Mohon tunggu...
Muhammad Reza Zaini
Muhammad Reza Zaini Mohon Tunggu... -

An anthropolgy and sociology enthusiast. Bachelor from FISIP UI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lagi-Lagi Stereotip

30 Maret 2015   13:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:47 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_358113" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: http://remotivi.or.id/pendapat/kebinnekaan-ala-televisi"][/caption]

Suka atau tidak suka, setiap etnis memiliki stereotip masing-masing. Ada yang bilang kalau Orang Padang itu “pelit”, Orang Jawa itu “terlalu penurut” atau Orang Batak itu “kasar”. Etnis pendatang pun tak luput juga dari stereotip –justru mereka mungkin lebih memiliki stereotip yang lebih kental. Contoh yang paling dikenal adalah bahwa Orang Tionghoa itu kaya dan bersifat untung-untungan saja. Uniknya, akhir-akhir ini saya mendengar stereotip “tambahan” bahwa Orang Tionghoa itu juga arogan dan banyak omong.

Oke, kita mungkin sudah lama mendengar stereotip Orang Tionghoa itu kaya dan untung-untungan akibat kebijakan Era Orde Baru. Tapi sebentar, arogan? Banyak omong? Baru pertama kali ini saya mendengar ada stereotip Orang Tionghoa itu arogan dan banyak omong. Memang tidak banyak yang berkata seperti ini, tapi unik saja mendengar beberapa pihak berkata demikian.

Usut punya usut, saya menduga stereotip ini muncul akibat kelakuan Ahok selama ia menjabat sebagai Gubernur DKI. Gaya bicara Ahok yang terkesan “arogan” dan “kasar” menurut massa mainstream menjadi identik dengan dirinya…dan kemudian dipaksakan ke identitas kesukuannya.

Saya memang bukan pendukung Ahok, tapi rasanya gatal saja mendengar stereotip irasional seperti ini masih berkembang di masyarakat yang katanya modern. Ada pula yang menyatakan bahwa tabiat Ahok yang biasa berkata kasar dan terlihat arogan bisa memicu sentimen anti-Tionghoa. Alam rasionalitas psikologi manusia seakan menghilang! Sebuah ironi bahwa pandangan tentang suatu kelompok etnis/budaya dilihat dalam kaca mata irrasionalitas.

Umat Muslim Bukanlah Teroris

Kita mungkin masih ingat tragedi penembakan di kantor redaksi Charlie Hebdo. Tragedi berdarah tidak hanya berhenti di situ. Selang beberapa hari setelah penembakan, terdapat beberapa kasus warga pribumi Prancis yang menyerang masjid dan melakukan tindakan SARA anti-imigran Muslim. Mereka “melampiaskan” kemarahan mereka atas 2 orang tersangka penembakan ke seluruh komunitas keagamaan para tersangka. Seluruh komunitas Muslim seakan dianggap bertanggung jawab atas penyerangan tersebut. Andaikata pelaku penembakan adalah pribumi Prancis, maka media mainstream akan melihat pelaku penembakan tak lebih sebagai seorang individu yang memiliki sifat kriminal. Sebuah cara pikir yang irasional!

Jika dibandingkan dengan konteks Etnis Tionghoa di Indonesia, kedua contoh merupakan dua kasus yang serupa.

Ketika seorang Tionghoa berkata kasar, maka seluruh Etnis Tionghoa dianggap sebagai penutur kasar. Jika seorang pribumi berkata kasar, maka ia hanya dilihat sebagai seorang pribadi yang suka berkata buruk. Pun demikian pandangan bahwa “semua Etnis Tionghoa itu kaya dan tidak mau melebur dengan pribumi”.

Secara sosiologis, masyarakat etnis mayoritas memiliki kecenderungan untuk sering melihat etnis minoritas sebagai sebuah kelompok sosial, bukan sebagai individu. Tidak percaya? Lihat saja kasus Etnis Arab di Prancis atau Etnis Kulit Hitam di AS (Kulit Putih AS melihat bahwa seluruh Kulit Hitam memiliki sifat kriminal).

Saya memiliki sebuah contoh yang unik: Saya punya seorang teman bule yang pernah bekerja di Afrika Barat. Suatu saat, ia dijamu oleh sekelompok tetua adat untuk memakan jeroan. Teman saya ini memang tidak suka jeroan, dan warga Afrika lokal tersebut langsung mengira bahwa semua orang bule tidak suka makan jeroan.

Primal Instinct

Secara sosiologis, konflik, gesekan antar-etnis atau stereotip negatif akan timbul ketika terjadi perebutan sumber daya dalam masyarakat dimana kedua etnis tersebut tinggal. Namun mengapa banyak orang berpendidikan tinggi masih memiliki cara pandang seperti ini? Mungkin inilah bagian dari insting alamiah manusia yang telah ada sejak zaman purba (primal instinct).

Pikiran manusia menciptakan sebuah mekanisme survival berupa sebuah insting alamiah jika manusia merasa terancam. Saya begitu tertarik melihat upaya masyarakat purba untuk mengetahui apakah hewan tertentu bisa diburu atau tidak. Ketika satu jenis hewan bersifat agresif, maka seluruh hewan tersebut pasti bersifat agresif dan tidak bisa diburu. Hal ini berhubungan dengan keselamatan dan survival individu tersebut. Bisa jadi banyak masyarakat kita yang masih memiliki cara pikir tersebut karena mereka merasa posisinya “terancam” oleh etnis lain.

Akhir kata, Indonesia adalah negara dengan penduduk yang beragam dan diikat oleh identitas nasional sebagai Bangsa Indonesia, bukan identitas kesukuan yang sempit. Bukankah Tuhan menciptakan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal? Bukan saling menciptakan stereotip?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun