Gelombang PHK akibat pandemic Covid 19 menjadi sebuah fenomena kegelisahan public terhadap nasib mereka dan masa depannya, setidaknya untuk tahun ini. Walau sebagian pengusaha atau pedagang sedang resah dan gelisah, masih terdapat geliat ekonomi yang kita cermati yakni untuk mereka yang banting stir dari usaha apapun sebelumnya menjadi penjual barang kebutuhan masa pandemic, misalnya menjual masker, sanitizer, sabun dan barang penyerta lainnya yang memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Dari Sisi Lingkungan hal pertama yang harus saya sampaikan disini adalah limbah medis. Bisa kita bayangkan berapa ton limbah medis yang dihasilkan dari suatu masa pandemic. Dan itu pasti bertebaran di TPA-TPA atau TPS-TPS resmi, belum lagi yang liar. Kita baru berbicara sampah dan limbah medis, belum lagi berbicara mengenai dampak Covid 19 untuk Air dan Udara.
Memang diakui bahwa berkurangnya operasional transportasi menyebabkan polusi juga berkurang, program langit biru yang kita harapkan, mendekati terwujud. Namun problem lain pun dimulai disaat kita mengetahui bahwa Covid 19 adalah  airborne, dapat menyebar melalui udara, dari bersin dan percikan.
Ini membuat kita agak takut dikala kita berada diruangan tertutup misalnya, lalu ada yang bersin kita pasti curiga dan nafas kita otomatis tertahan, belum lagi semilir udara AC disekitar kita pastinya juga berpotensi melakukan penularan. Tidak bebas lagi dalam menghirup udara adalah dampak tidak mengenakkan dari kehadiran Covid 19 ditengah kita.
Belum lagi pemakaian masker yang memang agak menghalangi kita dalam bernafas karena tidak terbiasa menggunakan masker. Tentang masker ini saya jadi teringat situasi sebelum Covid 19 datang, yakni tentang maraknya rekan-rekan muslimah mulai menggunakan cadar atau niqab yang wujudnya memang serupa masker, menutupi wajah utamanya mulut dan hidung. Mungkin tidak ada korelasi yang langsung antara niqab dengan masker namun esensinya sama kalau dilihat dari fungsinya yakni menghalangi kontak langsung dengan udara dengan menggunakan penutup di bagian wajah.
Dalam dua bulan terakhir ini banyak kosakata baru, kejadian baru dan pola hidup baru yang kita rasakan di tengah masyarakat. Semua berubah begitu cepat. Awal Maret 2020 sepertinya keadaan masih normal, belum kita dengar istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), Karantina Wilayah, APD (Alat Pelindung Diri), Isolasi mandiri dan sederet kosakata lainnya. Namun dipertengahan Maret situasi mulai berubah diawali dengan warning dari Gubernur DKI Jakarta untuk membawa sajadah masing-masing pada saat sholat jum'at.
Saya ingat sekali itu. Hari-hari selanjutnya sholat Jum'at malah ditiadakan menjadi beribadah di rumah masing-masing, diikuti dengan Program Bekerja dari rumah dan sekolah dari rumah, olahraga dirumah dan segalanya di rumah saja atau stay at home. Semakin lengkap kondisi ini dengan diterapkannya PSBB yang diawali oleh Panic Buying dari sebagian orang.
Saya sebenarnya tidak melihat ini sebagai situasi yang salah, wajar saja bila orang melakukan pembelian bahan makanan untuk persediaan hanya saja mungkin jumlahnya yang sangat banyak itu yang membuat tidak pas. Yang terasa sekali pada saat pandemic ini adalah hilangnya vitamin C dari pasaran. Rupanya bertepatan dengan datangnya Corona, masyarakat tergugah semangatnya untuk membeli cadangan vitamin untuk memperkuat imunitas tubuh.
Pendek kata, situasi saat ini sangat spesial bagi Indonesia dari sabang sampai merauke. Melihat Indonesia secara utuh dan majemuk seperti melihat rangkaian persaudaraan antar suku bangsa yang harmoni dan berwarna. Masing-masing daerah mengeluarkan jurus pencegahan penyakit dan penguatan stamina, pulau jawa misalnya terkenal dengan empon-empon yang didalamnya ada jahe merah dan temulawak, jamu tradisional juga bagian lain dari racikan empon-empon yang diminati oleh sebagian masyarakat kita.
Kalau saya lebih memilih ekstrak jahe merah dan bawang dayak khas kalsel untuk menjaga stamina tubuh. Saking semangatnya kita menjaga imunitas tubuh, Vitamin C alami dari Jeruk bahkan menjadi sasaran pembeli. Pernah saya dapati toko buah minus jeruk karena seringkali diborong oleh pembeli. Itulah uniknya Indonesia, itulah berharganya bangsa ini. Walau masih kita temui saudara-saudara kita yang hidup dibawah garis sederhana namun semangat mempertahankan kehidupan yang indah dan bermakna ini terasa kuat dan mengukir makna.
Kadang ironi, sebagai Negara yang besar kita masih memiliki kaum marginal dengan jumlah yang memprihatinkan. Dengan kekayaan alam yang melimpah kita ternyata tak mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat di dalam negeri.