[caption caption="The Last Soldier Standing"][/caption]Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya Saya Ingin Publikasi Novel Melalui Kompasiana saya akan menarasikan imajinasi saya tentang 'sesuatu'. Semoga anda penasaran dengan bab pertama yang belum sempurna ini. Selamat membaca.
 ***
Sementara menunggu terbitnya matahari dari barat
Manusia mengisinya dengan berbagai ledakan
Ledakan yang akan mengubah peradaban
Ledakan yang menyisakan kepedihan
-Krokos di hari tergelap sepanjang sejarah umat manusia-
Â
Duar, pintu kayu itu patah dan hancur berkeping keping.
Aku melemparkan palu ke halaman lalu berjalan masuk. Sinar matahari menerobos celah celah jendela yang, memberi sedikit penglihatan ke dalam ruangan. Tak ada barang istimewa ditempat ini. Yang kutemukan hanyalah kursi kursi kayu, meja, peralatan makan, botol botol besar di lemari. Khas dengan budaya benua ini. Aku membersihkan debu tebal disalah satu kursi. Meletakkan tasku disana, melepaskan sepatu, memeriksa jam tanganku. Pukul 16.30. Aku ingin membersihkan diri, mensucikan diri, semoga ada sumur disini. Dan belum kering.
Aku menggeledah keruangan ruangan lain, berharap menemukan sesuatu yang bisa kugunakan. Untuk saat ini aku butuh beberapa benda-pakai. Aku tak akan membawanya. Terlalu berat. Aku menemukan satu set lengkap peralatan makan, kantong tidur, beberapa kaleng kosong, pisau dapur, peralatan mesin, tapi tak ada makanan.
Aku menggosok sepatuku dengan semir yang kutemukan di bawah tangga. Aku masih menjadi orang yang rapi. Aku mencoba coba beberapa sepatu lain yang kutemukan di bawah tangga, kuraca cocok. Tapi aku tak akan mengambilnya, kecuali diperlukan. Aku segera menyalakan api di perapian, menuangkan dua gelas air, sisa dari usahaku menimba di sumur yang hampir benar benar kering. Aku memeriksa tas, menemukan beberapa roti yang keras, aku mencelupkannya ke air yang sudah mendidih.
Menikmati langit merah yang semakin gelap, melihat lihat kearah langit, tak ada apapun diatas sana, tak ada hal normal, tak ada burung yang terbang kembali ke sarang, tak ada desiran angin sore, tak ada ...
Matahari telah hilang, api di perapian membakar kayu, berusaha untuk tetap mempertahankan kehangatan ruangan ini, yang tak kunjung menghangat. Aku melemparkan kertas kertas, buku, dan kayu kursi agar api membesar. Kuambil segelas air yang tersisa, benar benar air terakhir, sampai aku menemukan sumur lagi. Aku berkumur sedikit, mengusap usap wajahku, tangan, kepala dan telingaku, lalu kaki. Berharap masih ada air tersisa. Tapi benar benar telah habis.
Aku berdoa, aku menemui penciptaku, memohon kekuatan, memohon perlindungan, memohon bimbingan dikehidupan yang akan segera berakhir. Sunyi, hanya ada suara derak derak kayu dimakan api, dan ruas ruas tubuhku yang berusaha kurenggangkan. Aku merasakan pegal di seluruh persendian, seolah olah ada kerikil yang mengganjalnya.
Api bergoyang goyang memberikan bayangan pada setiap benda yang menghalangi cahayanya. Bayang bayang itu menempel di dinding. Bergoyang goyang seperti halnya Aku mengamati bayanganku sendiri, sedang duduk, memegang sebuah buku kecil, buku, buku berisi kalimat kalimat indah pemilik dunia. Aku sedang membukanya membacanya, meresapi maknanya.
Sekeliling ruangan penuh oleh rak rak berisi buku. Mungkin tempat ini sebenarnya perpustakaan dibanding ruang makan. Atau ruang keluarga lebih tepatnya. Aku bangkit memeriksa beberapa buku, debunya banyak sekali. Tempat ini sudah ditinggalkan dalam waktu yang lama.
Ada beberapa buku yang kutemukan, buku buku tipis, komik anak anak, buku pengetahuan umum, majalah pertanian, otomotif, buku filsafat, Origin of Species Charles Darwin, buku tentang Kekhalifahan Islam masa masa awal, novel Karl May, kliping berita pertempuran di Laut Tengah, komik komik Jepang, satu deret penuh National Geographic, lalu aku membuka sebuah laci kecil. Kutemukan beberapa benda. Ponsel, kartu kredit, kartu seluler yang sobek, charger, uang beberapa lembar, dan satu set kunci.
Aku mengambil kunci dan mengantonginya. Ponselnya tidak bisa hidup, kurasa baterainya habis. Aku akan menjemurnya, mungkin itu bisa mengisi ulang baterai. Kugeledah beberapa rak lagi, menemukan senter, masih hidup, dan beberapa kotak baterai. Aku menemukan radio, masih hidup juga, tapi tak ada suara apapun selain suara sinyal yang menjengkelkan. Tapi aku membiarkannya hidup. Kurasa itu lebih baik, aku butuh suara selain diriku sendiri. Suara yang aku kenal dan aku pahami. Masih adakah kehidupan di luar sana? Masih adakah stasiun radio yang menyala?
Kurasa tidak. Tapi kurasa masih ada kehidupan.
Aku merebahkan diri di lantai, mengalasi diriku dengan beberapa lembar koran, selimut yang kuangkut dari tempat tidur, mengganjal kepalaku dengan bantal yang telah kehilangan busanya. Kuhadapkan wajahku ke api yang hampir padam, memandangi bara api, aku memejamkan mata. Tapi aku belum tidur.
Betapa cepatnya kehidupan.
Berusaha menenangkan diriku sendiri, aku mengambil nafas dalam dalam. Pikiranku kosong, tak ada apapun. Semua kesulitan hidup telah berakhir. Aku merasakan seperti itu. Saat ini yang perlu kulakukan hanyalah bersaha tetap hidup dan menunggu sampai malaikat maut menjemput. Simpel sekali. Tidak juga. Aku punya tujuan yang harus kucapai. Ada arah yang kutuju. Dan ada semangat yang tersisa. Apalagi? Mungkin banyak yang seharusnya aku sampaikan pada kalian. Tapi aku bukan narator yang baik.
Kutarik selimutku, aku merogoh sakuku untuk mengambil korek api-senter. Aku mencoba menghidupkannya. Kubuka novel kecil yang aku temukan di jalanan kota. Dibawah seorang pria yang telah hangus. Terbakar. Novel berjudul David and The Road Back. Novel itu bercerita tentang seorang pemuda, pesuruh, yang kabur dari rumah majikannya yang memperlakukannya seolah budak. Perjalanan kaburnya ke Denmark melalui jalan darat, dengan berjalan kaki. Aku telah membacanya sedkit, sebuah pembukaan yang bagus.
"Mereka sebenarnya orang baik. Mereka memberiku makan saat lapar, memberiku selimut saat kedinginan terutama akhir bulan ini, salju telah menebal didepan pondokku, mereka mengirim lima selimut tebal, mereka juga tak lupa menanyakan keadaanku jika aku terus terusan mengurung diri. Mereka orang baik. Kecuali si Johann, dia begitu membenciku. Aku tak tahu mengapa tapi sejak pertamakali aku bertemu dengannya, Johann telah menunjukka permusuhan yang sangat. Johann adalah saudara sepupu pemilik rumah, tapi aku tak tahu mengapa dia begitu berkuasa atas keluarga ini. Johannlah yang emnghalangi mereka untuk selalu berbuat baik padaku, Johannlah yang memerintah mereka untuk tidak memberiku makan. Johann, kata seorang tukang air yang datang minggu lalu, adalah seorang psikopat tingkat tinggi."
Aku menutup novelnya setelah menandai halaman terakhir yang aku baca. Cerita David sebenarnya bagiku tidak menarik, cerita tentang pekerjaan di rumah majikannya. Tapi aku menyukai bagaimana dia bisa tetap hidup diluar sana, dalam pelariannya untuk kembali ke keluarganya di Denmark daratan. David adalah seorang seorang pemuda berusia 19 tahun dengan wajah kemerah merahan rambut ginger dan titik titik wajah yang biasa ditemukan pada rasnya. Persis sepertiku, David saat ini tengah berada di dunia yang tidak ia kenal sebelumnya. Dunia yang sunyi, dunia tanpa keramaian umat manusia. Perbedaannya aku tahu mengapa duniaku begitu sunyi sementara David tidak.
Â
bersambung ........
Bagaimana? Tidak menarik bukan, ya soalenya saya sedang melawan arus tema cerita. Mohon kritik sarannya. :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H