Mohon tunggu...
Lys Vierkhue
Lys Vierkhue Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Life is never flat\r\nhttp://cerpenlysvierkhue.blogspot.com\r\nfollow twitter : @lys_vierkhue \r\nAdd Fb : Lys Vierkhue

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Long Distance

25 November 2012   13:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:41 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Jarak, waktu, aku tidak peduli. Asalkan aku bisa bersamamu”

Kisah ini dimulai disaat aku merasakan sudah tidak ada lagi keadilan dalam cinta. Cintaku tidak pernah mulus, selalu berakhir dengan tragis. Sialnya lagi aku tidak bisa move on dengan mudah. Aku harus mengumpulkan kepingan-kepingan hatiku untuk sekian lama. Sebelum sampai ada pengganti yang bisa memikat hatiku.

Aku tinggal dengan ibu yang amat menyayangiku. Seorang ibu yang sangat tegar. Ia bisa menjadi ibu sekaligus ayah bagiku. Ayah meninggal lima tahun yang lalu akibat kecelakaan mobil. Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, aku dituntut untuk bisa membantu ibu dan kedua adikku. Adikku yang pertama Shila duduk dibangku SMP, dan Kendra masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku sendiri bekerja di salah satu perusahaan milik sahabat ayah. Aku harus bersyukur karena disaat itu ayah masih bisa melihatku bekerja. Namun satu yang belum bisa aku persembahkan kepada ayah adalah pernikahanku.

Sebenarnya usiaku masih muda, baru menginjak 22 tahun. Namun eyangku yang sudah hidup lebih lama dari ibuku, tidak pernah berhenti bertanya kapan aku menikah, dengan siapa aku menikah, berasal dari keluarga yang bagaimana orang yang akan menjadi suamiku kelak. Dan berbagai pertanyaan lain yang mencercaku. Untung saja ibu selalu membelaku, memberikan alasan-alasan tepat untuk membuat eyangku diam sementara waktu. Seharusnya eyang tahu zaman modern sekarang ini, pernikahan tidak harus selalu di usia muda. Pada dasarnya aku bukan tidak ingin menikah hanya saja setiap aku mencoba berhubungan serius dengan satu cowok, mereka sendiri yang memutuskan untuk mengakhirinya sebelum ada pembicaraan ke arah pernikahan.

Sejak kepergian ayah, eyang menjadi lebih over ptotective. Segala hal dipantau olehnya, mungkin karena aku cucu pertama untuknya. Dari keluarga ayah aku memang cucu pertama, berbeda dengan keluarga ibu yang sudah mempunyai beberapa cucu sebelumnya. Sebenarnya aku lebih kasihan kepada ibuku, eyang selalu menyalahkan ibu atas segala tindakan yang aku ambil. Pernah suatu hari.

“Sebagai ibu kamu harusnya memberi wejangan yang baik untuk anak gadismu..” Begitu kata eyang

“Saya sudah berusaha bu.. “

“Kamu lihat anakmu sudah besar, masa belum punya calon suami…”

“Mungkin memang belum saatnya, semua sudah ada yang mengatur bu..”

Kalau sudah begitu. Aku merasa hidupku seperti di neraka. Eyang terlalu banyak mengatur, menuntut yang berlebihan. Belum lagi rasa pedihku tidak serta merta hilang dariku. Sejak enam bulan lalu Tyo meninggalkanku tanpa alasan yang jelas. Disaat aku mempertanyakan, Tyo tidak pernah mau menjawab. Seperti orang yang kehilangan akal. Aku tidak pernah absen mengecek dia di Facebook ataupun di Twitter setiap hari. Melihat profil BBM dengan harapan akan ada satu tulisan yang ada kaitannya denganku, tapi nyatanya tidak. Berselang tiga hari setelah kita putus. Tyo memajang foto kekasihnya yang baru. Aku semakin terguncang, keperihan menusuk-nusuk seperti jarum. Dan sampai hari ini aku belum bisa bangkit menjadi diriku sendiri. Kalau saja ayah masih ada, dia tidak akan memaksakan kehendaknya seperti eyang.

Kenyataannya sekarang ayah sudah tidak bersamaku.  maka aku harus siap dengan kehidupan yang aku jalani sekarang.

***

Pagi seperti menemaniku. Memberi gairah baru dan kepiluan berganti menjadi sebuah kebahagiaan. Aku bertemu dengan seorang laki-laki bernama Rizal. Dia salah satu klien di perusahaan. Pak Teddy mempercayakan pekerjaan itu kepadaku. Awalnya aku tidak pernah berfikir Rizal secepat itu mendekatiku. Sejak pertemuan itu, dia semakin sering memberikan perhatiannya. Tidak pernah absen memberi kabar, menelepon hanya untuk menanyakanku sudah makan atau belum.

Suatu siang di kantor. Hp ku kembali bergetar setelah beberapa menit aku menutup telepon. Aku tersenyum melihat Rizal yang kembali menelepon.

“Kenapa lagi Zal..?”

“Gue kangen sama loe Mel..”

Aku tersenyum. Terhanyut, tubuhku seakan terbang.”Gombal…”

“Gak dengar suara loe beberapa menit saja gue gak bisa makan..”

“Udah akh gombal terus..” Ujarku semakin ingin terbang.

“Makan siang bareng yuk..”

“Penting ya ngajak makan siang pake acara gombal dulu..”

“Mau gak.?”

“Boleh..”

Aku tidak bisa menolak kehadiran Rizal. Sejak pertemuan itu dia sudah memikat hatiku. Lagipula untuk apa aku terlalu lama menyimpan kepedihan. Toh Rizal laki-laki yang baik menurutku.

Rizal menyambutku dengan senyum. Rupanya dia sudah memesan makanan kegemaranku. Sejauh itu dia sudah mengenalku. Padahal perkenalan itu bru seminggu.

“Kenapa loe selalu menganggap kalau gue gombal..?”

Aku tersenyum menatap Rizal. Tatapan Rizal begitu dalam penuh arti.”Soalnya cowok itu sukanya gombal..”

“Tapi gue serius Mel..”

Aku terdiam. Menebak setiap fikiran Rizal.

“Sejak gue lihat loe, gue gak bisa bohong sama diri gue sendiri..”

“Maksud loe..” Ujarku yang seolah tidak mengerti ucapan Rizal.

“Gue sayang sama loe Mel..”

Aku terkejut sekaligus bahagia. Jantungku kini berdegup kencang. Seketika nama Tyo yang sejak enam lalu masih bersemayam enyah begitu saja.

“Gimana Mel..”

Aku masih terdiam. Kini Rizal menyentuh lalu mengenggam tanganku.

“Gue akan sangat bahagia kalau loe mau jadi cewek gue..”

Hatiku menggebu-gebu. Ingin sekali aku spontan menjawab iya. Begitulah aku, tidak membutuhkan waktu lama menerima laki-laki yang mendekatiku. Jika menurutku laki-laki itu baik aku tidak merasa ragu. Mungkin karena kesalahanku itu aku sering ditinggalkan semua pacar-pacarku. Seharusnya aku harus lebih selektif, tidak terburu-buru mengambil kesimpulan dan membiarkan semua berjalan dulu sebagai jalan pengenalan. Siang itu aku berfikir hal yang sama, tapi fikiran lain menggerecokiku. Bagaimana jika dia tidak mau menunggu jawabanku, dan kemudian ada wanita lain yang hadir dalam hidupnya. Aku akan sangat menyesal.

“Mel..” Ucapan Rizal mengejutkanku.”Apa jawaban loe…?”

Aku menarik nafas lepas. Lalu ku anggukan kepalaku.

“Jadi loe mau ..?”

Aku kembali mengangguk.

“Serius..?”

“Iya, gue mau jadi cewek loe..”

Tanpa malu sedikitpun. Rizal melampiaskan perasaan bahagianya. Berteriak-teriak dengan kencang. Aku mencoba menghentikan tingkah Rizal, ketika semua mata mulai menatap ke arah mejaku. Rizal tidak bergeming, dia malah memelukku erat dan mengangkat tubuhku berputar-putar.

Tujuh bulan berlalu. Hubunganku dan Rizal berjalan mulus. Semua baik-baik saja, Rizal menyayangiku dengan tulus dan aku membiarkan semua berjalan santai. Sampai kemudian eyang mencium kabar hubunganku dengan Rizal. Eyang merubah keadaan sampai sembilan puluh derajat. Ketika Rizal datang di suatu malam kerumahku. Eyang menyambut dengan wajah biasa-biasa saja.

“Saya tidak setuju kamu pacaran dengan cucu saya kalau pada kenyataannya kamu tidak serius dengan Mel..”

“Saya serius mencintai Mel, tidak mungkin saya menyakiti Mel..”

“Kapan kamu akan menikahi Mel…?”

Ku lihat wajah Rizal seperti terkejut. Tapi dia masih bisa tersenyum menjawab dengan halus.”Untuk saat ini belum ada pemikiran kearah sana, tapi itu hanya sementara ..”

Sampai hari-hari berikutnya Rizal masih sabar dengan cercaan pertanyaan eyang, namun semakin hari Rizal semakin jarang datang. Selanjutnya entah kenapa Rizal seolah mulai menjauhiku, menghindari setiap kabr yang aku kirim. Selang satu bulan Rizal menghilang. Sampai beberapa bulan berlalu aku tidak pernah lagi bisa menghubungi Rizal.

Aku putus asa dengan cerita cinta yang aku jalani. Eyang semakin membebaniku dengan semua ocehan-ocehannya. Ingin rasanya aku segera keluar dari semua permasalahan yang aku hadapi. Saking kesalnya kepada eyang aku pernah berkata.

“Carikan saja Mel jodoh sesuai kriteria eyang dengan begitu Mel hanya tinggal menunggu akad nikah selesai dan eyang puas..”

Aku tidak maksud hati mengucap itu. Tapi rupanya eyang benar-benar menanggapinya. Aku menuliskan kisah hidupku di status facebook, aku jadikan semua kekesalanku dalam status facebook. Aku biarkan semua teman berkomentar miring kepadaku. Setidaknya bebanku sedikit ringan. Ketika itu aku menuliskan status seperti ini “Aku seperti siti nurbaya yang tidak berdaya.. semua terjadi karena kegagalan cinta yang berulang.. aku pasrah..”

Satu, dua, tiga dan sampai beberapa komen bermunculan. Ada satu komen yang menggugahku. Dia seperti memberi semangat baru untukku bangkit.

Diramenantiwanita. Jadikan itu sebagai modal kamu menuju kebahagiaan, anggap setiap orang merasakan hal yang sama, tapi percayalah bahwa jodoh semua sudah ada yang mengatur.

Aku kirim chat untuknya. Sebagai ucapan terima kasih. Serta merta dia membalas. Aku tahu dia bernama Dira. Tapi sayang dia berbeda pulau denganku. Entah apa yang membuatku merasa nyaman chating dengan Dira. Saat ku lihat profil facebook nya, tampak biasa saja tidak ada yang istimewa. Dengan mudahnya aku membiarkan dia tahu tentang hidupku, begitu pun sebaliknya. Dan kebodohanku terulang lagi, baru beberapa hari saja chating tanpa berfikir panjang ketika dia ingin menjadi bagian hidupku, dengan mudahnya aku jawab iya. Sebenarnya aku belum bisa melupakan Rizal sepenuhnya, bahkan aku sering melihat Rizal meng update status atau tidak. Namun seiring waktu berjalan, Dira memberi warna baru dalam hidupku, membuatku hanyut seakan semua masalah hilang dengan sendirinya.

Aneh mungkin. Tanpa bertemu dan saling mengenal secara nyata, aku biarkan diriku tenggelam dalam cinta Dira yang aku sendiri belum merasa yakin ini cinta sesungguhnya atau bukan. Nyatanya dua bulan ini kita saling memberi support dan saling mengisi kekosongan dalam diri masing-masing. Sekalipun eyang mengomel, aku bahkan dengan yakin menjawabnya.

“Eyang tunggu saja Mel akan memenuhi keinginan eyang…”

Eyang terus meminta janji. Hingga akhirnya kabar baik aku terima. Dira sedang berada di kota yang tidak jauh aku tinggali. Ada pekerjaan di luar kota. Tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kami janjian untuk ketemu, waktu inilah yang aku nantikan. Ternyata Dira bukan hanya baik di dunia maya saja, ia begitu sangat perhatian. Ketika bertemu Dira tidak sedikitpun canggung, justru aku terlihat kaku. Dira memang tidak setampan Rizal dan Tyo, namun aku menemukan kenyamanan bersama dia.

“Mel, boleh gak aku ketemu dengan ibu kamu…”

Mendengar kata-kata itu aku seakan tidak percaya. Dia ternyata serius denganku. Serta merta aku mengangguk senang. Aku mengabulkan keinginannya, ibuku menyambut dengan ramah. Beda dengan eyang yang hari itu datang ketika aku kabari. Eyang selalu saja begitu, tidak bersikap ramah. Bagaimana aku bisa mendapatkan jodoh kalau begini caranya. Namun aku lihat Dira bersikap lebih ramah dan sangat sopan.

“Kamu yakin ingin serius dengan Mel…” Ujar eyang, kata-katanya sungguh menyebalkan.

“Saya serius, sejak pertama berkenalan dengan Mel. Saya yakin Mel adalah jodoh saya..”

“Kalian itu aneh masa berkenalan lewat internet..”

“Memangnya kenapa eyang..” Tanyaku kesal. ”Tuhan sudah mengatur jalan hidup setiap orang, mungkin saja Mel ditakdirkan bertemu lewat facebook..

“Tetap saja kamu harus tahu asal usul laki-laki yang kamu kenal..” Suara eyang meninggi. Aku semakin kesal dibuatnya. Ketika itu mama datang membawa minuman dan beberapa toples kue kering.

“Sudahlah bu, biarkan Mel memilih jodohnya sendiri..” Mama membelaku. Dan sekarang eyang malah balik memarahi ibu.

“Kamu memang tidak becus mengurus anak dengan baik..”

“Sebagai seorang ibu saya ingin membuat Mel bahagia dengan memberi dia kebebasan memilih calonnya sendiri, karena hanya Mel yang tahu..”

Ternyata kedatangan Dira tidak membuat eyang lumer. Aku sangat menyesal membiarkan pertengkaran ibu dan eyang terjadi di depan Dira. Aku juga melihat hari itu ibu begitu ngotot membelaku, sekarang aku pasrah jika seandainya Dira mundur seperti yang lainnya. Dira berada dirumahku hana sekitar dua jam. Dengan alasan ada kerjaan lain Dira pamit. Aku tahu hal ini akan aku alami kembali, selalu saja ditinggalkan oleh orang yang aku sayangi hanya karena eyang. Sejak itu aku membiarkan keadaan datar, aku tidak mendapat kabar dari Dira, begitu pun sebaliknya. Aku sudah menyiapkan ini karena aku tahu hal ini akan terjadi. Namun aku salah, setelah seminggu berlalu, Dira menghubungiku. Ternyata seminggu ini dia berada di daerah terpencil, pekerjaannya sebagai wartawan mengharuskan dia pergi ketempat-tempat terpencil untuk mencari berita. Aku lega karena Dira tidak seperti yang lainnya. Hanya saja kendalanya sekarang, pertemuan lain sangat susah untuk di jadwalkan. Tapi aku tetap berharap keadaan seperti ini akan berubah.

Aku tidak tahu bagaimana meyakinkan eyang. Sekalipun sekarang eyang sudah menyatakan dirinya setuju dengan Dira, namun kicauan dari bibirnya tetap tidak berhenti. Untuk kesekian kalinya eyang terus bertanya kapan Dira datang melamar. Tentu saja aku bingung, mengatur waktu untuk bertemu saja susah. Kita hanya bisa berkomunikasi melalui Hp, itu pun jika Dira bisa kembali ke kota dengan cepat. Aku semakin terpojok ketika suatu hari eyang datang memperkenalkan aku dengan seorang laki-laki bernama Rendra. Menurutnya dia seorang bussines man, asal-usulnya jelas dan masa depanku pasti terjamin. Dira tidak bisa aku hubungi, aku tahu mungkin dia sibuk. Namun keadaanku terdesak, eyang memberi aku waktu satu minggu untuk membawa Dira menghadap eyang.

Berulang kali aku kirim pesan untuk Dira selalu gagal. Dua hari tetap tidak bisa aku hubungi. Aku menangis di depan ibu.

“Ibu apa yang harus Mel lakukan sekarang…” Aku tidak bisa menahan tangisku. Memeluk ibu erat dan kini ibu ikut menangis.

“Maafkan ibu Mel, ibu tidak bisa membujuk eyang kamu. Seandainya bapak kamu masih ada…”

“Ibu tidak perlu meminta maaf, ini bukan kesalahan ibu..”

Aku tidak tega melihat ibu. Aku berusaha meyakinkan ibu bahwa aku akan baik-baik saja. Hari ke empat, aku menerima pesan dari Dira bahwa ia kesulitan mencari signal dan susah membeli pulsa. Namun ketika aku mencoba menghubungi Hp Dira sudah tidak aktif. Kini aku pasrah dengan apa yang akan terjadi. Tapi di sisi lain aku percaya dengan keyakinanku kepada Dira.

Aku percaya bahwa taqdir kita adalah kebahagiaan, tidak ada satu orang pun yang bisa mencegahnya, aku mohon Dira datanglah setelah kamu menerima pesanku ini…

Benar saja. Menanti adalah sesuatu yang melelahkan. Tapi bukan itu yang aku rasakan, aku semakin cemas. Hanya keajaiban yang aku tunggu sekarang. Sungguh aku sangat mengharapkan Dira menjadi pendamping hidupku. Dengan Dira aku merasa nyaman, dengan Dira aku bisa menemukan sebuah arti keyakinan. Dimana bukan dari waktu dan jarak kita untuk saling mengenal dan memahami melainkan dari keyakinan hati yang kuat bahwa dialah jodoh yang sebenarnya.

Rendra datang bersama eyang. Aku tidak membiarkan eyang melakukan keinginannya. Aku mengurung diri di kamar. Membiarakan Rendra kesal menungguku, tapi eyang rupanya lebih pintar dariku. Mengancam akan bunuh diri jika aku tidak menuruti keinginannya. Ibu menangis melihat situasi itu. Aku tidak berdaya, aku paling tidak bisa melihat air mata ibu menetes. Aku terpaksa menemui Rendra. Aku lihat wajahnya tersenyum menatapku. Tidak sedikitpun kuperlihatkan sikap manis untuknya.

“Apa alasan kamu tidak mau menikah sama aku Mel…”Rendra mulai berbicara.

“Apa alasan lo maksa gue nikah sama lo… cara lo norak tau gak !.. nyari perhatian eyang segala, sportif dong …”

“Karena aku yakin kamu akan bahagia sama aku Mel..”

Aku diam. Malas berkomentar. Sampai beberapa jam kemudian Rendra pamit. Eyang menetap dirumah malam itu. Aku harus siap dengan ocehan eyang lagi. Namun hanya beberapa kata yang menarik perhatianku.

“Eyang janji tidak akan memaksa kamu menikah dengan Rendra jika pujaan kamu itu datang tepat waktu….” Eyang membelai rambutku. “Maafkan eyang terlalu membebani fikiran kamu Mel, sejak kepergian ayah kamu, eyang kesepian…” Tiba-tiba eyang menangis deras. Malam itu untuk pertama kalinya aku merasa terlalu berlebihan menganggap eyang jahat. Harusnya aku tahu bahwa eyang menyayangiku. Keesokan harinya aku tidak berusaha menghubungi Dira, karena aku tahu hasilnya akan nihil. Aku pasrah dengan apa yang akan terjadi. Aku rela jika harus menikah dengan Rendra, mungkin ini memang sudah jalan takdir yang harus aku lalui. Sampai saatnya tiba, hari dimana Rendra akan melamarku. Aku masih berharap Dira kembali disaat yang tepat, kalaupun tidak aku ikhlas dengan semua ini.

Ibu mendekatiku. “Apa kamu benar-benar siap Mel…” Ibu gelisah menatapku.

Aku tersenyum. “Mel percaya bahwa garis kebahagiaan itu tetap ada bu, Mel hanya bisa menunggu mana kebahagiaan Mel yang sebenarnya…”

Sudah dua jam kami menunggu kedatangan Rendra dan keluarga. Aku siap dengan kebaya merah melekat. Dan rumah sudah dihias sedemikian rupa. Eyang menyambut gembira hari itu. Namun yang ditunggu tetap belum tampak. Beberapa menit kemudian eyang menerima telepon. Menerima kabar bahwa mobil keluarga Rendra mengalami kecelakaan. Eyang hampir pingsan mendengar kabar itu. Tapi kemudian aku yakinkan eyang untuk tenang. Aku bersma eyang dan ibu menuju rumah sakit. Tapi Tuhan berkata lain. Ternyata Rendra sudah tiada. Aku melihat tangisan itu meruah, aku juga tidak bisa menahan kesedihanku. Dan aku hany berfikir bahwa ini jawaban dari Tuhan. Bahwa aku tidak ditaqdirkan bersama dengan Rendra. Yang aku sesali hanyalah sikapku yang tidak bisa kontrol kepada Rendra. Jujur Rendra orang yang baik dan sopan. Tidak seharusnya aku bersikap seenakku. Maafkan aku Rendra….

Selamat jalan Rendra……

Aku melangkah di lorong rumah sakit. Masih dalam keadaan menyesal. Ya… sesal dengan sikapku. Semoga Rendra tidak sakit hati dengan sikapku selama ini. Di saat fikiranku berjalan kesana kemari, entah kenapa aku seperti tidak asing melihat seseorang duduk di kursi roda. Seorang wanita tua mendorong laki-laki itu menuju taman rumah sakit. Aku penasaran, aku ikuti arahnya. Tapi tiba-tiba aku terkejut melihat sosok laki-laki itu. Dira………

Aku mendekat. Dira menatapku, seperti tidak mengenaliku.

“Dira…kamu kemana aja…..”

Dira masih menatapku. Memperhatikan wajahku seksama.

“Dia hilang ingatan…” Ujar wanita yang sejak tadi berdiri memegang kursi roda. “Apa kamu yang bernama Mel…?” Wanita itu kini menatapku.

“Iya…apa ibu orang tua Dira..?.”

Ibu itu mengangguk pelan. “Hanya kamu yang bisa menyembuhkan Dira… tolong bantu ibu..” Kini dia memohon kepadaku. Memegang kedua tanganku. Air matanya mengalir deras.

“Aku..?..” Aku bingung. Dengan apa aku bisa menyembuhkan Dira dalam kondisi seperti ini. Ternyata selama ini Dira menghilang karena kecelakaan disaat dia melakukan tugasnya. Mobilnya masuk jurang, Dira masih beruntung karena dia masih bisa diselamatkan. Tidak seperti kedua temannya yang akhirnya meninggal dunia.

“Dira sempat mengalami koma dua hari.. ketika itu dia sering mengigau menyebut-nyebut nama Mel dan Jakarta.. ,ibu tidak tahu apa maksudnya. Tapi setelah Dira siuman, dia hilang ingatan. Menurut dokter kamu orang yang istimewa di mata Dira, dan hanya kamu yang bisa menyembuhkan Dira…”

“Ibu sangat senang bertemu kamu disini Mel.. Karena beberapa hari ibu di Jakarta, ibu tidak tahu apa yang harus dilakukan..”

Tuhan selalu memberi cara untuk kita, bagaimana kita mencari kebahagiaan. Tinggal bagaimana kita menyikapi hidup ini yang sebenarnya indah. Seperti aku sekarang, aku bahagia menerima Dira dalam kondisi seperti ini. Dan benar saja, aku seperti obat mujarab untuk Dira. Semakin hari Dira berangsur sembuh, walaupun ingatannya belum pulih. Aku yakin dia tetap menyimpan namaku di hatinya. Aku melihat namaku pun di ukir di tangan kanannya. Itu dilakukannya sebelum dia koma.

Satu hal yang bisa aku ambil adalah bahwa kita bisa membuat kebahagiaan itu sendiri. Dan jangan takut dengan keputusan terbaik yang kita ambil Dan percayalah bahwa keyakinan hati adalah kunci utamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun