"Bagaimana cara mengawali tradisi menulis?"
"Seperti apa cara memelihara kreativitas menulis?"
"Apa yang musti dilakukan untuk mengatasi kemacetan menulis (writer's block)?"
Itulah beberapa pertanyaan yang tak pernah absen diajukan tiap kali saya diberi kesempatan mengisi pelatihan menulis. Â Dari mulai siswa menengah pertama hingga mahasiswa pasca-sarjana, pertanyaan yang diajukan takkan pernah beranjak jauh dari itu. Ke manapun kaki melangkah dan lembaga apapun yang tengah disinggahi, pertanyaan itu akan senantiasa menjadi menu wajib. Mengapa demikian?
Harus diakui, menulis adalah laku yang demikian dekat dengan masalah psikologis ketimbang kognitif. Remaja yang tengah tersandung asmara akan tiba-tiba menjadi pujangga yang bisa membuat berlarik-larik puisi untuk pujaan hatinya. Pun juga ketika ia patah hati. Mendadak ia akan menjadi penyair gelap yang bersajak tentang perih dan pengkhianatan.
Inilah mengapa seperempat masalah menulis berkaitan dengan psikologis penulis. Seperempat lainnya masalah teknik menulis, seperempat berikutnya adalah wawasan, dan seperempat terakhir adalah gagasan (Putu Wijaya, 252: 1999). Dari sini kita mafhum, kondisi psikologis menempati tempat yang cukup penting dalam menulis --kendati bukan segalanya.
Sebab itu, mereka yang situasi psikologisnya sedang baik, lazimnya akan memacu penuh daya pikirnya untuk menuangkan gagasan melalui sederet narasi yang jernih. Sebaliknya, jika kondisinya tengah semrawut, output tulisan yang dihasilkan juga tak jauh beda. Bahkan dalam beberapa kasus tak sedikit yang mengkambing-hitamkan kondisi psikologis untuk tak menulis sama sekali. Golongan terakhir ini lazimnya bersembunyi di bawah ketiak moody. Â
"Moodku sedang encok". "Moodku sedang tak bisa berdamai dengan tuts keyboard." Dan banyak pembenaran lain untuk tak menulis dengan cara mengkambing-hitamkan mood. Padahal mood sebenarnya perkara pikiran. Sama sekali tak berkaitan dengan situasi pedalaman. Sayangnya, waham pikiran sedemikian kerap dijadikan terdakwa yang menjegal kreativitas menulis seseorang.
Walau pun itu gejala manusiawi yang wajar, tapi jika terus dibiarkan tentu tak baik untuk perkembangan kreativitas menulis ke depan. Karena penulis sejati takkan pernah dikuasai mood, waham, dan racun negatif pikiran lainnya. Oleh sebab itu, ini beberapa kiat yang kerap saya sampaikan di banyak kesempatan ketika menghadapi pertanyaan-pertanyaan itu.
Kedua, menjadikan diri sebagai seorang pembaca fenomena yang peka. Kepekaan adalah hal mutlak yang niscaya musti dimiliki oleh setiap penulis. Dari kepekaan itu akan lahir sebuah gagasan subjektif untuk meneropong fenomena objektif yang berseliweran di kanan-kiri sang penulis.