesepian yang seperti ini. Sekelilingku diam. Membisu, jengkerik pun seperti enggan memecahkan sunyi.
Tapi, bukan. Bukan. Bukan rasa sepi yang menyerangku. Namun kerinduan yang amat mendalam rupanya pangkal kesunyian ini. Ketika aku tersentak dan kembali tersadar bahwa Agustus ini kembali telah menyeretku menyelam ke masa lalu, menghirup kembali aroma kehangatan yang kurasakan semakin menggebu hari demi hari. Ah Lara, apa kabarmu? Bahagiakah engkau? Katakanlah kepadaku bahwa kabarmu baik-baik saja di sana. Jangan katakan bahwa engkau tidak bahagia. Aku pasti akan turut bersedih seandainya aku mendengar engkau sedang menangis sekarang.
Lara yang teduh, percayakah engkau satu hikayat tentang adanya isyarat rahasia antara seseorang yang mencintai dengan yang dicintainya? Sehingga malaikat puntidak sanggup untuk mendengarnya?
Lara, seandainya engkau tahu, bahwa setiap hari aku menangis di malam hari. Mengingatmu wahai Lara sang kekasih, hingga rasa kantukku terkalahkan oleh mengingatmu. Aku menangis karena selalu mengingatmu, tapi aku tidak tahu apakah engkau masih hidup atau tlah mati. Jika engkau masih bernafas, tentu itulah yang aku harapkan, dan kemudian aku akan melanjutkan pencarianku terhadap dirimu. Namun, jika engkau mati maka sesungguhnya aku pun tlah binasa.
Dan aku pun tidak tahu dimanakah engkau berada kini. Apakah engkau telah terdampar mati di tanah lembut, atau terdampar di sebuah gunung, atau terseret di lautan lepas, atau justeru engkau sedang tersesat di antara rerimbunan belantara rimba yang ganas. Andai saja aku ketahui akan keberadaan dirimu, maka seumur hidupku aku takkan kembali. Seluruh dunia yang menjadi batas tujuan, yang kucari hanyalah kembalinya dirimu.
Wahai cintaku, Lara. Lihatlah rambutku ini. Rambut ini engkau tahu, semenjak aku kehilangan jejakmu, kubiarkan rambut ini tumbuh liar. Dan sejak munculnya niat itu aku lantas bertekad tak akan kupotong barang satu mili pun sebelum aku menemukan dirimu. Aku tak peduli bilamana nanti engkau akan ketakutan melihatku dengan rambut yang bergerai-gerai. Namun hal ini adalah bagian dari kisah kerinduanku terhadapmu.
Lara, aku pun lantas berpikir tentang hakikat kehidupan. Bahwa kehidupanku kini bukanlah kehidupan yang hakiki, namun kehidupan yang sesungguhnya adalah jika seseorang dapat mencintai kekasihnya dengan sepenuh-penuh hatinya. Begitulah makna kehidupan yang hakiki bagiku, Lara. Sampai detik ini pun aku masih senantiasa berharap, aku dapat mencapai hakikat kehidupan itu. Dengan syarat, tentu saja aku dapat menemukanmu kembali.
Aku tak peduli lagi, Lara. Setiap kali aku teringat akan dirimu, aku pasti akan lantas berjalan sendirian seolah tak punya cita-cita lain kecuali hanya mengurai sebuah mimpi. Mimpi indah bahwa suatu saat aku dapat bertemu denganmu kembali, menggandeng tanganmu untuk bersama-sama membangun sebuah istana kebahagiaan.
Aku pun semakin gelisah. Memang sejak pertama kali dahulu aku selalu bercita-cita ingin menyatukan cinta kita. Cinta yang terhalang oleh sebuah ketakutan dan oleh sifat pengecutku. Aku teramat takut dan pengecut untuk mengatakannya, Lara. Seribu alasan aku berikan bahwa aku belumlah menemukan cara yang tepat saja untuk mengungkapkannya.
Dan aku terus berjalan. Kumenengadah ke langit. Bintang-bintang mengerlip, seperti beribu-ribu binatang malam yang terjerat mengerdip-ngerdipkan matanya di angkasa. Sesekali kurasakan embusan angin lembut yang seolah bergerak berirama. Aku menyusuri jalanan yang selalu hiruk-pikuk di siang hari namun lengang di saat hari mulai merangkak malam. Alangkah cepatnya dunia ini berubah. Namun, andai engkau tahu, Lara, bahwa cintaku kepadamu tak akan pernah berubah, melainkan semakin menebal hari demi hari.
Dan perasaan ini semakin menjadi ketika aku telah sampai di ambang kota dimana aku ketahui terakhir kali engkau tinggal. Sejenak pikiranku berharap engkau masih berdiri di atas sana, atau duduk termenung dengan nestapa merenungi garis perjalanan cinta yang terhambat. Lantas ketika aku datang engkau pun menyambutku dengan hati yang terbuka. Engkau lontarkan kata-kata yang manis nan menyejukkan hati lewat lirih suaramu. Kau sertakan pula senyuman khas seorang bidadari yang lembut dan manja, teramat hebat menggetarkan hati yang terdalam.
Hatiku bergetar. Aku kembali mencoba menemukan sisa-sisa keharuman dan kehangatan yang tak kuraih dulu. Lewat setiap lorong-lorong di kotamu. Lewat setiap dinding-dinding kota ini, Lara. Aku amati semua ini dengan seksama. Parodi kehidupan jalanan pun terasa begitu indah. Anjing liar nan dekil ini bahkan aku saksikan sebagai penyambut seorang pangeran yang dengan jiwa dan sifat kepahlawanan yang tinggi sedang mengembara mencari cinta sejatinya.
Ah, sungguh dahsyat kekuatan cinta ini kurasakan. Hingga semua ini terlihat begitu indah. Dalam hatiku aku adalah seorang Qais, yang menelusuri setiap lorong dan dinding di kota Laila dengan penuh ketakjuban dan cinta. Hingga kemudian terucaplah kata-kata syair dan pujian:
Ketika aku lewat di kota Laila, aku lewati setiap lorong dan dindingnya
Sebenarnya, bukanlah kecintaan kepada kota ini yang menggetarkan hatiku,
Namun kecintaanku kepada orang yang tinggal di kota ini *
Aku lantas mengganti nama Laila dalam syair itu. Kemudian dengan tanpa ijin penciptanya aku menggantinya dengan namamu, Lara. Lara yang manis, teramat manis, dan akan selalu manis. Hal ini kulakukan karena aku adalah Qais sang penyair. Aku bebas mengirimkan syairku kepada siapa saja, kepada seseorang yang kucintai. Dan yang aku cinta bukan Laila. Yang kucanti hanya engkau. Hanya engkau, Lara!
Lara, keluarlah engkau. Temui aku! Sungguh aku telah tersesat. Aku tak mampu menemukan keberadaan dirimu. Adakah tanda yang yang dapat memberiku petunjuk akan keberadaan dirimu? Engkau tahu Lara, malam ini teramat sunyi. Tak seorangpun dapat aku tanyai tentang keberadaan dirimu, Lara. Apakah aku mesti bertanya kepada anjing liar nan dekil ini, yang engkau dan semua orang pun tahu, ia tak dapat aku harapkan sedikitpun untuk memberiku jawaban?
Lara, tak cukup kuatkah angin cinta yang kuhembuskan kepadamu, sehingga belum cukup untuk membimbingmu menemui diriku? Lara, betapa terkutuknya aku membiarkanmu berada di bawah garis kebimbangan dulu. Yang mungkin karena hal tersebut kemudian tumbuhlah tunas-tunas kebencian dan dendam yang semakin subur di dalam hatimu.
Lara, berteriaklah sekencang-kencangnya. Makilah diriku sepuas-puasmu jika hal itu dapat menenangkan hatimu. Jika memang hal itu dapat menghancurkan beban terberat yang selama ini menghimpit perasaanmu. Atau menangislah sekeras-kerasnya, demi keluarnya sebuah dendam membara yang nyata engkau kira berasal dari diriku.
Lara, dengan sangat aku mohon muncullah ke hadapanku. Akan kunyanyikan sebuah lagu cinta terindah yang khusus kuciptakan untukmu seorang. Lagu yang tak pernah dan tak akan pernah kunyanyikan jika aku tidak berhasil menemukanmu. Aku tidak mau ada satu makhluk pun yang mendengarnya sebelum engkau mendengarnya terlebih dahulu dari mulutku. Lagu yang berisi tentang awan tipis yang berjalan beriringan. Lalu ia masuk ke dalam pijar matahari. Dan kemudian dari sinar itu memancarlah warna-warni yang semarak, yang berpijar-pijar masuk ke dalam kornea matamu yang pasti akan terasa indah. Kamu pun pasti akan berusaha untuk tidak berkedip. Untuk tetap setia menikmati warna-warni yang berpendaran itu. Warna-warni langit yang mengabarkan sejuta keindahan yang belum pernah dimiliki.
Dan terakhir kali aku berucap, Lara. Bahwa sesungguhnya perjalanmu dan pencarianku telah erat menyatu dalam satu desah nafas hidupku. Aku akan terus berusaha dan berusaha pergi ke seluruh penjuru dunia. Semoga dengan kecepatan kaki ini untuk mengelilingi dunia ini dan untuk menemukan dirimu, selamanya tidak pernah mengenal lelah. Semua orang mungkin akan letih berjalan dan semakin letih, namun aku tidak akan pernah letih. Seluruh hidupku tlah kuberikan untuk mencarimu. Ya, jika saja matiku tiba, itu bukan masalah bagiku, karena mati selalu akan membinasakan segala sesuatu meskipun orang senantiasa panjang angan-angannya.
Aku pun akan tetap seperti ini, Lara. Tidak akan berubah pendirianku. Ketika matahari terbit pada masa itu, aku akan tetap mengingatmu. Demikian pula ketika hujan aku akan sedih mengingatmu. Jika angin datang, maka itupun juga akan senantiasa membangkitkan ingatanku kepadamu.
Lara kekasihku. Aku akhiri kisah sendu ini. Aku pun tidak tahu apakah kisah ini sampai pula ke telingamu.
Namun aku akan berpesan kepada burung-burung yang terbang bebas di udara, kepada ikan-ikan yang berenang di laut, pada semua yang ada di muka bumi ini, untuk tetap membantuku mencarimu. Mereka pun harus terus berusaha mencari dan mencarimu. []
Footnotes
* Kata-kata Qais (Al-Majnun), kekasih Laila.
Kolaborasi no. 160 --> M. Rifan Fajrin & Janoary M. Wibowo
NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H