Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Cerpen | Lupa Guru

10 April 2019   09:15 Diperbarui: 10 April 2019   09:32 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suaranya menutupi langit-langit ruangan. Menggelegar bak suara bergemuruh geluduk yang menguasai bumi. Ribuan mata mena tak berkedip. Mulut menganga tak percaya dengan apa yang dilihat mereka.  Berdiri tegap dengan yakin mempesona penonton. Tiket masuk sudah habis satu minggu lalu. Penonton bersedia berdiri demi melihat sang bintang. Semenjak terkenal dipanca dunia tahun lalu, wajahnya sudah tersebar luas keseluruh negaranya. Bahkan kaum berduitpun bersedia mengantri demi menyaksikan idola baru mereka. 

Gedung itu sudah dipenuhi dengan lautan manusia sejak satu jam sebelum acara dimulai.  Bahkan banyak manusia yang mengambil kenangan ini untuk dipamerkan ke dunia maya. ini adalah kesempatan yang sangat mahal. Suaranya terus membuat penonton tegang tak bersuara. 

Padahal suaranya terus mengalun sejak setengah jam lalu, tetapi suaranya tetap memelekkan mata. Suaranya berhenti berbarengan dengan megahnya musik yang mengiringi sejak tadi. Sekarang giliran suara tepuk tangan yang menguasai langit-langit ruangan. Banyak pula suara sweit dari mulut yang mengaguninya. serasa tak mau kalah, para wanita lajang berteriak histeris menatap ketampanan wajahnya yang mempesona mata.

Aku menatapnya dengan rasa bangga. Pembawa acara ternama menghampirinya. berseru menyebut namanya dengan megah. Kembali para penonton bersorak tak berujung, sehingga membuat pembawa acara menghentikan kegaduhan bangga sebelum melanjutkan pembicaraan. 

"Apa kabar mu Stef?" tanya pembawa acara dengan tersenyum di atas panggung. Stef berkata bahwa dia selalu sehat demi para penggemarnya. kembali suara bergemuruh menutupi suara pembawa acara yang menggunakan sound system. percakapan berlanjut demi menyenangkan para penonton.

Acara sudah selesai setengah jam yang lalu, tetapi penonton tetap mengantri demi mendapatkan tanda tangan dan foto sang idola. Stef berdiri tegap di dekat pintu keluar dengan penjagaan ketat. Dua orang berbadan tegap den bersenjata siap bergerak saat ada penggemar yang anarkis. 

Akupun ikut mengantri demi melihatnya. Saatku tiba berdiri didepannya. Aku hanya tersenyum kepadanya, tidak meminta tanda tangan maupun foto karena banyak fotonya di galeri hpku. Stef tampak bingung, lantas dia bertanya "Kau tidak meminta tanda tangan ku atau foto?" Aku kaget. 

Aku menggelang sambil berkata tidak. Stef melah menyuruh ku pergi karena masih banyak penggemarnya menanti. Aku menurutinya, perkiraan salah total. Aku kira dia mengingatku. kejadian dua puluh tahun lalu sama sekali tidak dia ingat.

Dulu Stef selalu kerumah ku sehabis pulang sekolah. hanya satu yang dia pinta, ajari menyayi. Aku selalu menuruti pintanya itu walaupun pekerjaan menjahitku belum selesai. itu berjalan sejak dia TK hingga lulus SMP. saat dia memasuki masa SMA, dia harus ikut orang tuanya pindah kerja. sejak itulah aku tak pernah bertemu dengannya lagi. AKu sempat membuatkan baju pentas saat dia mengikuti lompa menyanyi pertama kali di desa kami. Stef sungguh senang walaupun dia tidak memenangkan perlombaan itu. Sekarang? dia sama sekali tak mengiangat aku, guru pertamanya. 

Aku pergi meninggalkannya yang masing dikerumuni lautan manusia. dipinggir jalan terdapat telepon umum. aku menggunakannya untuk menelpon nomor yang terpampang di bener depan gedung itu. telepon masuk. bukan Stef yang mengangkat teleponku, malainkan asistennya. Apakah sesibuk itu sampai-sampai hpnya pun tak sempat tersentuh oleh nya. Asisten yang berbaik hati itu memberikan hp itu kepada Stef. Aku mendengar suaranya yang berkata halo. Aku mulai berkata sambil menangis.

"Halo Stef, Aku Batozar gurumu dulu. Aku sangat bangga dengan penampiolan mu tadi. proficiat ya. Sampai bertemu lagi". Aku menutup telepon sebelum Stef berkata. Dari jauh kulihat Stef kebingungan. Kemudian aku melihat tangannya mengusap mata. mungkin dia menangis dan menginagt semuanya. -Ly-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun