Mohon tunggu...
Muhammad Reza Zaini
Muhammad Reza Zaini Mohon Tunggu... -

An anthropolgy and sociology enthusiast. Bachelor from FISIP UI.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Andrew dan Ahok: Jenis Rasisme Baru pada Etnis Tionghoa

30 Agustus 2016   12:50 Diperbarui: 30 Agustus 2016   15:45 3028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Foto Stasiun TransJakarta Karet 2 (sumber: transjakartabusway.blogspot.com)

P.S. Artikel ini tidak menunjukkan keberpihakan pada Ahok. Artikel ini secara netral melihat fenomena sosiologis pemaknaan baru pada penggunaan kata "Ahok" sebagai racial slur.

Kasus pengroyokan Andrew dalam bus Trans Jakarta tiba-tiba mengingatkan saya pada kicauan Twitter seorang warga AS tentang Bernie Sanders.

Jika warga AS mendukung Bernie Sanders sebagai Presiden AS, maka warga AS harus siap juga dengan mendukung seluruh warga Yahudi di AS melawan diskriminasi. Jika Sanders terpilih [sebagai Presiden AS], akan ada banyak pihak yang melampiaskan kemarahan mereka terhadap Sanders pada seluruh warga Yahudi.”

Kurang lebih seperti itulah bunyi kicauan tentang capres AS dari Partai Demokrat tersebut. Sanders memang seorang Yahudi. Meski ia dikenal anti-kapitalisme (di AS, Yahudi identik dengan bisnis besar dan konglomerat), anti-Zionisme dan keras terhadap Israel, namun Sanders akan selalu dilihat sebagai Yahudi. Bila Sanders mengeluarkan kebijakan yang tidak populer, maka warga Yahudi di AS harus “menanggung” kebencian yang sejatinya ditujukan pada Sanders.

Pun demikian dengan Muslim Eropa yang menanggung kebencian setelah serangan bom di Prancis dan Belgia. Meski komunitas Muslim di kedua negara mengutuk keras aksi terorisme, hal tersebut tidak meredam aksi pengrusakan masjid di Prancis dan Belgia.

Kedua fenomena ini adalah bukti nyata bahwa kaum minoritas akan selalu dilihat sebagai sebuah kelompok, bukan individu. Jika seorang minoritas melakukan sebuah kesalahan, maka itu karena seluruh identitas etnisnya memiliki norma demikian. Namun, bila seorang mayoritas melakukan sebuah kesalahan, ya…memang karena ia adalah individu yang buruk.

Seseorang yang melihat bagaimana seorang pengacara Batak berkata secara blak-blakan dalam konferensi pers akan menganggap bahwa semua orang Batak adalah “keras”.

Keberadaan beberapa warga suku Papua mabuk-mabukan pun cukup menjadi justifikasi untuk menolak kehadiran mahasiswa asal Papua.

Arus Baru Rasisme Tionghoa

Seperti halnya dengan etnis Batak dan Papua yang telah dipaparkan, etnis Tionghoa juga menjadi target generalisasi (negatif) dari beberapa kaum mayoritas.

Namun, saya melihat ada hal unik pada etnis Tionghoa akhir-akhir ini:

Penggunaan “Ahok” sebagai atribut kebencian berbasis SARA

Ketika Ahok menjadi seorang politisi naik daun di Jakarta, saya sempat memiliki kekhawatiran seperti si pengguna Twitter pendukung Bernie Sanders. Banyak warga, baik Tionghoa dan non-Tionghoa, yang mengekspresikan kegembiraan mereka atas “fenomena Ahok”: Sebuah momentum yang mengakhiri prasangka bahwa “Tionghoa tidak loyal” atau “Tionghoa acuh tak acuh dengan Indonesia”. Namun terkaan saya benar, Ahok kini menjadi simbol stereotip dan prasangka baru.

Arogansi (atau pribadi) ala Ahok menjadi sebuah stereotip baru bagi etnis Tionghoa. Lebih dari itu, “Ahok” kini dijadikan sebagai sebuah ejekan baru bagi etnis Tionghoa –“Cina” atau “Cokin” mungkin sudah “basi”. Memang munculnya Ahok sebagai figur publik dilihat sebagai sebuah kebangaan bagi warga Tionghoa dan non-Tionghoa yang membuktikan pluralisme Indonesia. Namun realita menunjukkan bahwa “fenomena Ahok” membawa arus baru rasisme pada etnis Tionghoa di Indonesia.

Individu yang berpikiran sempit dan rasis menjadikan pribadi Ahok sebagai stereotip Tionghoa. Hal ini diperkeruh dengan kondisi ekonomi dan isu kedatangan buruh asal Tiongkok. Alam bawah sadar individu yang berpikiran rasis melihat ini sebagai sebuah ancaman bagi mereka.

Sah-sah saja jika kemarahan dilampiaskan kepada Ahok (atas kebijakan Ahok yang dianggap merugikan) atau warga RRT (sehubungan dengan kedatangan buruh). Namun ini menjadi sebuah masalah jika timbul pada pikiran individu rasis yang menganngap semua etnis Tionghoa sebagai satu kelompok sosial.

Melawan Rasisme

Seperti halnya dengan wacana Bernie Sanders, kasus pengroyokan Trans Jakarta ini adalah sebuah realita pahit akan masyarakat kita.

Berdasarkan keterangan pers, Andrew (korban) dikeroyok tanpa alasan yang jelas –Dan kemungkinan besar ia menjadi korban kebencian hanya karena “terlahir sebagai Tionghoa”. Lebih-lebih, pihak penyerang menunjukkan “ketidak-beradab-an” dengan lebih jauh mereka dengan mengecap Andrew sebagai representasi individu yang mereka benci (penulis berasumsi bahwa para penyerang memiliki konotasi negatif pada kata “Ahok”). Jika kerusuhan Tanjung Balai dipicu oleh “cekcok sepele” antara warga Tionghoa dan non-Tionghoa, apakah Andrew (yang notabene tidak melakukan apa-apa) menjadi korban hanya karena ia Tionghoa dan dianggap sebagai representasi Ahok? (Penulis berasumsi bahwa para penyerang memiliki konotasi negatif pada kata “Ahok”).

Oleh karena itu, pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan adalah: Apakah kita juga harus bersiap untuk mendukung etnis Tionghoa secara keseluruhan karena mereka kini telah “didaulat” menjadi representasi Ahok?

Bhinneka Tunggal Ika

#KamiAdalahAndrewBudikusuma

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun