Dalam naskah Competitive Advantage (1985), Michael E. Porter mengutarakan bahwa untuk memenangkan kompetisi pasar, suatu produk dalam lini apapun musti memiliki minimal dua hal: keterjangkauan bea dan kuat dalam differensiasi produknya. Tanpa dua prasyarat itu rasanya begitu musykil sebuah perusahaan sanggup memacak prestasi gemilang. Rupanya sabda Porter tiga dasawarsa silam itu digenggam teguh Perusahaan Gas Negara (PGN) dalam membumikan gas bumi di tiap jengkal bumi Indonesia.
PGN tanpa henti melakukan terobosan baik dalam lini teknologi, model bisnis, hingga tata kelola demi menciptakan differensiasi produk yang unggul dan unik untuk semua pelanggan dan calon penggunanya. Tulisan singkat ini hanya ingin mengamini seraya mempertegas apa yang telah dan akan dilakukan PGN. Oleh sebab itu, izinkan saya menjelaskan beberapa alasan mengapa gas bumi begitu relevan dan bahkan krusial untuk segera dibumikan secara merata.
Pertama, tentu saja kualitas. Komponen utama gas bumi didominasi oleh methana sehingga hasil pembakarannya pun jauh lebih jernih dan simultan. Ini sangat berbeda dengan gas lain yang komponen utamanya didominasi oleh propana dan butana, misalnya. Kedua, efisiensi pembakaran lebih tinggi. Kandungan kalori yang terdapat dalam gas bumi sangat efisien sehingga menghasilkan pembakaran yang lebih optimal, stabil, dan bersih. Memang prosesnya sedikit lebih lama, tapi percayalah hasilnya akan jauh lebih terasa. Lagipula, bukankah hasil yang memukau kerapkali harus menempa jalan yang cukup berliku?
Ketiga, bea operasional dan pemeliharaan jauh lebih terjangkau. Banyak orang beranggapan bahwa gas bumi begitu elitis dan tak terjangkau kalangan akar rumput lantaran pemasangan instalasi di awal yang begitu mahal. Berbeda dengan gas lainnya yang tidak memerlukan infrastruktur pipa untuk pemasangannya. Asumsi ini sebenarnya kurang tepat jika kita memikirkan segala sesuatunya dengan rentang yang panjang dan mendalam. Untuk jangka pendek, asumsi mahal itu mungkin benar. Tapi untuk jangka panjang jelas salah besar.
Keempat, tidak perlu tempat penyimpanan. Gas bumi bukanlah sebentuk gas cair yang memerlukan tabung khusus untuk menyimpannya seperti gas lain yang lazim kita kenal. Pemasokan suplai gas bumi menggunakan infrastruktur pipa layaknya PDAM sehingga tidak memerlukan tempat penyimpanan secara spesifik. Kelima, keamanan pengguna lebih terjamin. Cerita mengenai kecelakaan yang berasal dari perangkat gas konvensional tentu sudah menjadi cerita klasik di negeri ini. Dari mulai yang berasal dari selang hingga regulator.
Gas bumi yang menggunakan saluran pipa menepis itu semua. Karena, disamping PGN menyediakan brosur dan video sebagai bahan edukasi kepada setiap pengguna, petugas PGN juga akan datang secara rutin dari rumah ke rumah untuk meninjau langsung semua pelanggannya secara telaten. Lagipula, ini yang perlu dipahami bersama, gas konvensional yang lazim kita pakai memiliki jenis yang lebih berat dari udara sehingga jika terjadi kebocoran maka gas tersebut akan mengalir dan mengendap ke bawah. Berbeda dengan gas bumi, jenisnya lebih ringan dari udara sehingga jika kebocoran pun ia akan langsung menguap melalui celah udara. Tidak menggumpal dalam satu tempat.
Ketujuh, lebih bersih dan ramah lingkungan. Ini dikarenakan gas bumi tidak hanya dihasilkan dari bahan bakar fosil semata. Tetapi juga bisa dihasilkan dari pembusukan bakteri anaerobik yang berasal dari bahan-bahan organik non-fosil. Dan ini perlu dicatat, walau gas bumi juga mayoritas berasal dari fosil, tapi jenis energi yang satu ini merupakan bahan bakar fosil yang kandungan emisinya paling bersih dibanding dengan batubara dan minyak bumi.
Kedelapan, harga gas bumi jauh lebih stabil. Salah satu hal yang menjengkelkan dari gas konvensional adalah grafik harganya yang fluktuatif dan mudah goyang. Bahkan dalam beberapa kasus kerap kali mengalami kelangkaan hingga membuat kegaduhan nasional. Ini dikarenakan prosentase terbanyak pasokan gas konvensional masih mengandalkan impor dari luar sehingga harga dan keberadaannya pun tentu bertalian dengan segala hal-ihwal dari luar. Untuk tahun ini saja, 70 persen pengadaan gas konvensional masih mengandalkan impor dari luar.
Kesembilan, asli bumi Indonesia (tidak impor). Pasokan gas bumi kita selama ini disuplai juga dari tiap inci bumi Indonesia seperti Arun, Aceh (Sumatera), Bontang (Kalimantan Timur), Tangguh (Papua), Pulau Natuna, dan belakangan Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur). Bahkan saking melimpahnya pemerintah mengekspor gas bumi Indonesia hingga ke Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang.