Mohon tunggu...
Lydia Avry Inayah
Lydia Avry Inayah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Online Learning Communication Science '17

a flight attendant, a student, and full time mother.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Dear Ibu Baru, Singkirkan Sosok "Perfect Mom" Demi Kesehatan Mentalmu

6 Maret 2020   16:39 Diperbarui: 6 Maret 2020   21:55 2410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah mengandung dan melahirkan anak saya yang pertama, saya merasa pengalaman ini adalah titik kulminasi kemampuan dan kesabaran saya sebagai manusia. Clueless dan kurang tidur adalah dua kata kunci fase postpartum saya. 

Setiap hari saya bangun dari tidur yang paling banyak hanya dua jam untuk menyusui dan mengganti popok. Apa itu mandi? makan? Saya bahkan menggendong bayi saya saat menggunakan kamar mandi karena ia akan menangis keras saat tidak saya gendong.

Saya membayangkan fase postpartum ini dengan tidak realistis. Saya pernah membaca di Harper's Bazaar, 5 minggu setelah melahirkan, Heidi Klum melenggok di runway Victoria's Secret dan terlihat seksi seperti tidak terjadi major changes di tubuhnya pasca melahirkan. 

Padahal apa yang saya alami sama seperti Heidi. Kami mengandung dan melahirkan anak. Tapi kenapa saya masih gemuk, lusuh, dan bermata panda? Saya tahu persis kami memiliki nasib yang berbeda. Namun tidak bisa dipungkiri, kenyataan bahwa saya tidak seperti Heidi agak menyedihkan.

Pemulihan dari fase postpartum sangat menguras jiwa dan raga. Melahirkan pervaginam maupun caesarian, tubuh perempuan telah melalui cobaan yang berat. Apabila seseorang baru keluar dari rumah sakit setelah operasi besar, tentu saja ia butuh bantuan orang lain untuk merawat diri.

Celakanya, terdapat ekspektasi yang tak realistis bagi seorang ibu baru untuk langsung dapat merawat bayinya begitu selesai melahirkan. Banyak wanita yang walaupun setelah melahirkan bersemangat untuk kembali beraktivitas, namun fisiknya masih lemah dan tidak memungkinkan.

Di Indonesia, tidak ada hukum yang memberikan Sang Ayah cuti berbayar untuk mendampingi istrinya melahirkan dan menemani di saat postpartum. Tidak heran, tanpa dukungan yang mumpuni, kelelahan, kurang tidur, perubahan hormon, dan ekspektasi yang tidak realistis dari media dan masyarakat dapat membuat seorang ibu stres dan depresi.

Angka postpartum depression masih tinggi di Indonesia. Inipun tidak semuanya terdeteksi, karena stigma negatif "gila" yang membayangi apabila Si Ibu Baru mengaku mengalami depresi pasca melahirkan. Stigma ini, membuatnya ragu untuk mencari pertolongan.

Banyak wanita yang dipojokkan dengan ekspektasi yang tidak realistis ini untuk kembali cantik dan terawat seperti sebelum memiliki anak. Dalam pengalaman saya, semakin tinggi ekspektasi yang kita hadapi, semakin mudah bagi kita untuk merasa bahwa kita "gagal". Tidak seperti saat saat lain ketika goals justru malah memotivasi kita, minggu minggu pertama dengan bayi baru lahir adalah masa-masa yang tidak dapat kita kontrol.

Saya menghindari membuka sosial media selama ini, namun akhirnya suatu hari saya kalah juga dengan kekepoan saya. Saat scrolling Instagram, saya melihat posting seorang "mamagram" yang secara tidak sengaja memperlihatkan ruang tamu di rumahnya. Begitu rapi, begitu bersih. Semua mainan anaknya tertata dengan cantik di rak khusus. 

Saya melirik ke ruang tamu di rumah saya dan ... kondisinya sama sekali tidak instagrammable. Mainan anak berserakan, remot TV entah ke mana, bantal bantal sofa menumpuk, dan ... saya melirik lagi, oh, ada cucian yang belum disetrika. Sungguh berbanding terbalik dengan rumah Sang Mamagram.

Sosial media membuat orang orang sharing tentang kehidupannya yang telah difilter. Hidup ini sudah sulit, dan melihat kehidupan Mamagram lebih menyenangkan dibandingkan tumpukan cucian yang belum disetrika. 

Kita sudah sering melihat di majalah atau Instagram, supermom yang sedang mengandung begitu cantik dan anggun. Fotonya yang tersenyum di ruang bersalin. Rumahnya selalu bersih, rambutnya selalu rapi, dan ia langsung bisa memakai skinny jeans lamanya saat melahirkan. Siapapun dia, dia sempurna , ideal. Namun mustahil.

Inilah mengapa anggapan "the perfect mom" sangat krusial namun berbahaya untuk ibu baru. Karena sesungguhnya kita tahu, there is no such thing as perfect person. Just a highly filtered and curated life.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun