Mohon tunggu...
Lyanna Baihaqi
Lyanna Baihaqi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dilema Pelaksanaan Dokter Layanan Primer

20 Februari 2018   23:44 Diperbarui: 21 Februari 2018   09:09 1771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun Ibu Menteri Kesehatan menukaskan bahwa dokter layanan primer akan dibekali kemampuan lebih sehingga dapat melengkapi kemampuan dokter umum, IDI menegaskan bahwa pada dasarnya kompetensi yang dimiliki oleh dokter layanan primer adalah kompetensi yang terdapat dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia. IDI mengungkapkan bahwa semua kompetensi yang disusun untuk program studi Dokter Layanan Primer sudah diatur dan dicantumkan dalam SKDI sehingga dokter layanan primer dianggap tidak memiliki perbedaan yang jelas dari segi kompetensi.

Lebih lanjut, IDI menambahkan bahwa program studi Dokter Layanan Primer memiliki kemiripan sekitar 80 persen dengan program pendidikan spesialis dokter keluarga. Kemiripan ini akan menyebabkan lulusan dari program studi DLP tidak akan bisa melakukan praktik sebagai Dokter Layanan Primer karena salah satu syarat praktik yaitu Surat Tanda Registrasi (STR) tidak dapat dikeluarkan.

Selain mempermasalahkan kesamaan kompetensi antara DLP dengan dokter umum, IDI juga menganggap bahwa pelaksanaan program studi DLP ini akan memerlukan biaya yang sangat besar sehingga akan terjadi penambahan pengeluuaran pada APBN. Hal ini karena program studi DLP sendiri membutuhkan sekitar 30-50 tahun untuk melakukan simulasinya. Biaya itu pun belum termasuk biaya untuk para lulusan dokter umum baru setiap tahunnya.

Dari sisi pandang ini, IDI bersikeras bahwa pengadaan program studi DLP ini akan memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Sementara itu, hasil yang didapatkan tidak menjanjikan perubahan yang signifikan.

Adanya DLP juga berhubungan erat dengan rencana BPJS Kesehatan pada tahun 2019. Dijelaskan bahwa BPJS hanya akan menjalin kontrak dengan dokter layanan primer dan bukan dengan dokter umum. Dengan adanya pemberlakuan sistem seperti ini, maka dokter umum akan terpaksa mengikuti program studi Dokter Layanan Primer demi mempertahankan lapangan pekerjaan mereka. Padahal, dikatakan sebelumnya bahwa prodi DLP ini tidak bersifat memaksa dan merupakan pilihan dokter untuk meng-upgrade kompetensinya.

Pemberlakuan sistem ini pula akan menemukan banyak masalah. Masalah ini akan timbul oleh fakta bahwa kuota untuk program studi Dokter Layanan Primer ini pastinya terbatas per tahunnya. Dengan penandatanganan kontrak BPJS yang hanya dilakukan dengan dokter layanan primer saja, maka akan banyak dokter umum yang kesulitan dalam persaingan pekerjaan sementara mereka tidak mendapat kuota lagi untuk mengikuti program studi DLP tersebut.

Dari berbagai alasan yang mendasari ketidaksetujuan IDI terhadap eksekusi program studi DLP, terdapat beberapa pokok-pokok pemikiran dari IDI yang beberapa di antaranya adalah:

  • Untuk dapat melayani penduduk di seluruh Indonesia, maka prioritas Kementerian Kesehatan seharusnya meningkatkan kualitas dokter yang ada pada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). IDI menganggap menyekolahkan dokter-dokter umum dalam prodi DLP tidak akan efisien mengingat keubutuhan dokter umum pada FKTP mencapai 20 ribu orang.
  • Di beberapa FKTP tertentu, pelayanan kesehatan primer dianggap kurang bukan karena kurangnya kompetensi dokter. Namun, tingkat kualitas pelayanan kesehatan ini dipengaruhi secara signifikan oleh kualitas sarana dan prasarana yang masih kurang di beberapa FKTP. Oleh karena itu, kompetensi dokter bukanlah mutlak penyebab kurangnya kualitas pelayanan kesehatan pada tingkat primer melainkan ada faktor-faktor lain yang harus dipertimbangkan.

Dengan adanya berbagai pro dan kontra mengenai pelaksanaan program pendidikan Dokter Layanan Primer ini, logika dan pikiran yang terbuka haruslah dijadikan modal dalam melihat permasalahan ini. 

Tentunya, sebelum disahkannya suatu aturan, terlebih dahulu seharusnya hal tersebut dikaji secara mendalam dan meluas sehingga dapat menghasilkan keputusan yang dapat mengurangi atau meneyelesaikan masalah tanpa membuat masalah baru.

L.A.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun