Mohon tunggu...
M. A. Suryawan
M. A. Suryawan Mohon Tunggu... -

Saya adalah warga negara Indonesia yang baik, bekerja di perusahaan asing di Jakarta dan beragama Islam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ahmadiyah: Sisi Lain Fatwa MUI

12 Agustus 2010   15:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:05 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi mengenai penistaan dan penodaan seperti yang dimaksud oleh MUI. Pertama, JAI dianggap mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir. Anggapan ini jelas tidak beralasan, sebab kalangan Muslim lainnya seperti Nahdlatul Ulama (NU), yang berpijak pada keputusan muktamarnya yang ketiga tahun 1928, juga meyakini (tidak mengingkari) bahwa setelah Nabi Muhammad SAW masih datang seorang nabi dan rasul bernama Isa yang akan melaksanakan Syariat Islam.

Sedikit berbeda dengan kalangan NU, warga JAI percaya bahwa Nabi Isa AS sudah wafat dan tidak akan datang lagi ke dunia ini, dan sosok Nabi Isa Al Masih yang diindikasikan kedatangannya dalam kitab-kitab Hadits, dipercaya telah datang dalam sosok Mirza Ghulam Ahmad. JAI tetap meyakini dan terus mempercayai bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir yang membawa Syariat, dan sudah tertutup pintu bagi nabi atau rasul lain yang akan membatalkan, mengubah atau menambah Syariat yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Karenanya, status Mirza Ghulam Ahmad yang dikenal sebagai Imam Mahdi dan al-Masih Mau’ud (Al-Masih yang Dijanjikan atau the Promised Messiah) adalah nabi pengikut Syariat Islam, identik dengan nabi-nabi Bani Israil terdahulu yang juga adalah pengikut Syariat Taurat.

Kedua, mengenai buku Tadzkirah yang oleh MUI dialamatkan sebagai "kitab suci" yang menggantikan al-Quran, padahal JAI tidak pernah menganggap atau menamakan buku Tadzkirah sebagai kitab suci. Sebaliknya JAI menyatakan bahwa kitab sucinya adalah al-Quran, sebagaimana Mirza Ghulam Ahmad seabad yang lalu juga menyatakan dengan gamblang: ”Tidak ada kitab kami selain Qur’an Syarif. Dan tidak ada rasul kami kecuali Muhammad Musthafa shallallaahu ’alaihi wasalam. Dan tidak ada agama kami kecuali Islam. Dan kita mengimani bahwa nabi kita adalah Khaatamul Anbiya’ dan Qur’an Syarif adalah Khaataul Kutub...” (Maktubaat-e-Ahmadiyah, jld. 5, no. 4).

Definisi kitab suci nampaknya penting untuk segera dibuat untuk menjustifikasi tudingannya, akan tetapi MUI sama sekali tidak pernah merumuskan serta menjelaskan soalan ini kepada publik. Lalu mengapa MUI hanya melontarkan tudingan yang tidak ada dasarnya? Kita tidak tahu, tampaknya MUI menduga bahwa kumpulan wahyu dari Allah SWT dan pengalaman spiritual Mirza Ghulam Ahmad yang dihimpun ke dalam buku yang bernama Tadzkirah, sudah pasti akan menjadi ”kitab suci” bagi JAI. Asumsi demikian dipastikan keliru, karena tidak selalu kumpulan wahyu dari Allah SWT disebut dan dianggap sebagai kitab suci. Faktanya, masyarakat Islam sendiri tidak pernah menyebut kumpulan Hadits Qudsi (Hadits Suci) sebagai kitab suci, meskipun Hadits tersebut adalah himpunan dari pengalaman spiritual, sabda-sabda yang berdasarkan wahyu, dan wahyu-wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW yang tidak dimasukkan sebagai bagian dari al-Quran.

Oleh karenanya, penghakiman MUI atas penistaan dan penodaan agama kepada JAI perlu dipertimbangkan dan diteliti ulang oleh negara, dan untuk menjembatani perbedaan dengan cara yang lebih sehat, perlu dilakukan dialog publik yang difasilitasi oleh negara untuk mendapatkan keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. MUI selama hampir 30 tahun tidak berkenan membuka diri dan memberi kesempatan berdialog secara komprehensif dengan JAI. Sebaliknya, karena alasan kemudahan dan egonya sebagai ”pewaris nabi”, MUI kemudian menggunakan haknya dengan baik untuk menghakimi keimanan dan kepercayaan JAI dengan fatwanya.

Dengan demikian fatwa bukanlah sekedar himbauan atau seruan. Fatwa MUI spiritnya merupakan keputusan yang mengatasnamakan umat Islam di Indonesia supaya mendapatkan kemudahan dan solusi atas pelbagai masalah keislaman. Pemerintah dengan rekomendasi Bakorpakem dan SKB bagaimanapun tidak dapat merujuk kepada fatwa MUI untuk mengeksekusi keyakinan warga negaranya, apalagi kemudian menyeret penganutnya ke pengadilan untuk dikerangkeng karena memiliki paham dan keyakinan yang berbeda dengan MUI dan para pendukungnya. Karena itulah fatwa MUI yang tidak berdasarkan al-Quran dan Hadits dengan sendirinya menjadi tidak valid dan hanya dimanfaatkan oleh MUI dan segelintir kecil kalangan Islam untuk memuluskan keinginan inkonstitusional mereka, yaitu menghapus eksistensi JAI dan segala atributnya dari bumi pertiwi. WaLlahu a’lamu bisshawab.

===

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun