Mohon tunggu...
Lya Munawaroh
Lya Munawaroh Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Suka bertualang

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mendaki Gunung Ungaran via Curug Lawe Benowo, Jalur Terjal Diapit Jurang

15 Desember 2023   08:33 Diperbarui: 20 Desember 2023   18:53 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan dari Puncak Raiders/Dok. Pribadi

Semenjak kuliah di Semarang dan bergabung dengan UKM Mapala kampusku, Gunung Ungaran sudah menjadi playground buatku. Tempatku bermain, belajar, dan berlatih tentang ilmu petualangan di alam bebas. Hampir semua jalur pendakian Gunung Ungaran sudah aku jelajahi, hanya jalur pendakian via Mawar yang belum pernah aku coba.

Tak hanya jalur pendakian yang resmi, aku bersama teman-teman juga sering menyusuri jalur warga yang jarang diketahui pendaki. Di antaranya aku pernah mendaki Gunung Ungaran dari Desa Medono, Dukuh Indrakila, dan dari Curug Lawe Benowo Kalisidi. Yup, curug atau air terjun yang cukup terkenal bagi warga Semarang itu.

Nah, kali ini aku akan membagikan cerita perjalananku mendaki Gunung Ungaran dari Curug Lawe Benowo Kalisidi (CLBK).

Menuju Curug Lawe Benowo Kalisidi

Kamu mungkin baru tahu kalau dari Curug Lawe Benowo Kalisidi ternyata ada jalan menuju Gunung Ungaran. Jalur ini memang hanya beberapa kelompok pencinta alam dan penduduk lokal saja yang tahu. Karena jalurnya memang terlalu ekstrim dan berisiko jika dibuka untuk umum.

Namun, justru itu yang membuat kami penasaran untuk menjelajahinya. Lagi pula kami mendaki juga tidak asal mendaki. Pihak pengelola juga sudah tahu bahwa kami sering berlatih survival di Curug Lawe, sehingga mereka mudah memberikan kami izin. Pendakian ini dalam rangka latihan atau training center untuk calon atlet seven summits mapalaku. Dan kali ini aku bertugas mendampingi mereka.

Perjalanan kami mulai dari kampus menuju Curug Lawe Benowo Kalisidi. Kami berempat masing-masing di antar menggunakan motor. Perjalanan tidak terlalu lama, kira-kira hanya setengah jam. Kondisi jalan cukup menanjak dan mendekati curug aspal jalan sudah banyak mengelupas jadi cukup bergeronjal.

Sesampainya di Curug Lawe kami menuju loket untuk menyerahkan surat izin. Jika beruntung dengan membawa kenalan kami orang lokal sini, kami biasanya tidak perlu bayar tiket masuk. Namun karena kali ini tidak, maka kami harus bayar sebesar Rp8000 per orang. Kata petugasnya ada longsoran di jalur menuju curug, jadi kami tidak bisa lewat melalui tangga yang ada di samping tulisan CLBK di pintu masuk.

Akhirnya kami diantar oleh teman kami sedikit lebih maju ke depan, melewati jalan beton sejauh 400 meter yang diapit tanaman cengkeh. Begitu sampai di pintu masuk curug yang sementara dibuka selama tahap renovasi jalur, kami terlebih dulu melakukan pemanasan dan berdoa agar pendakian kali ini kami diberikan keselamatan dan kelancaran.

Para Calon Atlet/Dok. Pribadi
Para Calon Atlet/Dok. Pribadi

Mendaki Punggungan yang Diapit Jurang

Usai berdoa, sekita pukul 08.00 WIB kami memulai trekking. Kami menuruni tangga buatan warga dari bambu. Kemudian menyusuri trek yang sama seperti biasanya kalau mau ke curug. Sejauh ini masih aman dan lancar karena trek masih datar. Setelah melewati jembatan romantis dan rest area kami terus berjalan hingga sampailah kami di warung yang berada tepat di samping pecabangan antara jalur meuju Curug Lawe dan Curug Benowo.

Kami pun memilih jalur yang ke arah Curug Lawe. Sebenarnya meskipun dari Curug Benowo juga ada jalur ke atas menuju Gunung Ungaran. Namun, kami lebih memilih jalur dari Curug Lawe karena jalurnya lebih jelas dan tidak terlalu rapat. Sedangkan kalau dari Curug Benowo kami harus membabat jalur dulu. Kalau dari warung kami harus berjalan sedikit lagi untuk sampai di jalur menuju Gunung Ungaran.

Seingatku jalur ke atas itu ada di sebelah kiri jalan. Namun karena tanaman di samping kiri jalan sangat lebat aku agak sulit mengenali jalurnya yang mana. Untungnya salah satu dari kami ada yang ingat. Karena kami agak lelah, kami pun istirahat sejenak. Menghilangkan dahaga agar tidak dehidrasi, dan makan camilan untuk menambah energi. Kami teringat pesan penjaga loket tadi.

"Nanti pas naik, jangan sampai dilihat pengunjung lain ya, supaya nggak ada pengunjung lain yang ikut naik ke atas," begitu pesannya.

Kami mematuhi pesan tersebut. Sebelum naik kami pastikan tidak ada pengunjung yang lewat. Karena petunjuk arah menuju curug hanya di beberapa titik saja, maka tak jarang pengunjung yang pertama kali ke Curug Lawe biasanya mereka berjalan mengikuti pengunjung lain di depannya. 

Namun tidak semudah itu kami naik. Jalur telah tertutup semak-semak, sehingga harus dibabat dulu. Pula jalan setapak yang harus kita lalui sedikit longsor, kami akhirnya menggunakan webbing untuk membantu kami naik ke atas. Saat sudah berhasil naik, kami menutup kembali jalur dengan semak-semak yang telah kami babat.

Pendakian yang sesungguhnya benar-benar dimulai. Kami mulai menyusuri jalan setapak yang tidak terlalu curam, tetapi cukup membuatku ngos-ngosan. Kami harus hati-hati karena terkadang sisi kanan atau sisi kiri kami berupa jurang. Sejauh ini masih aman karena hanya salah satu sisi jalur yang berupa jurang. Kami sudah pernah lewat sini sebelumnya, jadi kami tahu setelah ini medan akan lebih menantang lagi.

Ketiga calon atlet berjalan lebih cepat dariku. Aku yang tidak bisa menyamakan langkah tertinggal jauh di belakang. Aku memang menyuruh mereka jalan lebih dulu. Karena pendakian ini adalah latihan untuk mereka, jadi mereka harus ada peningkatan dari latihan sebelumnya. Itu berarti mereka harus menyelesaikan pendakian sesingkat mungkin.

Sebenarnya aku sedikit malu sih, karena harusnya sebagai pendamping, setidaknya aku harus terus mengawal mereka bahkan kalau bisa lebih cepat dari mereka. Namun, kemampuan fisikku memang tak sekuat mereka, yang sudah bolak balik tektokan di Gunung Sumbing. Jadi ya sudahlah, yang lebih penting aku harus memastikan mereka benar-benar melakukan serangkaian latihan yang telah direncanakan. Pula menilai manajemen perjalanan dan kekompakan mereka.

Setelah berusaha mengejar mereka, tapi tetap masih tertinggal juga, aku akhirnya sampai di trek yang mulai menyempit dan menanjak, serta kanan kirinya berupa jurang yang sangat dalam. Belum lagi tanahnya yang terkadang gembur, aku hanya bisa mengandalkan akar-akar pohon yang melintang sebagai pijakan kaki. Aku harus sangat hati-hati, karena sedikit saja terpeleset, sudah beda alam. Inilah yang kumaksud jalur yang ekstrem, sangat tak ramah bagi orang umum.

Sesudah melalui trek yang ekstrem, aku sudah tidak lagi menjumpai jurang. Namun berganti dengan tanaman berduri di kanan dan kiri jalur. Ada juga pohon yang seperti pohon sagu, tapi daunnya memiliki duri-duri di sekelilingnya. Daunnya yang sudah kering menggelantung dan sebagian berserakan di tanah. Agar tidak terluka, aku benar-benar harus hati-hati dalam melangkah, juga tidak boleh sembarang memegang tanaman sebagai tumpuan.

Sayup-sayup kudengar suara Endang, perempuan satu-satunya di antara calon atlet berteriak memanggilku.

"Mbak Lyaaa! Aman mbak?"

"Aman aman, kalian lanjut aja!" sahutku.

Meskipun dalam hati, ngeri juga aku harus berjalan sendirian di belakang. Jadi berasa solo hiking saja. Tapi tak masalah, ini pengalaman yang seru dan menantang buatku. Aku pun lanjut berjalan lagi. Kali ini medannya tak sesulit tadi. Jalan setapak sudah lumayan lebar. Aku melihat percabangan jalur ke kiri. Terlihat tidak terlalu jelas karena tanaman setinggi perut sedikit menutupinya. Aku teringat jalur ke kiri tersebut adalah jalur yang mengarah ke Dukuh Indrakila, di Desa Lerep. Beberapa kali aku juga pernah lewat sana.

Sampai di Pos 4

Pos 4 Gili Tengah/Dok. Pribadi
Pos 4 Gili Tengah/Dok. Pribadi
Aku kembali berjalan dan sekarang sudah memasuki area hutan. Banyak pohon menjulang tinggi dengan daun yang rimbun menghalangi sinar matahari, sehingga tidak panas sekali malah terasa sangat sejuk. Angin menerpa tubuhku yang penuh keringat menambah hawa dingin merasuk kulit.

Medan semakin terjal, membuatku terengah-engah. Aku pun sering berhenti sebentar untuk mengatur napas. Sesekali aku berhenti agak lama untuk minum beberapa teguk air.

"Endaaang!"

"Ariii!"

"Upiiik!"

Aku berteriak memanggil para calon atlet, namun tidak ada sahutan sama sekali. Mungkin mereka sudah sangat jauh di depan, pikirku. Atau mereka sudah sampai di Promasan? Aku bertanya-tanya dalam hati. Ah ya sudahlah, aku terus jalan saja.

Tak terasa akhirnya aku sampai di Pos 4. Suatu area yang sedikit terbuka dengan terdapat satu pohon besar yang menjulang tinggi. Pos 4 ini lumayan luas setidaknya bisa muat untuk medirikan 5 hingga 7 tenda. Kalau kami naik dari jalur Indrakila, kami juga akan melalui pos ini.

Rupanya para calon atlet sudah menungguku di sini. Mereka sedang mengisi energi dengan makan camilan. Sudah lumayan lama mereka menungguku katanya. Karena aku sudah istirahat sebelum pos 4 tadi, aku mengajak mereka lanjut berjalan saja. Namun, tetap saja aku tertinggal di belakang. Jadi solo hiking lagi deh.

Mendaki Gunung Ungaran melalui jalur Curug Lawe ini, kami harus menuju ke Desa Promasan dulu. Nah, setelah di Promasan kami baru bisa mendaki Gunung Ungaran melalui jalur pendakian biasa via Promasan. Medan setelah pos 4 tak lebih mudah dari sebelumnya. Sebab medan berupa bukit yang curam dengan tanah gembur yang tertutup dedaunan kering. Saat melewatinya aku harus berpegangan pada rumput atau tanaman di kanan atau kiri agar bisa tegak menapakkan kaki.

Plang Penunjuk Arah Promasan/Dok. Pribadi
Plang Penunjuk Arah Promasan/Dok. Pribadi

Tiba di Desa Promasan

Sekitar pukul 11.30 WIB aku akhirnya tiba di Kebun Teh Promasan. Hamparan kebun teh yang luas dan Gunung Ungaran yang megah menyambutku. Akhirnyaaa, sampai juga di Promasan, syukurku dalam hati. Melihat pemandangan Gunung Ungaran yang indah, rasa capekku menjadi sirna. Meski sudah berkali-kali ke Promasan maupun menginjakkan kaki ke puncak Ungaran, aku tiada bosan dan selalu terpesona dengan ciptaan Tuhan yang luar biasa seperti ini. 

Pemandangan Gunung Ungaran dari Promasan/Dok. Pribadi
Pemandangan Gunung Ungaran dari Promasan/Dok. Pribadi

Puas menikmati keindahan kebun teh, aku bergegas menuju ke rumah Pak Min. Beliau adalah salah satu warga yang sudah akrab dengan para anggota mapalaku. Sudah tak terhitung berapa kali kami mengadakan kegiatan di Gunung Ungaran, dan rumah Pak Min selalu kami jadikan basecamp untuk menginap dan berkumpul. Meski sering kami repotkan, Pak Min sangat memaklumi dan menganggap kami layaknya anaknya sendiri.

"Makan dulu Mbak," kata Ari menawariku. Aku hanya mengangguk sambil melepas ransel.

Selepas mengayun-ayunkan kaki untuk mendinginkan otot-otot, aku langsung duduk berselonjor di samping mereka. Aku menatap mereka bertiga yang sedang memakan bekal makan siang.

"Nanti jam satu-an ke Puncak Raiders ya," kataku memberi informasi agenda selanjutnya.

Endang mengacungkan jempolnya dan menjawab "Siap Mbak."

Namun setelah mengatakan itu, aku kok jadi ragu. Kuat nggak ya aku ikutan naik ke puncak? Mungkin kalau kuat sih kuat kuat saja, tapi aku takut nanti keburu malam hari saat turun dari puncak. Tapi lihat nanti sajalah, yang penting makan dulu.

Menuju Puncak Banteng Raiders

Seberes makan siang dan menunaikan ibadah Sholat Dzuhur, kami langsung meluncur ke Puncak Raiders. Sebelumnya kami mengisi air dulu di Sendang Promasan untuk bekal muncak. Di Promasan terdapat sendang yang airnya sangat jernih. Selain jernih juga sangat segar kala diminum ataupun dibuat mandi. Nama sebenarnya adalah Sendang Pengilon berdasarkan tulisan di Situs Candi Promasan. Namun, banyak orang lebih sering menyebutnya Sendang Promasan.

Medan awal di jalur pendakian Via Promasan berupa bebatuan tersusun rapi yang diapit kebun teh, biasanya disebut jalan makadam. Setelah melewati makadam, kami mulai masuk area yang vegetasinya berupa tanaman yang lebih tinggi. Tak lama kami berjalan, kami sampai di Pos 1. Di Pos 1 ini di sebelah kiri ada percabangan ke jalur pendakian Mawar. Karena aku sudah merasa terlalu lelah, aku memutuskan menunggu di pos ini saja. Sedangkan para calon atlet harus menyelesaikan target pendakian mereka ke Puncak Raiders.

Sekitar pukul 16.00 WIB, Endang, Upik, dan Ari sudah kembali dari Puncak Raiders. Begitu melihat mereka, aku ikut mereka kembali ke rumah Pak Min. Kami berencana akan ke Puncak Raiders lagi besok, sebagai agenda terakhir training center ini. Malam harinya, calon atlet melaporkan hasil training center hari ini. Kemudian mengevaluasi kekurangan yang ada, dilanjutkan dengan sesi briefing untuk kegiatan besok.

Mejelang pagi, kala matahari belum terbit, kami sudah mulai berkemas. Selepas salat Subuh, kami memulai pendakian. Tak perlu membawa banyak barang, kami hanya membawa satu tas memuat jas hujan, air minum, dan camilan. Kami membawanya bergantian. Udara pagi hari di Promasan selalu terasa dingin, tapi tak sedingin saat malam hari. Makanya kami mendaki tetap menggunakan jaket.

Saat lewat di makadam, kami masih bersama-sama. Namun, ketika sudah mencapai Pos 1 jalanku mulai melambat. Yah mau bagaimana lagi, aku tidak bisa menyamakan ritme berjalan dengan yang lainnya. Akhirnya, sama seperti sebelumnya aku akan solo hiking lagi. Sepanjang trek pendakian via Promasan ini memang dominan jalan berbatu. Jarang sekali berupa tanah, sekalipun ada pasti sangat pendek. Trek akan kembali jalan berbatu, yang semakin ke atas batuannya semakin besar-besar. Begitu menguras tenaga karena jarang mendapat bonus medan yang datar.

Pertama kali aku lewat jalur ini, aku sangat kelelahan dan sulit mengatur napas. Sehingga kalau mengulang kembali kali ini, sebenarnya aku agak sedikit malas. Namun karena lumayan kangen sama Puncak Raiders, aku harus tetap mendaki meskipun malas, hehehe. Satu jam berlalu, sinar jingga dari sisi timur menyilaukan mataku. Aku berhenti sebentar mengabadikan momen sunrise.

Medan semakin terjal, bebatuan yang besar-besar menyulitkan aku melaluinya. Setelah berkali-kali berhenti sejenak untuk mengatur napas, aku akhirnya sampai di Puncak View Gunung Ungaran Via Mawar. Cuaca hari ini lumayan cerah, pemandangan yang terlihat makin luar biasa. Meskipun capek, melihat pemandangan bagus membuatku makin semangat mendaki. Masih satu puncak lagi harus aku lalui untuk menuju Puncak Banteng Raiders.

Perjalanan Menuju Puncak Banteng Raiders/Dok. Pribadi
Perjalanan Menuju Puncak Banteng Raiders/Dok. Pribadi

Sekitar pukul 08.00 WIB aku akhirnya tiba di Puncak Banteng Raiders. Kulihat para calon atlet sedang berfoto-foto dan membuat video untuk keperluan laporan. Aku pun istirahat sebentar dan segera bergabung dengan mereka meminta difotokan. Dari Puncak Banteng Raiders ini, kalau cuaca cerah seperti ini, kami bisa melihat deretan gunung-gunung lain yang tampak dari kejauhan. Begitu memesona dan memanjakan mata. Perjalanan melelahkan sebelumnya terasa terbayarkan.

Puncak Banteng Raiders/Dok. Pribadi
Puncak Banteng Raiders/Dok. Pribadi

Pemandangan dari Puncak Banteng Raiders/Dok. Pribadi
Pemandangan dari Puncak Banteng Raiders/Dok. Pribadi
Pemandangan dari Puncak Banteng Raiders/Dok. Pribadi
Pemandangan dari Puncak Banteng Raiders/Dok. Pribadi
Begitu puas berfoto, kami pun kembali ke rumah Pak Min. Begitu sampai rumah Pak Min kami langsung makan masakan anaknya Pak Min. Kami memang sengaja tidak sarapan sebelum mendaki tadi. Oh ya, di rumah Pak Min ini terdapat warung sembako yang lumayan lengkap. Pendaki yang belum membawa logistik, bisa membeli bekal pendakian di sini.

Selain warung sembako, Pak Min juga menyediakan makanan dan minuman. Tak usah khawatir jika ingin minuman dingin, di sini pun menjual es teh ataupun minuman kemasan lainnya. Selepas makan, sekitar pukul 11.00 WIB kami berpamitan pada Pak Min dan memulai perjalanan turun ke Curug Lawe. Perjalanan turun memang tak seberat yang sebelumnya, tapi kami harus tetap fokus dan hati-hati supaya selamat sampai rumah.

Perjalanan mendaki Gunung Ungaran kali ini terasa begitu menantang dan memberikan nuansa baru dari pendakianku yang lalu. Namun, semenantang bagaimanapun suatu petualangan, menjaga keselamatan adalah prioritas utama. Persiapan fisik yang prima, peralatan dan perlengkapan yang safety, serta pengetahuan tentang bertahan hidup di alam bebas, merupakan bekal yang harus dimiliki sebelum memulai petualangan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun