Mohon tunggu...
M Aprian Wibowo
M Aprian Wibowo Mohon Tunggu... Karyawan BUMN -

Alumnus Fakultas Hukum universitas Gadjah Mada Pernah Bekerja di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Junior Tewas di STIP, Budaya Kekerasan yang sulit dihilangkan

26 April 2014   22:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:09 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika sedang santai menonton televisi di rumah dinas, saya kaget dan langsung mengambil telepon genggam untuk menghubungi adik saya. Pasalnya di running teks berita sebuah stasiun televisi dikabarkan 1 siswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) tewas karena kekerasan senior. Saat ini adik saya sedang menempuh pendidikan tahun ke 4 Jurusan Nautika di STIP Jakarta utara. itu artinya adik saya adalah yang paling senior. Saya bisa khawatir karena pertama, siapa saja bisa menjadi korban karena kultur kekerasan di STIP selama ini sudah menjadi budaya. kedua, Junior bisa menjadi korban meninggal sementara senior bisa menjadi kambing hitamnya.  Ketiga, saya khawatir terjadi kriminalisasi mengingat mayoritas siswa di STIP adalah dari kalangan orang berada sementara bisa dibilang adik saya dari kalangan biasa-biasa saja sehingga bisa saja dijadikan tumbal.

Budaya pendidikan di STIP selama ini sepengetahuan saya adalah semi militer. Dimulai sejak awal didirikan karena basicnya adalah pendidikan pelayaran Militer. Saya yakin seluruh jajaran STIP sadar dan mengetahui. Saya bisa tahu karena 3 teman  saya di SMA menjadi Taruna dan menceritakan semuanya. 1 orang kabur karena tidak kuat. Kakak kelas di SMA yang sudah menjadi taruna di STIP dan membagi pengalaman-pengalamannya. 6 tahun yang lalu. Ada Share informasi untuk siswa kelas 3 SMA yana akan lulus kira-kira mau melanjutkan kuliah di mana.  Jadi biasanya siswa SMA di tempat saya sudah tahu betul gimana budaya kuliah di semua perguruan baik di Universitas maupun di Sekolah Tinggi. Kuliah di Sekolah dengan kultur semi militer tidak bisa mencla-mencle. Harus respect kepada senior, Salah sedikit hukum, Pukulan mejnadi santapan, Jika memberontak akan dibrangus.

Karena 2 nomor yang saya hubungi tidak diangkat, lalu saya langsung menghubungi orang tua saya yang ada di Bekasi. Saya mengabari Ibu agar segera mencari tahu keberadaan adik saya terus terang saya khawatir jika terjadi apa-apa. Kebiasaan adik saya adalah jika tidak piket menjaga pos masuk gerbang STIP biasanya hari jumat pulang ke Kos di daerah RawaBadak. Dia memang selalu menghindari menginap di asramanya saat weekend. Orang tua saya yang juga belum berhasil menghubungi adik saya akhirnya menghubungi pemilik kontrakan untuk memeriksa apakah adik saya ada di kamarnya.

Lega juga, Akhirnya adik saya menghubungi saya dan memberi kabar jika dia ada di Kontrakannya di Koja, Rawa badak, Jakarta Utara. Dia juga sudah memberitahu orang tua saya mengenai posisinya saat ini. Menurut dia yang terlibat adalah Taruna Jurusan Tekhnik antara Senior tingkat II dengan Junior tingkat I dari Regu/Group Medan di salah satu Kos-kosan. Ini lumrah karena setiap wilayah ada regu yang juniornya untuk konsolidasi. Misalnya Regu Jakarta kumpul di lokasi X jam sekian. Karena saya selalu mengamati pola kebiasaan adik saya. Misalnya dipanggil senior suruh kumpul di lokasi X untuk keperluan konsolidasi atau acara-acara lainnya seperti main futsal, Buka puasa bersama, atau sekedar Jalan-jalan mencari perlengkapan kuliah.

Memang kita semua harus concern dan memberi perhatian lebih pada sekolah-sekolah milik pemerintah yang memiliki kultur semi militer. Penanggung jawab penuh adalah Pendidik/Dosen. Kita prihatin karena  STIP adalah milik kemenhub dan Selevel dengan STPI Curug (Penerbangan). Saya pernah berdialog dengan adik saya waktu itu saya membaca buku Nautika yang berbahasa inggris dan berisikan rumus-rumus pelayaran yang complicated. Saya tanya ke adik saya "lu udah baca n negerti semuanya?" dia jawab "itu cuma formalitas yang penting adalah selamat". Memang kadang saya juga tidak habis pikir karena selain kultur kekerasannya yang sulit dihilangkan juga  biaya pendidikan yang mahal. Ada saja biaya seperti biaya sertifikasi, Biaya ujian dan lain sebagainya. Saking kesalnya saya pernah berseloroh, Ni dosen lu mau pada naik haji ya? Tewasnya Alm. Dimas dan Junior-junior  lainnya Haruskah senior juga disalahkan? Sulit memang mengingat ini seperti menjadi lingkaran setan. Perkasus akan menjadi aspek hukum pidana tentunya. Secara struktural sulit dihilangkan karena semi militer dibutuhkan untuk membentuk karakter dan pembinaan para taruna tersebut.

Demikian, tulisan ini semoga menjadi pemacu untuk perubahan yang lebih baik selain bentuk kekhawatiran seorang kakak terhadap adiknya, Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua. Semoga  Alm. Dimas diterima disisi Allah SWT dan keluarga diberi ketabahan dan kesabaran menghadapi cobaan ini.  Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun