Mohon tunggu...
Lygia Pecanduhujan
Lygia Pecanduhujan Mohon Tunggu... Penulis - Creative Writer, influencer, Blogger, Content Contributor, Social Worker, Backpacker, Founder Digiefood Indonesia, Founder of Baklavanesia

Bookografi A Cup of Tea for Single Mom (Stiletto Books, 2010), A Cup of Tea for Complicated Relationship (Stiletto Books, 2011), Storycake for Ramadhan (Gramedia Pustaka Utama, 2011), Emak Gokil, the Anthology (Rumah Ide, 2011), For the Love of Mom, the Anthology (2011), Storycake for Amazing Mom, the Anthology (Gramedia Pustaka Utama, 2011), Hot Chocolate for Broken Heart (Cahaya Atma Pustaka, 2012), Hot Chocolate for Dreamers (Cahaya Atma Pustaka, 2012), Storycake for Backpackers (Gramedia Pustaka Utama, 2013), Balotelli versus Zlatan (Grasindo, 2013), Jurus 100% Pensiun Kaya (Bisnis Sapi) with Raimy Sofyan (Grasindo, 2014), Ronaldo versus Messi, duet with Astri Novia (Grasindo, 2014), World Cup Attack (Grasindo, 2014), AC Milan versus Inter Milan (Grasindo, 2014), Van Persie versus Luiz Suarez (Grasindo, 2014), 101 Kisah Cinta Sepanjang Masa (Grasindo, 2014), As Creative as Steve Jobs (Grasindo, 2014), Peluk ia Untukku (ghostwriter) (Grasindo, 2014), Peruntungan Cinta Menurut Zodiak & Shio di Tahun Kambing 2015 (Menggunakan nama pena: Tria Astari, Penerbit Grasindo, 2015), 50 Ritual Malam Miliader Dunia bersama Honey Miftahuljannah (Grasindo, 2015)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Keajaiban Rezeki: di Balik Rahasia Hadiah 800 Ribu

8 Mei 2015   02:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:16 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi belum lagi usai. Embun masih betah berdiam di pucuk-pucuk dedaun, sedang bulan tak bundar sempurna memutih dan memudar ditempa sinar matahari. Aku, terburu-buru bersiap diri dan menanti Pak Iyus, Ojeg langgananku yang selalu setia mengantarku ke mana pun aku hendak pergi agak jauh. Pukul 6.00 akhirnya aku meluncur membelah jalanan Bandung yang masih menyisakan dingin sisa hujan semalam.

Menurut email konfirmasi yang aku terima beberapa waktu sebelumnya, kegiatan Kompasiana Nangkring Bersama Kementerian PUPR akan dilaksanakan Kamis, 7 Mei 2015, tepat pukul 8.00 dan peserta dari KBandung (Kompasiana Bandung) diharapkan tiba setengah jam sebelumnya untuk melakukan registrasi.

Sepanjang jalan, terngiang ucapan putriku, Rayna, saat melepasku berangkat, “Bu, bulan ini belum bayar SPP sama abodemen ojeg.” Kalimat itu masih disambung oleh kalimat pendek dari Mamah, “Hutang ke koperasi harus dilunasi hari ini.” Huft, baiklah. Benakku seketika itu langsung sibuk berhitung seolah sebuah kalkulator supermini berada di sana. SPP 150 ribu, Abodemen Ojeg 150 ribu, Hutang ke Koperasi sisa 500 ribu. Well, baiklah, 800 ribu dan sementara itu di kantong tas selempangku hanya berisi selembar uang berwarna merah sebesar 100 ribu yang terus kusimpan rapi selama beberapa hari ini.

Menjadi ibu tunggal bagi 3 anak setelah kepergian almarhum suamiku, dengan pekerjaan tidak tetap, memang sering kali membuatku berada dalam situasi seperti ini. Namun seperti biasa, tak pernah ada rasa cemas atau khawatir melanda. Biasa-biasa saja. Bagiku, berada di bawah atau di atas, adalah lakon kehidupan yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus terus dijalani dengan ikhlas dan lapang dada. Menghela napas memang sering, tapi selebihnya, hari-hari kujalani dengan sukacita, apa adanya.

Sepanjang jalan itu pula, aku bergumam lirih, nyaris serupa bisikan yang hanya mampu didengar olehku sendiri, “Allah, kutitipkan semua pada-Mu. Hanya pada-Mu. Kutitipkan keluargaku, orangtua dan anak-anakku hari ini, seperti kemarin, juga hari-hari yang akan datang.”

Tiba di lokasi acara, Grha Wiksa Praniti, Pusat Litbang Puskim di Jalan Turangga, Bandung, baru 9 menit lewat dari pukul 7.00. Masih terlalu pagi, meski tadi sempat menghadapi kemacetan yang lumayan panjang di daerah Bypass, Soekarno Hatta. Aku memutuskan untuk membeli sebotol air minum agar selembar ratusan ribu di dalam tas bisa pecah menjadi beberapa lembar dan sebagian bisa aku bayarkan ke Pak Iyus sebagai ongkos ojeg.

“Aduh, Ibu, banyak sekali. Kan ibu lagi nggak punya uang. Simpan saja, buat ongkos ibu pulang. Saya nggak usah dibayar,” celetuk Pak Iyus saat aku sodorkan beberapa lembar puluhan ribu itu.

“Udah, udah, nggak usah banyak omong, sana pulang, ntar nggak kebagian penumpang lho di Pangkalan!” seruku sambil meraih ransel dari tangan Pak Iyus dan berlari masuk ke halaman.

“Hati-hati, Pak!” Seruku sambil membalas salamnya.

Tak sabar aku menanti acara dimulai, meski saat itu baru aku satu-satunya peserta yang sudah menjejakkan kaki di sana. Ritual acara-acara seperti ini sudah aku hapal di luar kepala: datang, registrasi, mengikuti acara, mencatat materi, menerima goodie bag dan konsumsi, pulang, dan kemudian menuliskan hasil reportase di blog masing-masing peserta.

Acara memang molor dan sangat terlambat dari jadwal. Aku yang datang sesuai instruksi, harus sabar menanti hingga acara dimulai lepas pukul 9.00. banyak Kompasianers Bandung yang datang, sebagian besar di antaranya adalah wajah-wajah yang sudah sangat familir untukku. Ketika acara dimulai, diumumkan bahwa dalam acara kali ini akan diadakan lomba nge-tweet dan lomba blog reportase dengan hadiah uang tunai jutaan rupiah. Woww, meski tidak ingat benar jumlah angka yang disebutkan, namun aku mendadak semangat untuk ikut lomba menulis reportasenya.

Tapi semangat untuk belajar ngeblog dan belajar menulis reportase ala blogger jauh lebih besar buatku dibanding menang lomba. Maklum, sudah nyaris lima tahun berlalu sejak aku memutuskan “pensiun dini” dari profesi jurnalis, terjun bebas menulis buku-buku berisi kisah inspiratif dan banyak buku non-fiksi, dan merasa tergagap ketika harus kembali menulis sebuah reportase meski hanya beberapa baris artikel saja.

Tidak membawa buku catatan, itulah alasan mengapa aku memutuskan untuk menuliskan poin-poin singkat dari materi kegiatan hari ini ke dalam twit-twit di akun Twitter-ku. Cara ini sangat efektif buatku yang memiliki Short Term Memory Loss Syndrome (Soal penyakit yang satu ini, silakan jelajahi saja mister gugel ya). Karena ada lomba nge-tweet, sekalian saja aku tulis di Twitter. Menang ya Alhamdulillah, nggak juga nggak apa-apa, toh poin-poin yang kutulis di sana nanti akan sangat membantuku mengingat saat hendak menulis reportasenya.

Jadilah, aku duduk tenang di deretan paling depan dengan dua mata dan konsentrasi terfokus pada materi yang disampaikan oleh para narasumber dari Pusat Litbang Puskim, sementara jari-jemariku lincah menari-menari di atas keypad hape.

Poin demi poin kutulis, meski banyak di antaranya tercecer tak mampu kutangkap secepat kilat karena pemaparan yang disampaikan begitu cepat sementara kapasitas ingatanku sedang ada di titik terendah. Awalnya blank, merasa tidak “nyambung” dengan materi yang akan disampaikan.

“Kebijakan Pemukiman? RISHA? Teknologi Pengolahan Air Limbah? Drainase? Subreservoir? Ada materi tentang MCK pula? Itu apaan sih?” aku yang menekuni ilmu sosial saat di SMA dan ilmu hukum saat kuliah dulu tentu sama sekali tidak bisa membayangkan semua materi itu.

Tapi, Subhanallah, ternyata materinya sangat menarik! Beragam teknologi yang diuji coba oleh Kementerian PUPR melalu Pusat Litbang Puskim ini, membuat “Jiwa Kepo”ku meluncur keluar begitu saja. Rumah Instan SederHana Sehat (RISHA), juga menjadi salah satu materi yang sangat aku pantengin tanpa jeda. Tanpa sadar, aku lupa entah berapa banyak tweet yang ku-posting di akun Twitter-ku. Jariku terus mengetik dan berusaha menangkap semua materi dengan kapasitas otakku yang pas-pasan ini.

Kunjungan kami para peserta dari Kompasiana Bandung ke Workshop RISHA di Kampung Sindang Pakuon, Desa Cimanggu, Sumedang, juga kuikuti sepenuh semangat meski keringat mengucur deras di seluruh tubuhku yang terseok harus berjalan menanjak menurun sambil membawa ransel sedemikian berat di punggungku.

Di akhir kegiatan, sebelum bertolak pulang ke Bandung, sebuah keajaiban rupanya menantiku. Tanpa diduga, aku terpilih sebagai pemenang kedua lomba nge-tweet! Ya, ya, ya, pemenang pertamanya jangan ditanya, siapa lagi kalau bukan Bang Aswi yang kondang itu. Beliau mah rajanya, tidak terkalahkan! (He he he). Dalam perjalanan pulang, Teh Meta, salah satu peserta iseng menghitung jumlah tweet yang ku-posting.

“Gileee... 60 tweet! Pantes aja menang!” serunya, yang kubalas dengan seruan, “Hah, Masa, Teh? Yang bener?”

Malu-malu aku jelaskan bahwa aku punya penyakit STML, dan menurut saran dokter, aku harus rajin menulis apa-apa yang harus kuingat ke dalam media yang bisa selalu aku pantau. Dan menulis di medsos adalah sarana serta obat terbaik bagiku untuk mengingat segalanya.

Alhamdulillah, Pose Cantik Dulu di Depan MCK Percontohan (Foto Dok. Pribadi)

Selepas Kompasiana Bandung meresmikan dirinya di Taman Film, aku dan beberapa sahabat kompasianers Bandung memutuskan untuk sejenak melepas lelah di Food Court Baltos. Menikmati seporsi sop buah beramai-ramai dan tentu saja, semangkuk Seblak Super Pedas di sana. Tanpa diniati, saat berada di toilet untuk meringankan kandung kemihku, iseng kubuka amplop bertuliskan KOMPASIANA yang sejak di Sumedang tadi tersimpan rapi di tas.

Jangan ditanya, bagaimana perasaanku saat tahu berapa isinya.

Tepat 800 ribu rupiah! Ya, D-e-l-a-p-a-n-R-a-t-u-s-R-i-b-u-R-u-p-i-a-h.

Gemetar tanganku saat memasukkan kembali amplop ke dalam tas. Tanpa sadar, air mata menetes deras. Untung aku masih ada di bilik toilet. Cepat aku keluar dan membasuh wajahku agar air mata itu hilang.

Setiba di rumah, langsung kuhampiri Mamah di kamarnya sambil menyodorkan amplop.

“Apa ini?” tanya Mamah.

Tanpa bicara apa pun, kukeluarkan isinya dan kujejerkan di depannya.

“Ini 500 untuk lunasin hutang ke koperasi, 150 untuk bayar SPP Rayna, dan 150 lagi untuk bayar abodemen ojeg Pak Iyus.”

Mamah melongo. Aku mbrebes mili.

“Kamu sendiri punya pegangan nggak? Ini uang apa?”

“Pokoknya uang halal. Tadi Teteh menang hadiah nge-tweet, ternyata pas 800 ribu. Rezeki dari Allah, Mah. Teteh nggak punya uang lagi, Cuma sisa 25 ribu buat ongkos besok. Insya Allah nanti cari lagi.”

Mamah memelukku sangat erat.

“Allah sayang sama kamu, Neng.”

Aku tergugu.

“Oh iya, Mah. Tadi di jalan, ada yang nelepon. Order Rendang Kemasan Restumande sama Bumbu Padang, total belanjanya satu jutaan. Pas sesuai target harian jualanku. Baru kali ini Teteh bisa menuhin target.”

“Terus, kamu ambil untung nggak dari penjualan itu?”

Aku menggeleng.

“Nggak, Mah. Kan Teteh udah janji sama Mamah, niat Teteh cuma ngebantuin aja, sambil belajar jualan.”

Mamah mengangguk-angguk puas.

“Bagus. Dan ternyata, Allah yang kasih kamu keuntungan di awal. Ini nih,” ujarnya sambil melambaikan lembaran-lembaran rupiah yang sedari tadi digenggamnya.

Kerongkonganku terasa tercekat. Lebih lama lagi ada di dekat Mamah, bisa-bisa aku mewek jelek. Akhirnya aku buru-buru pamit masuk kamar.

“Iya, sana bebersih. Ambil wudhu terus shalat. Banyak-banyak bersyukur dan berterima kasih sama Allah. Eeeeeeh, tunggu dulu! Tadi kamu bilang lomba nge-tweet? Itu lomba apaan? Mamah baru denger!”

Sambil menutup pintu kamar Mamah, aku teriak, “Besok tanya sama Rayna ajah!”

Sambil menuliskan kisah ini, mataku terus saja membasah. Berkali-kali kubilang, “Allah sangat sayang sama aku. Maluuu rasanya!” Allah telah memenuhi janji-NYA kepadaku, satu di antara serakan manusia di bumi, sementara rasanya masih banyak dosa yang kulakukan. Allah telah menjaga titipanku dengan segala kemahakuasaan-Nya.

Siapa yang menjamin rizki kita? Tentu kita semua sepakat menjawab bahwa Allah yang Maha Kayalah yang menjaminnya. Namun, banyak manusia belum yakin akan janji Allah. Berapa banyak di antara kita yang terselip di hatinya keraguan, “Apa besok aku bisa dapat rizki? Dari mana aku harus mencari rizki? Kapan Allah akan memberiku rizki?”

Kita seringkali terlupa, bahwa Allah lah SATU-SATUNYA penjamin rizki bagi manusia, dan Allah sangat tahu kebutuhan kita, lebih dari yang kita tahu.

“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3)


“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah.”
(QS. Saba’: 24)

Kejadian hari ini adalah salah satunya. Matematika Allah sangat hebat. Kuncinya hanya PERCAYA bahwa ALLAH MAMPU. Ketika kita sudah PERCAYA, takkan ada lagi keraguan. Tak akan ada lagi bimbang dan cemas, apalagi khawatir berlebihan. Ketika kita sudah berusaha, Allah akan memberikan rizkinya dari arah yang tak diduga-duga.

Tadi sore, sahabat Tian dan Efi berujar, “Rizki manusia memang tak akan tertukar ya, Teh.” Aku mengamini pendapat mereka, seraya menambahkan dalam hati, “Dan selalu tiba di saat yang tepat. TIDAK PERNAH TERLAMPAU CEPAT ATAU TERLAMBAT SEDETIK PUN.”

Maka, nikmat Allah manakah yang harus aku dustakan?

Akhirnya, kututup malam dengan sebait harapan, “Allah, kutitipkan kembali keluargaku padaMu, kemarin, hari ini, dan kemudian hari.”

(Terima kasih kepada keluarga besar Kompasiana, Kompasiana Bandung, BloggerBDG, dan para sahabat, Hatur Nuhun Pisan!)

14310269511525007766
14310269511525007766
KBandung, Juara! (Foto Dok. Pribadi)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun