Tak seindah latar yang digunakan penulis, ternyata dibalik keindahan Halmahera terdapat kisah yang menyedihkan. Puan dan Nathan yang saling menaruh rasa tertarik ternyata ada tembok besar yang sangat sulit mereka lalui. Puan menyadari adanya perbedaan keyakinan ketika Nathan berucap padanya, "Barangkali kita bisa bicara lagi lain waktu, ini saatnya pulang. Aku harus ke gereja." Setelah mendengar kalimat tersebut, penulis menggambarkan perasaan Puan yang layu sebelum berkembang. Kalimat itu membunuh perasaannya yang baru saja bersemi. Namun, Puan sebisa mungkin menahan perasaannya untuk tidak semakin membesar. Karena ia menyadari bahwa berharap pada lelaki yang berbeda keyakinan akan sangat sulit.
Meskipun mereka menyadari adanya perbedaan, hari demi hari mereka semakin dekat. Â Seakan lupa dengan tembok besar di antara keduanya, mereka semakin sering mengobrol, saling beradu pandang secara tidak sengaja, berjalan-jalan mengitari bibir pantai, sampai melancong bersama ke Kepulauan Widi. Hingga akhirnya, kedekatan mereka sampai ke telinga Ayah Puan. Konflik besar pun terjadi di rumah Puan saat Ayah Puan memanggilnya dan memintanya untuk duduk dihadapan Ayahnya. "Puan duduk di depannya. Dadanya seperti berdetak lebih cepat saat melihat Papa tampah serius seperti itu. Terlebih, Papa secara khusus memanggil Puan dan memintanya duduk di hadapannya." Dalam kutipan tersebut penulis menggambarkan ketegangan yang dirasakan Puan saat dipanggil oleh Ayahnya. Setelah itu, terjadi perdebatan antara Ayah dan Anak. Ayah Puan melarang Puan untuk berdekatan dengan Nathan karena berbeda keyakinan. Namun, Puan menolak dengan keras karena mereka hanya berteman dan ia tidak suka dipaksa.
Penulis menggambarkan perasaan keduanya ketika diambang dilema. Puan tak ingin berdekatan lagi dengan Nathan. Namun, laki-laki yang senyumnya selalu membuat dirinya berdebar-bedar tak bisa hilang dari pikirannya. Begitu pun dengan Nathan, ia  jatuh cinta pada Puan. Ia berharap Puan bisa menerimanya dan menjalin hubungan serius. Nathan tidak main-main, bahkan jika Puan meminta untuk menikahinya maka dengan senang hati akan dia lakukan.
"Tapi bagaimana? Aku sudah terlanjur jatuh hati padamu. Aku ingin berusaha agar kita bisa benar-benar menjalin hubungan yang serius. Aku tidak main-main. Aku bisa membawamu pada orangtuaku dan aku bisa bicara pada orangtuamu bahwa aku serius padamu."
Dalam kutipan dialog tersebut menggambarkan sifat Nathan yang serius dan berusaha untuk meyakinkan Puan tentang keseriusannya bahwa perasaannya tidak main-main. "Nath, tak ada gunanya bila kita membangun sesuatu dengan sekuat tenaga, sementara kita tahu hal itu akan hancur esok harinya." Dalam dialog tersebut Puan berusaha untuk tetap menolak meski dirinya pun tidak mau. Namun, karena prinsip hidup masing-masing mereka berbeda, perasaan yang tumbuh harus dihilangkan.
Pada malam terakhir di Halmahera, digambarkan perasaan Nathan yang tidak menentu hingga sulit tidur karena senyum Puan terus terbayang di pikirannya. Ia sudah menyiapkan sepucuk surat perpisahan dan tak lupa dicantumkan  nomor teleponnya agar mereka bisa terus saling berhubungan. Hingga tiba hari perpisahan saat masa Nathan mengabdi di Halmahera telah berakhir. Puan menemui Nathan lalu bertukar surat. Meski hari itu adalah hari perpisahan, penulis menggambarkan betapa gembiranya Nathan melihat Puan menemuinya. Terlebih Puan memberikan surat juga kepadanya dan ia berharap ada deretan angka yang bisa dihubungi. Namun, ternyata rasa bahagianya tidak berlangsung lama. Raut wajahnya berubah saat membaca surat dari Puan di perjalanan pulang.
"Maaf, tidak ada nomor telepon. Karena perasaan kita, Nath. Akan terus tumbuh bila tidak dibunuh. Semoga kau dan aku selalu bahagia---meski tidak bersama-sama." Setelah penggalan kalimat terakhir surat yang Puan tulis, penulis menggambarkan perasaan Nathan yang teramat sedih. Tangannya bergetar, membolak-balikkan kertas berharap ada deretan angka yang terlewat tidak dia baca. Matanya berkaca-kaca mengingat Puan. Ia masih berharap ada nomor tak dikenal berisi pesan dari Puan. Namun, pesan itu tidak pernah ada. Tidak hanya Nathan yang dilanda kesedihan. Puan pun merasakan hal yang sama. Pada bagian akhir penulis menggambarkan keadaan Puan setelah perpisahan mereka. Ia masih belum bisa melupakan Nathan. Tempat-tempat yang pernah ia kunjungi bersama Nathan meninggalkan cerita yang membekas.
Melalui novel ini, penulis mampu mengemas dengan baik bagaimana perjalanan kisah cinta yang terhalang perbedaan keyakinan. Berbagai rintangan mereka hadapi hingga akhirnya memilih untuk tetap dengan prinsip mereka masing-masing. Seperti perkataan orang-orang bahwa cinta tak harus memiliki. Begitu pun cinta Nathan dan Puan yang harus saling melepaskan karena tak mungkin bersatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H