Mohon tunggu...
Muhammad Agung Buono
Muhammad Agung Buono Mohon Tunggu... -

Seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UNY yang berusaha menjadi muslim yang bertakwa pada Alloh, bangsa dan negara. Berprinsip "fastabiqul khoirot" berlomba- lomba dalam kebaikan dan takwa untuk semesta alam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemahaman Budaya Multikultural di Jogja

14 Mei 2013   13:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:36 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita pendek ini ditulis sebagai usaha memahami bagaimana cara orang Banyumas berfikir dalam sudut pandang maskulinisme. Mohon maaf bagi yang anti sastra Jawa. Bukan maksud hati mengkhianati nasionalisme dengan isu lokal tapi bukankah orang Jawa telah menjadi bagian masyarakat Indonesia selama ratusan tahun? Insya Alloh cerita selanjutnya tentang legenda orang Minangkabau sebagai simbol usaha mengenal  semua suku. Anda mengalami distorsi pemahaman budaya Jawa monggo ngobrol dengan saya :) Setelah menamatkan pendidikan di SMA Po (Purwonegoro) Paijo mengadu nasib di kota besar, Jogjakarta. Mengadu nasib bukan menjadi buruh tetapi mahasiswa, gelar siswa tertinggi di pendidikan tanah air. Terdorong susahnya mencari pekerjaan di Banjarnegara yang subur tanahnya tapi kesulitan air. Kontur tanah Banjarnegara yang sebagian besar daerahnya berupa pegunungan membuat warga asli kota "Dawet Ayu" harus memutar otak untuk hidup layak. Hidup layak? Ya sebuah impian sederhana bagi anak desa dan semua WNI pada umumnya. Tak terasa sampailah di Kota Gudeg, kota yang sebenarnya tidak asing. Hanya saja dia kesulitan komunikasi di awal-awal. "Pak, numun sewu gili dhumateng UNY pundi nggih?" Pak, permisi jalan ke UNY lewat mana ya? tanyanya polos pada penduduk Kuningan dekat kampus ungu (julukan Fakultas Bahasa dan Seni UNY) tercintanya. Sontak warga asli diam membisu, sepertinya istilah "gili" yang artinya jalan tidak dipahami oleh warga asli. Begitu juga "sega" dan semua akhiran "a" yang harus segera diganti dengan "O". Sebuah latihan keras dibutuhkan mengingat mendarah dagingnya bahasa ngapak bagi mereka. Bahasa ngapak,  Bahasa yang timbul dari letak geografis yang "adoh ratu, perek watu" jauh dari ratu (pusat kerajaan) dan dekat dengan batu (alam yang keras) membentuk kepribadian orang Banjarnegara menjadi kuat, ksatria dan jujur apa adanya. Bahkan di Kabupaten Banyumas slogan "Banyumas Satria" menjadi treadmark warganya, sebuah prinsip yang mungkin dianggap terlalu berlebihan bagi outsider, mirip "Satria Baja Hitam aja". Namun aplikasi sesungguhnya pada prinsip itu bukanlah orang Banyumas suka main hakim sendiri menjadi pahlawan di siang bolong. Konsep satria dalam benak sanubari masyarakat ini (termasuk Banjarnegara, Banyumas dan Cilacap) adalah prinsip gotong royong dan kekeluargaan yang amat kental serta "cablaka" ngomong langsung apa adanya. Seorang ksatria adalah mereka yang mampu mengutarakan lewat lisan apa yang ada di pikirannya tanpa membuat orang yang mendengarkan tersinggung, dan kekeluargaan dianggap telah terpatri jika tradisi itu dihargai. Penolakan adat kadang dianggap penolakan jalinan hubungan dekat, walaupun zaman modern mendidik warga Banyumasan menjadi fleksibel dan pandai adaptasi. http://www.google.com/imgres?sa=X&hl=en&biw=1280&bih=656&tbm=isch&tbnid=GwSvDxmoq4

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun