Mohon tunggu...
M. A. Suryawan
M. A. Suryawan Mohon Tunggu... -

Saya adalah warga negara Indonesia yang baik, bekerja di perusahaan asing di Jakarta dan beragama Islam.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahmadiyah: "Anda Salah Alamat, Pak Menteri Agama..."

1 September 2010   11:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:32 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebenarnya yang dipersoalkan oleh Menteri Agama, dan juga MUI, adalah nama dan label ‘Islam’ yang digunakan oleh JAI. Sementara Islam sendiri adalah nama pemberian Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya. Sebuah nama agama yang sangat indah, bermakna pasrah, kepatuhan dan kedamaian. Dalam Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan (1987), Nurcholish Madjid mendefinisikan Islam sebagai agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan. Cak Nur juga menegaskan bahwa makna Islam dan Muslim tidaklah terbatas hanya pada suatu kelompok tertentu saja, tetapi mencakup sikap pasrah dari setiap orang kepada Allah.

Hakikatnya, setiap orang memiliki hak yang setara untuk menamakan dirinya Islam dari kaca mata pemahaman dan kepercayaan Islam yang dimilikinya. Karenanya, di dalam al-Quran dinyatakan bahwa hanya Dia (Allah Ta'ala) yang berhak menamakan orang atau kaum sebagai Islam (QS. al-Hajj [22]:78). Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah membuat klaim sepihak bahwa Islam merupakan hak dan milik golongan tertentu saja. Nabi SAW sering memberi indikasi siapa yang layak disebut sebagai Muslim. Misalnya, seorang dianggap Muslim bila orang tersebut melakukan shalat dengan menghadapkan wajahnya ke kiblat serta makan daging binatang yang disembelih dengan cara halal.

Adanya kasus JAI dan rencana Menteri Agama untuk membubarkan Ahmadiyah kemudian menjadi menarik untuk terus dikaji oleh semua pihak. Saya yakin, bahwa agama Islam yang dianut oleh Menteri Agama adalah rahmatan lil’alamin, namun fakta berbicara lain.  Tindakan yang disandarkan pada fatwa MUI, SKB atau komentar Menteri Agama sebagai negarawan nantinya bukannya memberikan kesejukan, kedamaian dan keamanan, namun berpotensi melahirkan tindakan anarki dan pelanggaran HAM kepada JAI, seperti kasus di masa lalu terjadi pembakaran rumah dan pengusiran warga JAI di Lombok, penutupan kantor pusat dan sekolah mubaligh Ahmadiyah di Bogor, perusakan mesjid dan rumah di desa Manis Lor, Kuningan serta di beberapa tempat lainnya di Jawa Barat. Kesemuanya terjadi pada sejak tahun 2005 sampai sekarang.

Efek domino fatwa MUI atau keinginan Menteri Agama masih bisa terus berlanjut, dan akhirnya mendesak pemerintah untuk ikut mencampuri wilayah keimanan warga negaranya.  Jika ini terjadi, maka tercipta pelanggaran amanat UUD 45 mengenai kebebasan beragama dan HAM.

Sungguh ironis, ketika bencana alam datang silih berganti (Banjir, gempa, gunung Sinabung) dan rakyat sudah menjerit dengan naiknya harga barang menjelang Lebaran atau setelahnya, Menteri Agama malah secara aktif menyuarakan penyesatan atas keimanan dan keyakinan beragama, dan meminta JAI dibubarkan dan kembali kepada Islam versinya Menteri Agama. Tindakan  ini justru menambah masalah baru, karena jika JAI nantinya diputuskan dibubarkan atau dikeluarkan dari Islam, maka bisa jadi aset-aset milik JAI akan disita, dan JAI tidak boleh lagi shalat menghadap Kaabah di Mekkah, tidak boleh berpuasa di bulan Ramadhan, tidak boleh datang ke mesjid miliknya sendiri untuk mendirikan shalat berjamaah serta seribu satu larangan lainnya. Semua larangan itu adalah konsekuensi dari penistaan dan penodaan agama Islam seperti dikatakan Menteri Agama kepada ajaran yang dianut oleh JAI.

Ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi mengenai penistaan dan penodaan seperti yang dimaksud oleh Menteri Agama. Pertama, JAI dianggap mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir. Anggapan ini jelas tidak beralasan, sebab kalangan Muslim lainnya seperti Nahdlatul Ulama (NU), yang berpijak pada keputusan muktamarnya yang ketiga tahun 1928, juga meyakini (tidak mengingkari) bahwa setelah Nabi Muhammad SAW masih datang seorang nabi dan rasul bernama Isa yang akan melaksanakan Syariat Islam.

Sedikit berbeda dengan kalangan NU, warga JAI percaya bahwa Nabi Isa AS sudah wafat dan tidak akan datang lagi ke dunia ini, dan sosok Nabi Isa Al Masih yang diindikasikan kedatangannya dalam kitab-kitab Hadits, dipercaya telah datang dalam sosok Mirza Ghulam Ahmad. JAI tetap meyakini dan terus mempercayai bahwa Nabi Muhammad SAW adalah "khaataman nabiyyiin" - nabi dan rasul yang paling sempurna yang terakhir membawa Syariat, dan sudah tertutup pintu bagi nabi atau rasul lain yang akan membatalkan, mengubah atau menambah Syariat yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Karenanya, status Mirza Ghulam Ahmad yang dikenal sebagai Imam Mahdi dan al-Masih Mau’ud (Al-Masih yang Dijanjikan atau the Promised Messiah) adalah nabi pengikut Syariat Islam, identik dengan nabi-nabi Bani Israil terdahulu yang juga adalah pengikut Syariat Taurat.

Kedua, mengenai buku Tadzkirah yang oleh Menteri Agama Suryadharma Ali dialamatkan sebagai “kitab suci” yang menggantikan al-Quran, padahal JAI tidak pernah menganggap atau menamakan buku Tadzkirah sebagai kitab suci. Sebaliknya JAI menyatakan bahwa kitab sucinya adalah al-Quran, sebagaimana Mirza Ghulam Ahmad seabad yang lalu juga menyatakan dengan gamblang: ”Tidak ada kitab kami selain Qur’an Syarif. Dan tidak ada rasul kami kecuali Muhammad Musthafa shallallaahu ’alaihi wasalam. Dan tidak ada agama kami kecuali Islam. Dan kita mengimani bahwa nabi kita adalah Khaatamul Anbiya’ dan Qur’an Syarif adalah Khaatamul Kutub…” (Maktubaat-e-Ahmadiyah, jld. 5, no. 4).

Definisi kitab suci nampaknya penting untuk segera dibuat untuk menjustifikasi komentarnya supaya tidak dianggap keliru, akan tetapi Menteri Agama Suryadharma Ali sama sekali tidak pernah merumuskan serta menjelaskan soalan ini kepada publik. Lalu mengapa Menteri Agama hanya melontarkan komentar yang tidak ada dasarnya? Kita tidak tahu, tampaknya Menteri Agama menduga bahwa kumpulan wahyu dari Allah SWT dan pengalaman spiritual Mirza Ghulam Ahmad yang dihimpun ke dalam buku yang bernama Tadzkirah, sudah pasti akan menjadi ”kitab suci” bagi JAI. Asumsi demikian dipastikan keliru, karena tidak selalu kumpulan wahyu dari Allah SWT disebut dan dianggap sebagai kitab suci. Faktanya, masyarakat Islam sendiri tidak pernah menyebut kumpulan Hadits Qudsi (Hadits Suci) sebagai kitab suci, meskipun Hadits tersebut adalah himpunan dari pengalaman spiritual, sabda-sabda yang berdasarkan wahyu, dan wahyu-wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW yang tidak dimasukkan sebagai bagian dari al-Quran. Oleh karena itu JAI tidak pernah menganggap buku Tadzkirah sebagai kitab suci seperti anggapan Menteri Agama Suryadharma Ali.

Oleh karenanya, penghakiman Menteri Agama atas penistaan dan penodaan agama kepada JAI perlu dipertimbangkan dan diteliti ulang oleh negara, dan untuk menjembatani perbedaan dengan cara yang lebih sehat, perlu dilakukan dialog publik yang difasilitasi oleh negara untuk mendapatkan keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seyogianya Menteri Agama membuka dialog terbuka dengan JAI, jangan seperti MUI dengan fatwanya yang selama hampir 30 tahun tidak berkenan membuka diri dan memberi kesempatan berdialog secara komprehensif dengan JAI.

Jadi, saya pikir Anda salah alamat, Pak Menteri Agama..., yang harus dibubarkan adalah organisasi atau ormas-ormas anarki pelanggar SKB yang suka mempersekusi, menyerang dan melakukan kekerasan fisik kepada kalangan Ahmadiyah atau kalangan lain yang berbeda paham/keyakinan/agama dengan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun