Mohon tunggu...
Muhammad Maulana
Muhammad Maulana Mohon Tunggu... profesional -

Stop writing, stop life

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Pungli Pengurusan SKCK

16 Desember 2014   00:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:15 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_382826" align="aligncenter" width="400" caption="Lembar PP No. 50 Tahun 2010 Tentang PNBP Polri"][/caption]

Walaupun biaya penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian atau yang umum disebut SKCK sudah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, namun masih ada saja oknum Polisi yang melakukan pungli. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Yang Berlaku Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, biaya untuk penerbitan SKCK adalah sebesar Rp 10.000 (Sepuluh Ribu Rupiah). Praktenya, oknum "polisi nakal" masih ada saja yang meminta lebih.

Salah satu modus yang pernah terjadi di Kantor Kepolisian Sektor Pancoran Mas Kota Depok adalah, petugas sidik jari meminta uang serelanya kepada pemohon SKCK. Menurut Wawan, petugas ini tidak menentukan nominal yang harus dibayar oleh pemohon, namun nada bicaranya menunjukan pemaksaan agar pemohon memberikan uang kepada petugas. "Silahkan pak, biaya untuk sidik jarinya, (besarnya) terserah aja sih", cerita wawan menirukan bicara si petugas.

Pemohon pada umumnya, lanjut wawan, memberikan "biaya sidik jari" kepada si petugas dengan jumlah nominal yang variatif, mulai dari Rp 5.000 sampai dengan Rp 20.000. "ada yang kasih Rp 5.000, bahkan sampai Rp. 20.000", kata wawan. Dirinya sendiri akhirnya rela mengeluarkan kocek Rp 5.000 untuk petugas itu. "si petugas langsung menyambar uang saya dan memasukannya ke dalam laci majanya" lanjut Wawan.

Menurut Wawan, korban lain pungli ini adalah Siti dan Riko. Wawan dan keduanya berbarengan saat mengurus penerbitan SKCK. Menurut cerita Siti kepada wawan, ia memberikan uang kepada si petugas yang jumlahnya empat kali lipat lebih besar dari yang dikeluarkan Wawan, sementara Riko hanya merogoh Rp 10.000.

Peristiwa yang menimpa ketiga orang itu seharusnya tidak lagi terjadi di Indonesia. Pungli atau apapun bentuknya sudah semestinya dibuang jauh. Namun fakta di lapangan masih menunjukan lain. Parahnya lagi, pungli juteru terjadi di kantor kepolisian RI yang saat ini sedang gencar melakukan "razia zebra" kepada para pengendara motor. "Razia Zebra" yang menuntut para pengendara mobil dan motor untuk patuh terhadap peraturan perundang-undangan tentang lalu lintas seolah bertolak belakang dengan perilaku oknum petugas SKCK di Kantor Polsek Pancoran Kota Depok itu.

Pejabat terkait, dalam hal ini adalah Kepala Kepolisian RI, khususnya adalah Kepala Kepolisian Sektor Pancoran Mas Kota Depok seharusnya bisa menindak tegas perilaku para anak buahnya yang mencoreng nama baik kepolisian. Misalnya dengan menskors petugas yang terbukti melakukan pungli. Sistem yang transparan dan akuntabel juga perlu dibangun, seperti memasang cctv di ruang petugas-petugas yang berpotensi melakukan pungli. Selain itu, sikap masyarakat pun harus mulai berani menolak pungli-pungli atau sejenisnya, walaupun pungli dilakukan oleh oknum berseragam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun