AHMADIYAH: SISI LAIN FATWA MUI
M. A. Suryawan
SKB Tiga Menteri terkait ajaran Ahmadiyah dikeluarkan tanggal 9 Juni 2008, dan setelah diterbitkan surat tiga menteri tersebut, di hari pertama bulan Ramadhan tanggal 1 September 2008, Gubernur Sumatera Selatan juga mengeluarkan pelarangan terkait keberadaan dan aktivitas Ahmadiyah di wilayahnya. Juga baru-baru ini tanggal 26 Juli 2010 beberapa minggu sebelum bulan suci Ramadhan terjadi penyerangan kepada Jemaat Ahmadiyah di kabupaten Kuningan Jawa Barat. Hal tersebut terus memicu kontroversi dan perdebatan sengit hampir di semua elemen kebangsaan. Pemicunya awalnya dapat dikatakan dimulai dari adanya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Namun, fatwa tersebut bukan tanpa cacat. Banyak pihak yang mempersoalkannya.
Pada mulanya, MUI menerbitkan fatwa tersebut di bulan Juni pada tahun 1980. Namun sangat disayangkan fatwa itu dibuat tidak berdasarkan al-Quran dan Hadits, tetapi berdasarkan "sembilan buah buku tentang Ahmadiyah" yang sampai hari ini tidak pernah diketahui judul dan keberadaannya. Lebih mengagetkan lagi, untuk mendukung fatwanya itu, MUI membuat suatu tudingan yang luar biasa dengan menyatakan bahwa Jemaat Ahmadiyah berbahaya bagi ketertiban dan keamanan negara. Lihat fatwa MUI tanggal 1 Juni 1980 di http://www.mui.or.id - Padahal sejak lahirnya Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) pada tahun 1925 sampai dikeluarkannya fatwa dan setelahnya sampai hari ini, tidak pernah terbukti bahwa JAI sebagai warga negara Republik Indonesia yang patuh dan taat kepada hukum yang berlaku di negara Indonesia – berbahaya bagi ketertiban dan keamanan negara.
Namun fakta yang terjadi adalah sebaliknya, sejak dulu JAI memiliki kalimat Syahadat yang sama dengan kalangan Islam Sunni maupun Syiah, cara shalat yang sama, puasa wajib yang sama di bulan Ramadhan dan sama-sama pergi haji ke Mekkah. JAI juga ikut andil dalam kemerdekaan Republik Indonesia, misalnya seorang tokoh mubaligh bernama Sayyid Shah Muhammad dalam pengabdiannya di Yogyakarta sekitar tahun 1945 – 1948 dikenal sebagai pejuang veteran dalam bidang publisitas dan hubungan luar negeri di Kementrian Penerangan Republik Indonesia.
Selain itu, pada masa kini JAI ini masih berperan aktif menggeluti program kemanusiaan seperti donor mata dan donor darah secara berkesinambungan. JAI juga memiliki sekolah-sekolah unggulan di luar Jakarta yang menelurkan siswa-siswi teladan yang kelak berguna bagi bangsa dan negara Indonesia.
Sebenarnya yang dipersoalkan oleh MUI dari JAI adalah nama dan label ‘Islam’. Sementara Islam sendiri adalah nama pemberian Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya. Sebuah nama agama yang sangat indah, bermakna pasrah, kepatuhan dan kedamaian. Dalam Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan (1987), Nurcholish Madjid mendefinisikan Islam sebagai agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan. Cak Nur juga menegaskan bahwa makna Islam dan Muslim tidaklah terbatas hanya pada suatu kelompok tertentu saja, tetapi mencakup sikap pasrah dari setiap orang kepada Allah.
Hakikatnya, setiap orang memiliki hak yang setara untuk menamakan dirinya Islam dari kaca mata pemahaman dan kepercayaan Islam yang dimilikinya. Karenanya, di dalam al-Quran dinyatakan bahwa hanya Dia (Allah) yang berhak menamakan orang atau kaum sebagai Islam (QS. al-Hajj [22]:78). Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah membuat klaim sepihak bahwa Islam merupakan hak dan milik golongan tertentu saja. Nabi sering memberi indikasi siapa yang layak disebut sebagai Muslim. Misalnya, seorang dianggap Muslim bila orang tersebut melakukan shalat dengan menghadapkan wajahnya ke kiblat serta makan daging binatang yang disembelih dengan cara halal.
Adanya kasus JAI dan dampak dari fatwa MUI kemudian menjadi menarik untuk terus dikaji oleh semua pihak. MUI kerap mengklaim bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamin, namun fakta berbicara lain. Fatwa MUI bukannya memberikan kedamaian dan keamanan, namun melahirkan tindakan anarki dan pelanggaran HAM kepada JAI, seperti kasus pembakaran rumah dan pengusiran warga JAI di Lombok, penutupan kantor pusat dan sekolah mubaligh Ahmadiyah di Bogor, perusakan mesjid dan rumah di desa Manis Lor, Kuningan serta di beberapa tempat lainnya di Jawa Barat. Kesemuanya terjadi pada sejak tahun 2005 sampai sekarang.
Efek domino fatwa MUI masih berlanjut, dan akhirnya mendesak pemerintah untuk ikut mencampuri wilayah keimanan warga negaranya. Kejaksaan Agung, tepatnya Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) pada tanggal 16 April 2008 mengeluarkan rekomendasi agar JAI segera menghentikan aktivitasnya dan dibubarkan karena dianggap menyimpang dengan pokok-pokok ajaran Islam yang dianut di Indonesia.
Mengamini rekomendasi Bakorpakem tersebut, MUI pada waktu yang bersamaan juga menyerukan agar pemimpin Ahmadiyah diadili. Akibatnya, bukan keadaan kondusif yang dihasilkan oleh Bakorpakem dan MUI, melainkan tindakan destruktif dan kontraproduktif atas nama Islam di masyarakat makin menjadi-jadi, dan di beberapa daerah seperti Sukabumi dan Tasikmalaya malah timbul perusakan serta pembakaran sekolah-sekolah dan mesjid-mesjid milik JAI.
Sungguh ironis, ketika bencana alam datang silih berganti dan rakyat sudah menjerit dengan naiknya harga baranag, MUI malah secara intensif menyuarakan penyesatan atas keimanan dan keyakinan beragama, dan meminta JAI keluar dari Islam. Tindakan MUI ini justru menambah masalah baru, karena jika JAI nantinya diputuskan pemerintah keluar dari Islam, maka bisa jadi aset-aset milik JAI akan disita, dan JAI tidak boleh lagi shalat menghadap Kaabah di Mekkah, tidak boleh berpuasa di bulan Ramadhan, tidak boleh datang ke mesjid miliknya sendiri untuk mendirikan shalat berjamaah serta seribu satu larangan lainnya. Semua larangan itu adalah konsekuensi dari penistaan dan penodaan agama Islam seperti tudingan MUI kepada JAI.
Ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi mengenai penistaan dan penodaan seperti yang dimaksud oleh MUI. Pertama, JAI dianggap mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir. Anggapan ini jelas tidak beralasan, sebab kalangan Muslim lainnya seperti Nahdlatul Ulama (NU), yang berpijak pada keputusan muktamarnya yang ketiga tahun 1928, juga meyakini (tidak mengingkari) bahwa setelah Nabi Muhammad SAW masih datang seorang nabi dan rasul bernama Isa yang akan melaksanakan Syariat Islam.
Sedikit berbeda dengan kalangan NU, warga JAI percaya bahwa Nabi Isa AS sudah wafat dan tidak akan datang lagi ke dunia ini, dan sosok Nabi Isa Al Masih yang diindikasikan kedatangannya dalam kitab-kitab Hadits, dipercaya telah datang dalam sosok Mirza Ghulam Ahmad. JAI tetap meyakini dan terus mempercayai bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir yang membawa Syariat, dan sudah tertutup pintu bagi nabi atau rasul lain yang akan membatalkan, mengubah atau menambah Syariat yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Karenanya, status Mirza Ghulam Ahmad yang dikenal sebagai Imam Mahdi dan al-Masih Mau’ud (Al-Masih yang Dijanjikan atau the Promised Messiah) adalah nabi pengikut Syariat Islam, identik dengan nabi-nabi Bani Israil terdahulu yang juga adalah pengikut Syariat Taurat.
Kedua, mengenai buku Tadzkirah yang oleh MUI dialamatkan sebagai "kitab suci" yang menggantikan al-Quran, padahal JAI tidak pernah menganggap atau menamakan buku Tadzkirah sebagai kitab suci. Sebaliknya JAI menyatakan bahwa kitab sucinya adalah al-Quran, sebagaimana Mirza Ghulam Ahmad seabad yang lalu juga menyatakan dengan gamblang: ”Tidak ada kitab kami selain Qur’an Syarif. Dan tidak ada rasul kami kecuali Muhammad Musthafa shallallaahu ’alaihi wasalam. Dan tidak ada agama kami kecuali Islam. Dan kita mengimani bahwa nabi kita adalah Khaatamul Anbiya’ dan Qur’an Syarif adalah Khaataul Kutub...” (Maktubaat-e-Ahmadiyah, jld. 5, no. 4).
Definisi kitab suci nampaknya penting untuk segera dibuat untuk menjustifikasi tudingannya, akan tetapi MUI sama sekali tidak pernah merumuskan serta menjelaskan soalan ini kepada publik. Lalu mengapa MUI hanya melontarkan tudingan yang tidak ada dasarnya? Kita tidak tahu, tampaknya MUI menduga bahwa kumpulan wahyu dari Allah SWT dan pengalaman spiritual Mirza Ghulam Ahmad yang dihimpun ke dalam buku yang bernama Tadzkirah, sudah pasti akan menjadi ”kitab suci” bagi JAI. Asumsi demikian dipastikan keliru, karena tidak selalu kumpulan wahyu dari Allah SWT disebut dan dianggap sebagai kitab suci. Faktanya, masyarakat Islam sendiri tidak pernah menyebut kumpulan Hadits Qudsi (Hadits Suci) sebagai kitab suci, meskipun Hadits tersebut adalah himpunan dari pengalaman spiritual, sabda-sabda yang berdasarkan wahyu, dan wahyu-wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW yang tidak dimasukkan sebagai bagian dari al-Quran.
Oleh karenanya, penghakiman MUI atas penistaan dan penodaan agama kepada JAI perlu dipertimbangkan dan diteliti ulang oleh negara, dan untuk menjembatani perbedaan dengan cara yang lebih sehat, perlu dilakukan dialog publik yang difasilitasi oleh negara untuk mendapatkan keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. MUI selama hampir 30 tahun tidak berkenan membuka diri dan memberi kesempatan berdialog secara komprehensif dengan JAI. Sebaliknya, karena alasan kemudahan dan egonya sebagai ”pewaris nabi”, MUI kemudian menggunakan haknya dengan baik untuk menghakimi keimanan dan kepercayaan JAI dengan fatwanya.
Dengan demikian fatwa bukanlah sekedar himbauan atau seruan. Fatwa MUI spiritnya merupakan keputusan yang mengatasnamakan umat Islam di Indonesia supaya mendapatkan kemudahan dan solusi atas pelbagai masalah keislaman. Pemerintah dengan rekomendasi Bakorpakem dan SKB bagaimanapun tidak dapat merujuk kepada fatwa MUI untuk mengeksekusi keyakinan warga negaranya, apalagi kemudian menyeret penganutnya ke pengadilan untuk dikerangkeng karena memiliki paham dan keyakinan yang berbeda dengan MUI dan para pendukungnya. Karena itulah fatwa MUI yang tidak berdasarkan al-Quran dan Hadits dengan sendirinya menjadi tidak valid dan hanya dimanfaatkan oleh MUI dan segelintir kecil kalangan Islam untuk memuluskan keinginan inkonstitusional mereka, yaitu menghapus eksistensi JAI dan segala atributnya dari bumi pertiwi. WaLlahu a’lamu bisshawab.
===
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H