Ibu Sri bersama suami dan kelima anaknya tinggal di Karawang. Suaminya, adalah seorang pegawai bank biasa yang setelah bertahun-tahun bekerja akhirnya mampu membeli sebidang tanah seluas 13.330 m2 di daerah Karawang. Saat itulah masalah rupanya bermula. Bapak Lukman Hakim memiliki sahabat yang berbisnis property. Mereka berencana untuk bekerjasama membangun perumahan di atas tanah milik Lukman Hakim tersebut.
Suatu hari, Bapak Lukman Hakim menitipkan sertifikat atas tanah seluas 13.330 M2 tersebut kepada sahabatnya, Bapak Handoyo untuk diperiksa kelengkapannya di Badan Pertanahan Negara. Belum lagi urusan tersebut selesai, Bapak Handoyo meninggal dunia di tahun 1991. Karena percaya dengan persahabatan mereka, Lukman Hakim tidak pernah menanyakan keberadaan sertifikat tanah miliknya tersebut kepada ahli waris Handoyo.
Tahun 2002, Lukman Hakim akhirnya bertanya kepada ahli waris alias keluarga Handoyo mengenai keberadaan sertifikat tanah miliknya, namun semua sepakat menjawab tidak tahu. Seolah memang sama sekali tidak pernah tahu menahu soal sertifikat yang dititipkan kepada almarhum ayah mereka. Karena itulah, Lukman Hakim menganggap bahwa sertifikat itu hilang dan berangkat ke BPN untuk meminta pemblokiran sertifikat atas namanya.
Di tahun 2004, Lukman Hakim meninggal dunia. Saat itu tanah milik Lukman Hakim dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Dengan meminta tolong kepada pihak ketiga, Tanah tersebut ditanami padi, mangga, pisang, dan jeruk oleh keluarga. Namun, di tahun 2014, pihak ketiga yang tinggal di tanah tersebut untuk mengelola, diusir dengan semena-mena oleh orang yang mengaku sebagai pihak pengembang. Konon, tanah tersebut tidak bisa ditanami lagi karena di atasnya akan dibangun perumahan oleh keluarga Handoyo, dengan alasan tanah tersebut telah dibeli dari almarhum Lukman Hakim pada tahun 1992.
Saat itulah para ahli waris yaitu Ibu Sri dan anak-anaknya menelusuri kebenaran pengakuan tersebut. Karena Ibu Sri dan anak-anaknya sangat yakin tidak pernah menjual dan mengalihkan hak atas tanah tersebut.
Melihat kenyataan seperti itu, apalagi ada bukti bahwa KTP Lukman Hakim yang dilampirkan pada saat proses jual beli tersebut (katanya) berlangsung menyatakan bahwa Lukman Hakim berstatus belum menikah, juga adanya selembar surat keterangan dari kelurahan setempat yang menyatakan bahwa Lukman Hakim belum menikah, akhirnya keluarga, diwakili oleh anak kedua mereka yaitu Christian Dede Franseda datang ke BPN Karawang, mengajukan permohonan pemblokiran Sertifikat Hak Milik. Pemblokiran tersebut diajukan dengan alasan bahwa proses jual beli tersebut tidak sah, karena tidak ada persetujuan jual beli dari isteri Lukman Hakim yaitu Ibu Sri, dan dalam akta jual beli (AJB) yang dibuat oleh Notaris tidak terdapat tanda tangan dari Ibu Sri. Di situlah baru diketahui oleh para ahli waris Lukman Hakim, bahwa almarhum papanya juga sudah pernah mengajukan pemblokiran sertifikat dengan alasan hilang.
Permohonan tersebut dikabulkan, dan tanah itu dinyatakan adalah tanah sengketa. Berdasarkan keputusan tersebut, Dede, anak kedua Ibu Sri memasang patok/spanduk di atas tanah tersebut yang menyatakan bahwa status tanah itu sedang dalam pemblokiran di kantor BPN atas gugatan hak waris dari sertifikat tanah itu. Sayangnya, jangka waktu pemblokiran tersebut hanya 30 hari, sesuai dengan ketentuan pasal 126 ayat (4) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, “Catatan mengenai status quo (blokir) saudara hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, kecuali apabila diikuti dengan Putusan Sita Jaminan dari Pengadilan yang Salinan resmi dan Berita Acara Eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan”.
Sesuai keputusan tersebut, majulah Dede mengurus gugatan secara Perdata ke pengadilan guna mendapatkan keputusan yang sah secara hukum bahwa tanah tersebut masih milik keluarga mereka karena jual beli yang dilakukan tidaklah sah.
Di tengah jalan, saat peradilan perdata masih berlangsung, rupanya, entah ada permainan seperti apa, kemudian pihak almarhum Handoyo langsung membuat pagar di sekeliling tanah. Tak berapa lama, datang panggilan dari pihak kepolisian yang ditujukan kepada Dede, untuk diperiksa dalam rangka penyidikan tindak pidana dengan dugaan tindak pidana memaksa memasuki pekarangan tertutup tanpa ijin dengan melawan hak.
Ketika gugatan Pidana dilayangkan oleh ahli waris Handoyo kepada Dede, perkara perdata tentang sengketa tanah tersebut belumlah usai.
Berkali-kali panggilan pihak kepolisian datang kepada Dede, berkali-kali pula Dede memenuhi panggilan tersebut dan menjalani gelar perkara. Puncaknya adalah, terhitung pada bulan Januari 2016, Dede ditahan atas dugaan tindak pidana memaksa memasuki pekarangan orang lain tanpa hak.