Mohon tunggu...
Lydia Tesaloni Mangunsong
Lydia Tesaloni Mangunsong Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Amatir

Tadinya mau jadi penulis novel. Tapi nggak jadi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Zonasi PPDB Banyak Masalah, Regulasi Jangan Cuma Soal Impian

29 Desember 2022   20:13 Diperbarui: 31 Desember 2022   12:15 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: (KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA)

Keluhan sistem zonasi rasa-rasanya bukan lagu baru di kalangan siswa-siswi sekolah menengah. Semenjak masih menjadi peserta, saya dan teman-teman dari berbagai angkatan sudah seringkali mempertanyakan banyak hal terkait sistem yang diimpikan mampu memeratakan mutu pendidikan di Indonesia ini. 

Yah, impian memang seringnya menjadi landasan tujuan suatu hal dirancang. Dalam hal ini, pemerintah mengimpikan pemerataan bagi siswa-siswi Indonesia: jangan ada lagi sekolah favorit atau murid favorit yang akhirnya mendiskriminasi dan mengecilkan peluang akses pendidikan berkualitas bagi pihak-pihak yang bukan favorit. 

Penerapan sistem zonasi sebagai salah satu upaya mencapai impiannya pun diterapkan pemerintah. Sistem zonasi mengurutkan persentase peluang diterima di sekolah negeri berdasarkan usia dan jarak rumah ke sekolah.

Hal ini, seperti telah disebutkan, bertujuan agar sekolah negeri tidak homogen dan berpeluang menciptakan diskriminasi terhadap sekolah lain. 

Namun, impian yang tinggi sekelas memeratakan pendidikan satu negara memang tidak akan mudah dicapai. Akan banyak lika-liku perjuangan dan perdebatan dari banyak pihak.

Sebagaimana diakui oleh pemerintah pusat sendiri, upaya ini tidak akan berjalan dengan mudah. Jika melihat dari segi mutu sekolah di tiap daerah, tidak bisa dielak kalau sarana dan prasarana serta kualitas tenaga pendidik yang ada masih belum merata.

Sejumlah siswa masih tidak terfasilitasi dengan baik di sekolahnya: bahan belajar yang minim, prasarana yang kurang menunjang kenyamanan, bahkan guru yang tidak bisa mengajar dengan baik. 

Murid Rata, Pengajar Timpang

Melihat lebih dekat, sejumlah siswa mengaku masih ada guru yang mendiskriminasi muridnya sendiri. Hal ini biasanya terjadi di sekolah-sekolah yang citranya sudah lebih dulu terkenal sebagai sekolah favorit. Siswa-siswi yang masuk lewat sistem zonasi dianggap tidak sebanding dengan siswa-siswi yang masuk lewat sistem prestasi, misalnya. 

Perkara lain datang ketika tenaga pendidik tidak mampu mengajar siswa dengan tingkat kemampuan berbeda. Ada kasus di mana guru terbiasa mengajar kepada murid-murid yang cepat tangkap sehingga sebagian murid yang lebih perlahan proses belajarnya merasa tertinggal jauh. 

Kemudian di kasus lain, guru terbiasa mengajar dengan proses dan progres yang perlahan membuat murid-murid yang lebih cepat tangkap merasa tidak diajar dengan baik.

Hal ini lantas membawa dampak domino kepada semangat belajar siswa. Mereka merasa kegiatan belajar yang dijalani tidak sesuai dengan kemampuannya. 

Hal tersebut tentunya sangat disayangkan ketika tenaga pendidik sendiri belum mampu menangani murid yang heterogen. Sekaligus membuktikan pula bahwa pemerataan siswa demi menghilangkan ketimpangan kualitas antar sekolah sama sekali tidak ditunjang dengan persiapan yang matang. 

Impikan Pemerataan Tapi Kuota SNM Tidak Rata

Belum lagi soal akses pendidikan lanjutan, dalam hal ini perguruan tinggi. Seleksi masuk perguruan tinggi negeri jalur undangan (SNMPTN) belum menerapkan sistem yang merata juga. Persentase kuota bagi tiap sekolah nyatanya masih bergantung pada akreditas sekolah. Hal ini jelas bertentangan dengan pemerataan yang digadang-gadang itu. 

Suatu kali saya bertemu murid tingkat akhir SMA bersama ibunya, mereka hendak mendaftar di sebuah lembaga bimbingan belajar (bimbel) yang belum terlalu besar.

Sang ibu mengungkapkan rasa syukurnya atas harga murah yang ditawarkan bimbel tersebut. Sembari itu, ia menceritakan bahwa sesungguhnya sang anak sangat pintar tetapi tidak terfasilitasi dengan baik di sekolahnya. 

Usut punya usut, ternyata murid tersebut pernah berpindah sekolah sekali. Sekolah awalnya adalah SMA swasta yang sesuai kantong keluarga. Di SMA swasta itu, tenaga pengajar tidak memberikan nilai yang sesuai dengan kemampuan sang murid. Tidak peduli sebagus apapun hasil ujiannya, nilai yang tertera di rapor selalu pas-pasan. 

Hal tersebut menjadi kekhawatiran sang murid karena sejak awal ia telah berusaha untuk mendapat nilai terbaik di rapor. Ia tahu benar nilai rapor yang baik bisa menjadi jalan baginya memasuki perguruan tinggi negeri dengan jalur SNMPTN.

Sesuai dugaan, murid ini mesti mengenyam dua belas bulan di SMA swasta gara-gara sistem zonasi PPDB. Kartu keluarganya yang diperbarui tak lama sebelum pendaftaran PPDB tidak memungkinkan ia untuk mendaftar di sekolah-sekolah negeri tempat tinggalnya saat itu. 

Setelah setahun, sang ibu memindahkan anaknya ke sekolah negeri demi mendapatkan peluang SNMPTN yang lebih baik. Namun perkara nilai rapor pas-pasan itu, murid ini pun hanya bisa masuk SMA negeri yang kuota SNMPTN-nya tidak banyak. Persaingan menjadi lebih ketat bagi sang murid sementara para pesaing terfasilitasi secara ekonomi untuk mengikuti bimbel-bimbel beken. 

Dalam hal ini, mungkin pemerintah pusat menjadikan regulasi sistem zonasi sebagai tekanan terhadap pemerintah daerah agar membenahi ketidakmerataan mutu sekolah.

Namun agaknya, hal ini menjadi terlalu kejam bagi siswa. Para siswa harus merasakan ketidakmerataan fasilitas padahal sudah dipaksa tersebar secara merata. 

Mereka tidak mendapatkan hal yang sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Tentunya akan menjadi lebih baik jika pemerintah dapat membenahi secara merata terlebih dahulu tiap-tiap sekolah sebelum menyebar para siswa yang heterogen. 

Terlalu banyak hal yang belum cukup menunjang sistem zonasi sebagai upaya pemerataan pendidikan di Indonesia. Hal ini baiknya dibenahi lebih serius oleh pemerintah. Menurunkan persentase sistem zonasi tidak cukup ketika sekolah-sekolah yang ada (sebagai bagian paling penting dari isu pendidikan ini) belum mampu ditingkatkan dan diratakan kualitasnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun