Akhir-akhir ini ulah ISIS kembali menggaet perhatian penduduk Indonesia, baik mayoritas yang kontra dan minoritas yang pro.
Beberapa hari yang lalu, bom meledak di Gereja Stasi Santo Yosep Medan. Sang pelaku, IAH (18 tahun), diketahui terobsesi dan terinspirasi dengan ISIS dan Abu Bakar al-Baghdadi.
Masih segar pula ingatan kolektif ketika ISIS mengaku bertanggung jawab atas pengeboman di Sarinah. Lebih-lebih, aksi tersebut dikoordinasikan oleh Jaringan ISIS baik di Suriah maupun Tanah Air (bahkan saat ini diperkirakan terdapat 300-500 WNI yang bergabung dengan ISIS di Suriah).
Jaringan ISIS di Indonesia yang bertanggung jawab atas penyerangan tersebut terhubung dengan Santoso alias Abu Wardah, komando Mujahidin Indonesia Timur yang bersumpah setia dengan ISIS.
Slogan heroik “Kami Tidak Takut” memang adalah hal yang sangat positif. Namun jujur saja, kita semua kaget bukan? Kaget setelah kita pikir Indonesia berhasil kabur dari era teror Jemaah Islamiyah (sayap al-Qaida di Asia Tenggara) setelah tewasnya Noordin M. Top di tahun 2009. Namun, kita dihadapkan fakta bahwa ada kelompok ekstremis baru yang mencoba meneror Indonesia –Bahkan lebih keji. Terutama sekali di Timur Tengah, bisa dikatakan bahwa ISIS lebih ganas dari al-Qaida. Usut punya usut, al-Qaida, organisasi teroris pimpinan Osama bin Laden dan Ayman al-Zawahiri, bahkan untuk memerangi ISIS.
Untuk mengetahui alasan mengapa ISIS lebih berbahaya, ada baiknya sejarah ke Timur Tengah dan bagaimana bisa pecah dari al-Qaida dan menyulut kemarahan bahkan kelompok ekstremis paling terkenal dengan serangan 11 September tersebut.
SEJARAH
I. Wahabisme
Awal mula ISIS dimulai dengan Wahabisme, sebuah gerakan yang berkembang di Arab Saudi sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Kelompok Islam Sunni ini memiliki interpretasi yang sangat konservatif atas Islam –Menganggap bid’ah siapapun yang tidak setuju dengan mereka. Wahabi yang awalnya hanya sebuah sekte kemudian menjadi kekuatan politik dengan melakukan “kawin politik” dengan Dinasti al-Saud, keluarga kerajaan Arab Saudi, terutama setelah kerajaan tersebut didirikan pada 1953. Sebegitu berpengaruhnya ulama dan kelompok Wahabi dalam melobi Kerajaan Saudi, di tahun 1975, Raja Faisal (memerintah 1964-1975) dibunuh oleh kelompok Wahabi karena dinilai terlalu “liberal”.
Lompat ke tahun 1980’an, puncak Perang Dingin AS vs. Soviet. Uni Soviet menginvasi Afghanistan dan mendirikan pemerintahan Komunis. AS pun tidak ingin tinggal diam namun tidak ingin pula untuk melakukan invasi membela Afghanistan (yang bisa memicu perang nuklir). AS pada akhirnya mendukung dan melatih sayap militan Wahabi di Afghanistan untuk melancarkan “Jihad” ke Uni Soviet. Kelompok ini dikenal sebagai Taliban dengan Osama bin Laden sebagai salah seorang pemimpinnya.
Pada akhirnya, Uni Soviet dikalahkan oleh Taliban di Afghanistan. Soviet runtuh pada tahun 1991, dan Taliban yang terlanjur begitu kuat mengambil alih pemerintahan Afghanistan di tahun 1996. Namun di tahun 1991, Saddam Hussein dari Irak menyerang Kuwait dan mengancam untuk melancarkan invasi ke Arab Saudi jika kerajaan tersebut nekad menentang Saddam.
Hal ini membuat murka negara-negara Arab lainnya. Bin Laden yang kini memimpin al-Qaida (salah satu sayap Taliban) menawarkan jasanya kepada Raja Saudi untuk melancarkan “Jihad” melawan Saddam Hussein, yang malah ditolak oleh Pemerintah Saudi. Arab Saudi dan sekutu Teluk-nya justru memilih AS sebagai juru selamat mereka. Alhasil, jutaan pasukan “kafir” AS yang menginjakkan kaki di Jazirah Arab membuat Bin Laden murka dan sakit hati, hingga ia bersumpah ingin melawan hegemoni AS dan Barat di negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim.
II. Irak
Setelah Saddam Hussein lengser, AS mendirikan pemerintahan Irak yang baru. Namun hal ini menjadi fenomena unik, sebab di Era Saddam Hussein, aspek sosial-politik Irak didominasi oleh suku Arab beragama Islam Sunni. Pemerintahan Irak Pasca-Saddam didominasi oleh suku non-Arab (Kurdi) dan Arab Syi’ah. Suku Kurdi banyak yang menjadi Presiden Irak Pasca-Saddam, seperti Fuad Masum dan Jalal Talabani. Perdana Menteri Irak didominasi oleh Arab Syi’ah, seperti mulai dari Iyad Allawi, Ibrahim al-Jafari, Nuri al-Maliki, hingga yang kini dijabat Haider al-Abadi.
Awalnya, tujuan utama mereka sekedar mendirikan negara Islam di Irak dan Suriah, kemudian setelah bertambah kuat, tujuan ISIS dibesarkan menjadi seluruh Timur Tengah. Pada tahun 2014, ISIS menaikkan level tujuan mereka untuk mendirikan sebuah kekhalifahan di seluruh dunia.
4 ALASAN ISIS LEBIH BERBAHAYA
1. Membunuh umat Muslim adalah tujuan, bukan hanya “collateral damage”
Ketika melancarkan serangan bom bunuh diri, al-Qaida hampir selalu menargetkan lokasi yang menjadi simbol atau berfungsi mewakili kepentingan Barat dan AS. Muslim yang terbunuh dianggap sebagai resiko yang harus dibayar untuk mencapai tujuan mereka (collateral damage). ISIS, di lain pihak, secara terang-terangan ingin menghukum seluruh umat Muslim yang tidak setuju dengan mereka. Uniknya, hal ini menjadi motivasi mereka untuk melancarkan serangan bom di Sarinah.
2. Mengahpus akar budaya lokal
Di Suriah dan Irak, ISIS menambah masalah kedua negara tersebut dengan menghancurkan artefak kebudayaan yang bersumber di luar budaya Wahabi Arab Saudi. Bukan hanya warisan peradaban kuno era pra-Islam seperti Mesopotamia, Babylonia dan Assyria yang menjadi target, bahkan warisan Islam seperti makam Nabi Yunus di Irak saja dihancurkan!
Ribuan warga Kurdi di Irak dan Suriah menjadi korban kekejaman pasukan ISIS sejak tahun 2014. Meski suku Kurdi sama-sama beragama Islam Sunni, namun ISIS tetap melakukan “pembasmian” terhadap suku Kurdi karena mereka memiliki budaya dan gaya hidup yang berbeda. ISIS juga dikenal melampiaskan kekejaman mereka pada umat Kristiani di Irak dan Suriah, suku Yazidi, Armenia, Turkoman dan lain-lain.
Al-Qaida memang sebuah kelompok teroris yang kejam. Namun ISIS pada akhirnya bisa lebih kejam dengan membantai anak-anak, orang tua, bahkan memberikan restu bagi prajurit mereka untuk melakukan pemerkosaan massal. Meski bertujuan mendirikan kekhalifaan, salah satu kemunafikan ISIS adalah dengan menghalalkan perzinaan dan pembunuhan warga sipil bagi prajurit mereka.
Kita sebagai bangsa Indonesia sudah sepatutnya tidak takut dengan ancaman ISIS, namun tetap aktif dalam menghalau Wahabi-isasi dan ektremisme di Tanah Air.
Kami Tidak Takut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H