Sudah cukup lama foto dan video sebuah pantai di Tuban berseliweran di beranda instagramku. Foto dan video tersebut menampilkan panorama matahari yang perlahan merambat menuju horizon cakrawala dengan memancarkan warna jingga yang hangat. Cahayanya memantul pada permukaan air laut, menimbulkan kilauan indah di atas air berombak. Pantai yang bernama Pantai Panduri ini memang sudah viral di sosial media beberapa waktu lalu.
Melihat pemandangan senja itu, dalam hatiku langsung terbersit keinginan berkunjung ke sana. Beberapa kali aku merencanakan pergi ke sana dengan teman, tetapi tak kunjung terealisasi karena berbagai kesibukan. Hingga pada akhirnya suatu pagi temanku berkeluh di grup WA kalau ia sedang senggang dan ingin jalan-jalan.
“Info dolan bolo!” (info jalan-jalan kawan!) begitu tulisnya.
“Mantai yuk, ke Pantai Panduri!” ajakku.
Dari situlah perjalanan kami mengejar senja ini bermula. Awalnya kami berencana tidak mau berangkat terlalu sore, pukul 16.00 WIB aku akan menjemput temanku dan langsung berangkat, begitulah kesepakatan kami. Namun, apa daya kebiasaan jam karet yang masih melekat, malah molor jadi pukul 17.20 WIB kami baru berangkat.
Perjalanan ke Pantai Panduri
Kami berkendara melintasi Jalan Raya Pantura Tuban – Semarang yang ramai dengan kendaraan besar. Ternyata perjalanan ke Pantai Panduri cukup lama, atau mungkin hanya perasaanku saja karena tidak sabar ingin cepat sampai. Di sepanjang perjalanan, aku terus memandang ke sudut barat daya, yang menampakkan sang surya perlahan bergerak menuju ke peraduannya. “Yaah, jangan dulu tenggelam dong matahari, aku belum sampai di Pantai Panduri,” harapku dalam hati.
Tak lama sayup-sayup kudengar kumandang adzan maghrib. Perlahan di ujung sana matahari makin tak nampak. “Waduh, mataharinya udah tenggelam,” gumamku.
“Kurang berapa kilo lagi ?” tanya temanku.
“Dua kilo lagi, nanti 500 meter di depan belok kanan,” jawabku sekaligus memberi arahan.
Begitu aku menjawab pertanyaannya, temanku segera menambah kecepatan motor. Dengan gesit ia menyalip di antara truk-truk bermuatan dan bus antar provinsi. Meski agak ngeri, tapi perjalanan ini cukup seru. Seperti perjalanan ke barat, tapi bukan untuk mencari kitab suci, melainkan mengejar senja di Pantai Panduri.
Setelah motor kami berbelok ke Jalan Syekh Subakir, aku sudah berpasrah karena matahari telah benar-benar tak terlihat. Jika memang tidak bisa melihat senja, setidaknya kunjungan ke pantai ini mengobati rasa penasaranku akan keindahan Pantai Panduri.
Lokasi Pantai Panduri berada di Dusun Awar-awar, Desa Tasikharjo, Kecamatan Jenu, Kabubapten Tuban. Masih lumayan dekat dengan kawasan pabrik petrokimia PT. TPPI, hanya berjarak sekitar tiga kilometer saja. Setelah berkendara kurang lebih setengah jam, kami akhirnya tiba di pintu masuk Pantai Panduri. Sebelum memasuki area parkiran, terlihat sebuah makam di sisi kanan jalan. Makam yang lumayan luas dan bersih, makam ini merupakan Makam Syekh Subakir.
Untuk memasuki kawasan pantai kami hanya dikenakan biaya parkir kendaraan saja sebesar Rp5000,-. Usai memarkir kendaraan, kami melangkah memasuki kawasan pantai. Sebuah gapura terbuat dari kayu bertuliskan ‘Pantai Panduri’ menyambut kami. Sebelum gapura, di sisi kanan dan kiri ada beberapa warung yang menyediakan aneka jajanan semacam mi instan dalam cup, minuman kemasan, hingga gorengan.
Setelah melewati gapura, di sebelah kiri, kami melihat area dengan deretan pohon cemara laut yang dikaitkan dengan hammock berbagai warna. Sedangkan di sisi kanan kami terdapat area camping ground yang telah dipenuhi banyak tenda yang berjejer rapi. Lampu-lampu neon menggantung di atas tenda-tenda itu.
Aku lupa kalau hari ini adalah malam minggu, pantas saja masih banyak pengunjung. Aku melihat beberapa orang memakai seragam organisasi. Kemungkinan mereka sedang mengadakan acara berkemah di sini. Kami terus berjalan menuju bibir pantai. Sebuah spanduk besar bertuliskan hari santri nasional tak jauh dari bibir pantai. Di depannya sebuah tenda pleton tegak berdiri. Oh, ternyata sedang ada acara peringatan hari santri, aku mengangguk-angguk mengerti.
Aroma Pantai Membangkitkan Kenangan
Aku melihat sekeliling pantai, ternyata langit masih cerah. “Yes, masih ada kesempatan melihat senja,” sorakku dalam hati. Nun jauh di sana terlihat kapal-kapal tongkang pengangkut minyak bumi berlalu lalang. Di sisi barat, kulihat sebuah dermaga yang nampak kecil, aku teringat kalau di sana juga ada sebuah pantai bernama Pantai Dermaga.
Semilir angin menerpa tubuhku, kuhirup udara dalam-dalam dan mengembuskannnya perlahan. Ah, aroma pantai ini sudah lama kurindukan. Sudah lama sekali rasanya tidak pergi ke pantai, sudah lama pula aku tak melihat birunya laut ataupun mendengar suara deburan ombak.
Merasakan suasana ini aku jadi teringat masa lalu, dulu sewaktu kuliah aku pergi ke pulau yang pantainya sangat indah bersama teman-teman komunitas. Menyelam bersama juga, lalu bermain bersama dengan anak-anak pulau setempat yang sangat antusias. Rasanya masa-masa itu mustahil untuk terulang kembali. Kini aku hanya bisa mengenangnya sebagai pengalaman yang berharga dan sangat aku syukuri karena pernah merasakannya.
Senja di Pantai Panduri
Sinar jingga yang perlahan muncul, menyadarkanku dari lamunan. Kutengok ke arah barat, senja yang kukejar akhirnya datang. Segera kutarik handphone-ku dari saku. Tak ingin melewatkan pemandangan cantik ini, aku harus mengabadikannya. Memang benar, seperti yang ada di instagram, senja di Pantai Panduri ini sangat memesona. Beberapa kapal nelayan yang terparkir di atas air berombak yang berkilau, juga menampakkan siluet yang indah.
Puas berfoto dan membuat video, kami pun hanya duduk santai menikmati suasana senja sore itu. Melepas kepergian matahari dan menyambut petang datang. Air laut di depan kami makin pasang, semakin lama bergerak makin mendekati kaki kami. Aku sebenarnya sudah gemas ingin bermain air, kalau saja kami datang lebih siang, pasti aku tak akan melewatkan berenang di pantai ini.
Sayangnya kali ini aku tidak bawa baju ganti, pun langit sudah makin gelap, tak ada yang berani berenang saat laut pasang seperti ini. Akhirnya aku hanya bisa melepas sendalku dan membiarkan air berombak itu menghantam kakiku.
“Yuk salat!” ajakan temanku itu, menginterupsiku untuk menyudahi aktivitasku bermain air.
Kami pun mencari mushola untuk melaksanakan Salat Maghrib. Usai salat di sebuah mushola yang terbuat dari bambu, kami lanjut mencari tempat untuk duduk. Kulihat lampu-lampu neon di atas tenda-tenda itu kini sudah menyala, menerangi mereka yang sedang berkemah.
Waktunya Pulang
Tak kunjung dapat tempat duduk yang pas, akhirnya kami singgah di sebuah warung di sebelah parkiran. Kami menghabiskan waktu dengan mengobrol dan menyeruput kuah mi dalam cup. Setelah perut kami terisi, meski agak enggan, tetapi sudah saatnya kami melakukan perjalanan pulang.
Pantai Panduri memang tempat yang pas untuk menghabiskan akhir pekan bersama keluarga atau teman. Berkemah di pantai ini pasti akan memberikan pengalaman tersendiri. Selain menawarkan panorama sunset yang memukau, pantai ini juga sangat terawat. Aku tak menemukan sampah-sampah yang berserakan sejauh aku menyusuri pantai ini
Tampaknya pokdarwis setempat patut mendapat apresiasi yang besar karena telah mengubah area yang dulunya semak belukar, kini menjadi pantai yang sangat cantik dan bersih. Meski tak memungut biaya untuk tiket masuk, fasilitas Pantai Panduri juga sangat lengkap. Tak heran, jika siapa saja yang berkunjung pasti akan merasa betah berlama-lama di sini.
Sebagai warga Tuban aku merasa bangga punya pantai yang indah ini. Suatu hari nanti, aku pastikan akan kembali lagi untuk berkunjung ke sini dengan lebih lama, pastinya tak akan lupa membawa baju ganti dan aku akan bermain air sepuasnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI