Aku rasa cukup sudah aku berlari dalam kesendirianku. Melamunkan isi hati yang bimbang karena hujan yang tak kunjung terang di hatiku. Ingin ku pertanyakan taklimat ‘’habis terang datanglah gelap’’ padamu tuhanku. Tapi, getir lamunku selalu saja memaksa tuk menghindar dan menepi dari segala coba yang ku lalui. Hujan itu tuhanku, mengisahkan aku akan kisah yang tiada pernah bisa ku rengkuh. Kisah pilu akan inangku yang selau berkabut sendu dala tiap-tiap jejak langkahnya.
Aku merinduimu molek-ku. Meski ku tak mengenal engkau, meski ku tak hidup di waktumu dan meski kau tak mengenal aku. Aku mencintaimu dan menyayangimu segenap ragaku. Aku mengasihi teladanmu yang kau tunjukan padaku dan aku benar-benar merindui sosok wanita sepertimu. Aku tak berharap kau hidup sekarang, sebab itu tak akan mungkin. Aku pun tak berharap kau merestui kekagumanku akanmu. Satu hal yang perlu engkau tahu molek-ku, dengn kau ijinkan-nya mata ini tuk meminangmu, maka hilanglah segala hasrat dan nafsu tuk memilikimu sepenuhnya. Dengan kau ijinkannya telinga ini tuk mendengarkan dendanganmu, maka hilanglah kepemilikan fana akanmu dari hatiku. Dan dengan kau kisahkan ihwal cintamu pada dunia, sekonyong-konyong hilanglah rasa dengkiku akan dunia. Hiduplah sebagai cahaya bulan di sisiku, serendah aku memuja tuhanku dan serendah aku memuji para pendahuluku. Karena rona murnimu, terlalu suci tuk ku hitamkan dengan goresan kelam dosa dan aibku, tiada pantas kau menerima itu dan tiada pantas aku meng-indah-kan sesuatu yang pada mulanya adalah ke-indahan itu sendiri. Ya, kau sungguh indah molek-ku.
Molek, kali terakhir aku mengenangmu adalah waktu dimana aku tertawa oleh semai hidupku. Berbahagia dalam lantunan duka yang kau genggam dan enggan kau lepaskan. Tiada niat aku mengecohmu se-nian ini, tak ada hasrat bagi hatiku tuk melukai hatimu yang terlampau luka dengan ke-giranganku dan tiada hendak aku melupakan betapa getir dan pilunya perjalanan kasihmu itu.
Kau tentu tak ingin melumat najis yang ku teteskan dalam lingkaran kebun para yang terjaga sosok kekasih dunia dan akhiratmu, yasin. Walau ku lumuri najis itu dengan berbagai hiasan indah yang ternama dan ter-alamat semua hendak se-bahagian ras yang kau amini dalam tiap bulir-bulir darahmu itu. Kau akan selalu saja terdiam dan merenung,walau sempat ku tawarkan najisku ini padamu. Kau akan selalu terdiam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H