Mohon tunggu...
Lyna Nurhayati
Lyna Nurhayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hobi saya menulis, menonton film, mendengarkan musik dan memotret kucing.

Selanjutnya

Tutup

Book

33 Senja di Halmahera: Melepaskanmu yang Tak Mungkin Bersatu

18 Desember 2023   20:00 Diperbarui: 18 Desember 2023   20:15 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Intan Andaru adalah salah satu sastrawan Indonesia. Namanya terkenal melalui karya-karyanya berupa novel, cerita pendek, dan puisi yang dipublikasikan melalui surat kabar. Salah satu karyanya yang berjudul "33 Senja di Halmahera" terpilih menjadi peserta Program Residen ASEAN-Jepang serta diundang dalam acara ASEAN Literaty Festival tahun 2017.

Dalam novel "33 Senja di Halmahera" diceritakan ada seorang tentara bernama Nathan yang dipindah tugaskan dari Sofifi ke Halmahera. Kepindahannya membawa rasa sesal yang mendalam kepada ibunya. Alasan kepindahannya membuat sang ibu tercinta kecewa. Hal-hal yang selalu ditakutkan oleh ibunya justru ia lakukan. Akhirnya, ia diberi sanksi dipindah tugaskan dari Sofifi ke Halmahera. Di Halmahera, ia bertemu seorang gadis berambut ikal, penampilannya penuh dengan kesederhanaan, bermata indah, dan berperilaku anggun. Gadis itu bernama Puan. Rumahnya dekat dengan laut. Namun, gadis itu tidak menyukai laut.

Nathan jatuh hati pada pandangan pertama dengan pesona Puan. Tampilannya yang sederhana, tanpa riasan di wajah, dan akrab dengan murid-muridnya membuat Nathan penasaran dan tertarik. Puan yang menyadari ketertarikan Nathan padanya, perlahan ia pun menaruh hati pada tentara itu. Tubuh Nathan yang tegap, otot-otot di lengannya terlihat berisi, tinggi dan tatanan rambut ala tentara. Ditambah dengan hidungnya yang mancung dan rahangnya yang tegas. Perlahan-lahan mereka saling membuka diri mulai dari obrolan ringan, saling beradu pandang sampai berkunjung ke Kepulauan Widi, sisi selatan Halmahera.

Seiring berjalannya waktu keduanya semakin dekat. Mereka semakin sering mengobrol saat senja, berjalan mengitari bibir pantai, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Kabar kedekatan mereka pun sampai kepada orang tua Puan. Tentu kabar tersebut bukanlah kabar baik bagi orang tua Puan, terutama Ayah. Sebenarnya sejak awal Puan sadar bahwa kedekatannya dengan Nathan akan berakhir menyakitkan. Ada sebuah tembok besar yang sangat sulit untuk diruntuhkan, yaitu perbedaan keyakinan. Karena itu, konflik besar pun terjadi di rumah Puan. Ayah Puan yang merupakan seorang terkemuka dan disegani di kampung menolak keras kedekatan Puan dan Nathan. Puan pun sama kerasnya, ia menentang apa yang dititahkan oleh Ayahnya.

Puan diselimuti rasa bimbang. Keadaan yang membuat mereka bertemu hingga tumbuh rasa ingin saling memiliki. Namun, perbedaan keyakinan yang membuat mereka tidak mungkin untuk bersama. Mereka sadar akan hal itu hingga hari demi hari keduanya diselimuti kesedihan dan kegalauan. Sampai pada hari perpisahan karena waktu Nathan mengabdi di Halmahera telah usai. Puan memaksakan diri untuk menemui Nathan sembari memberikan sepucuk surat perpisahan. Tentu dengan bahagia Nathan terima surat itu untuk ia baca saat perjalanan pulang. Ia berharap ada deretan angka yang bisa dihubungi kala dirinya dilanda rindu. Sayangnya bukan deretan angka yang ada dalam surat itu, melainkan kalimat perpisahan yang menyayat hati.

Novel ini akan mengajak kita mengenal lebih dekat tentang Halmahera. Penulis sangat piawai dalam menggambarkan Halmahera dimulai dari keadaan pemukimannya, mata pencaharian, sampai keindahan alam yang ada di Halmahera. Penulis menggambarkan bagaimana pemukiman di Halmahera yang masih bernuansa tradisional. Hal tersebut digambarkan seperti dalam kutipan berikut. "Pemukiman yang jauh dari kata modern. Rumah-rumah beratap anyaman daun sagu. Berlantai tanah yang bercampur pasir pantai. Dindingnya dari papan. Kayu tipis persegi panjang yang ditata berjajar." Dalam kutipan tersebut digambarkan bagaimana pemukiman di Halmahera masih lekat dengan nuansa tradisional. Tidak seperti di kota-kota besar yang hampir keseluruhan pemukiman sudah modern.

Mata pencaharian penduduk Halmahera pun digambarkan dengan baik oleh penulis. "Sebagian masyarakat Gane memang senang berburu rusa. Mereka akan berjalan jauh menuju hutan di perbatasan gunung sana. Jauh dari pesisir. Jauh dari pemukiman. Berjalan kaki. Berangkat pagi. Pulang petang." Penulis menjelaskan bahwa rusa adalah salah satu hewan yang dapat dijadikan hidangan lezat di Halmahera. Berdasarkan kutipan di atas, masyarakat Gane senang berburu rusa. Hasil buruan tersebut akan dimasak menjadi rendang atau dendeng dan dibagikan ke tetangga sekitar. Selain berburu, masyarakat Gane berprofesi sebagai nelayan karena letak geografisnya yang berdekatan dengan laut. Karena hal tersebut, ikan menjadi makanan pokok. Jika di Jawa ada istilah tidak makan nasi artinya tidak makan, maka sama halnya dengan di Halmahera. Jika tidak makan ikan artinya tidak makan.

Selain itu, penulis juga menggunakan beberapa istilah khas Halmahera, seperti swanggi yang artinya sebutan manusia yang mempunyai ilmu hitam; hantu; setan; atau sejenis makhluk halus. Kata jang yang merupakan singkatan dari kata jangan. Lalu ada istilah khas lain, seperti gula-gula, guraka, cupa, dobu-dobu dan masih banyak lagi. Makanan khas Halmahera pun penulis sebutkan, seperti papeda, sayur garu, ikan mas kiring rampah, gohu, sabeta, dan bia.

Penulis pun menggambarkan keindahan Halmahera, salah satunya Kepulauan Widi, sisi selatan Halmahera.

"Sungguh seperti masuk ke alam lain. Indah sekali. Lautnya jernih berwarna hijau toska. Aduhai sejuk sekali laksana surga. Pulau-pulaunya begitu banyak. Hijau subur nan tumbuh pepohonan menghiasi tiap pulau. Ada seratus pulau di Kepulauan Widi. Semua pulau tak berpenghuni. Hanya ada beberapa nelayan yang membuat rumah sementara disana untuk mencari ikan."

Dalam kutipan tersebut penulis menggambarkan betapa indahnya Kepulauan Widi. Lautnya yang jernih, udara yang sejuk dan tanahnya subur dengan pepohonan hijau menghiasi tiap pulau. Gambaran yang diberikan penulis membuat pembaca ingin melihat dan merasakan langsung keindahan yang dihadirkan Kepulauan Widi.

Tak seindah latar yang digunakan penulis, ternyata dibalik keindahan Halmahera terdapat kisah yang menyedihkan. Puan dan Nathan yang saling menaruh rasa tertarik ternyata ada tembok besar yang sangat sulit mereka lalui. Puan menyadari adanya perbedaan keyakinan ketika Nathan berucap padanya, "Barangkali kita bisa bicara lagi lain waktu, ini saatnya pulang. Aku harus ke gereja." Setelah mendengar kalimat tersebut, penulis menggambarkan perasaan Puan yang layu sebelum berkembang. Kalimat itu membunuh perasaannya yang baru saja bersemi. Namun, Puan sebisa mungkin menahan perasaannya untuk tidak semakin membesar. Karena ia menyadari bahwa berharap pada lelaki yang berbeda keyakinan akan sangat sulit.

Meskipun mereka menyadari adanya perbedaan, hari demi hari mereka semakin dekat.  Seakan lupa dengan tembok besar di antara keduanya, mereka semakin sering mengobrol, saling beradu pandang secara tidak sengaja, berjalan-jalan mengitari bibir pantai, sampai melancong bersama ke Kepulauan Widi. Hingga akhirnya, kedekatan mereka sampai ke telinga Ayah Puan. Konflik besar pun terjadi di rumah Puan saat Ayah Puan memanggilnya dan memintanya untuk duduk dihadapan Ayahnya. "Puan duduk di depannya. Dadanya seperti berdetak lebih cepat saat melihat Papa tampah serius seperti itu. Terlebih, Papa secara khusus memanggil Puan dan memintanya duduk di hadapannya." Dalam kutipan tersebut penulis menggambarkan ketegangan yang dirasakan Puan saat dipanggil oleh Ayahnya. Setelah itu, terjadi perdebatan antara Ayah dan Anak. Ayah Puan melarang Puan untuk berdekatan dengan Nathan karena berbeda keyakinan. Namun, Puan menolak dengan keras karena mereka hanya berteman dan ia tidak suka dipaksa.

Penulis menggambarkan perasaan keduanya ketika diambang dilema. Puan tak ingin berdekatan lagi dengan Nathan. Namun, laki-laki yang senyumnya selalu membuat dirinya berdebar-bedar tak bisa hilang dari pikirannya. Begitu pun dengan Nathan, ia  jatuh cinta pada Puan. Ia berharap Puan bisa menerimanya dan menjalin hubungan serius. Nathan tidak main-main, bahkan jika Puan meminta untuk menikahinya maka dengan senang hati akan dia lakukan.

"Tapi bagaimana? Aku sudah terlanjur jatuh hati padamu. Aku ingin berusaha agar kita bisa benar-benar menjalin hubungan yang serius. Aku tidak main-main. Aku bisa membawamu pada orangtuaku dan aku bisa bicara pada orangtuamu bahwa aku serius padamu."

Dalam kutipan dialog tersebut menggambarkan sifat Nathan yang serius dan berusaha untuk meyakinkan Puan tentang keseriusannya bahwa perasaannya tidak main-main. "Nath, tak ada gunanya bila kita membangun sesuatu dengan sekuat tenaga, sementara kita tahu hal itu akan hancur esok harinya." Dalam dialog tersebut Puan berusaha untuk tetap menolak meski dirinya pun tidak mau. Namun, karena prinsip hidup masing-masing mereka berbeda, perasaan yang tumbuh harus dihilangkan.

Pada malam terakhir di Halmahera, digambarkan perasaan Nathan yang tidak menentu hingga sulit tidur karena senyum Puan terus terbayang di pikirannya. Ia sudah menyiapkan sepucuk surat perpisahan dan tak lupa dicantumkan  nomor teleponnya agar mereka bisa terus saling berhubungan. Hingga tiba hari perpisahan saat masa Nathan mengabdi di Halmahera telah berakhir. Puan menemui Nathan lalu bertukar surat. Meski hari itu adalah hari perpisahan, penulis menggambarkan betapa gembiranya Nathan melihat Puan menemuinya. Terlebih Puan memberikan surat juga kepadanya dan ia berharap ada deretan angka yang bisa dihubungi. Namun, ternyata rasa bahagianya tidak berlangsung lama. Raut wajahnya berubah saat membaca surat dari Puan di perjalanan pulang.

"Maaf, tidak ada nomor telepon. Karena perasaan kita, Nath. Akan terus tumbuh bila tidak dibunuh. Semoga kau dan aku selalu bahagia---meski tidak bersama-sama." Setelah penggalan kalimat terakhir surat yang Puan tulis, penulis menggambarkan perasaan Nathan yang teramat sedih. Tangannya bergetar, membolak-balikkan kertas berharap ada deretan angka yang terlewat tidak dia baca. Matanya berkaca-kaca mengingat Puan. Ia masih berharap ada nomor tak dikenal berisi pesan dari Puan. Namun, pesan itu tidak pernah ada. Tidak hanya Nathan yang dilanda kesedihan. Puan pun merasakan hal yang sama. Pada bagian akhir penulis menggambarkan keadaan Puan setelah perpisahan mereka. Ia masih belum bisa melupakan Nathan. Tempat-tempat yang pernah ia kunjungi bersama Nathan meninggalkan cerita yang membekas.

Melalui novel ini, penulis mampu mengemas dengan baik bagaimana perjalanan kisah cinta yang terhalang perbedaan keyakinan. Berbagai rintangan mereka hadapi hingga akhirnya memilih untuk tetap dengan prinsip mereka masing-masing. Seperti perkataan orang-orang bahwa cinta tak harus memiliki. Begitu pun cinta Nathan dan Puan yang harus saling melepaskan karena tak mungkin bersatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun