Tuk Bimalukar adalah sebuah mata air yang dipercaya sebagai hulu dari Sungai Serayu yang mengalir dari Wonosobo hingga ke laut Cilacap. Mata airnya terletak di bawah bangunan bertulisan tadi. Di sebelah mata air ada tangga yang menuju ke atas. Di sana terdapat tanaman bunga beraneka warna dan ada juga menara gardu pandang yang menjulang tinggi di ujung.
Dari sana kami bisa melihat pemandangan perbukitan hijau dan tulisan besar 'Dieng Banjarnegara'. Tidak perlu membayar untuk menikmati keindahan Dieng dari tempat ini ataupun mencoba kesegaran mata airnya.
Sampai di Dieng Negeri Atas Awan
Tak mau lama-lama, kami melanjutkan perjalanan, tak sampai lima menit motor menyusuri jalanan, akhirnya sampailah kami di tembok 'Welcome to Dieng Wonosobo'. Kami langsung memarkir motor dan berfoto-foto di sana. Paling heboh Bang Anam dan Bang Akmal yang mengabadikan vespa mereka di depan tembok ini. Memang keren, vespanya dari Lampung sudah bisa sampai Dieng.
Hari menjelang malam, kami bergegas berkendara lagi. Tujuan kami adalah rumah Ferdian di daerah Pejawaran. Matahari mulai meyingsing, langit berangsur dari biru cerah perlahan menjadi gelap. Udara yang menerpa tubuh kian dingin.
Sebenarnya sekitar 40 menitan atau sekitar 20 km lagi kami bisa sampai ke rumahnya. Namun Ferdian mengajak kami mampir ke pemandian air panas dulu se sembari menunggu tiga teman yang dalam perjalanan menyusul kami. Sayangnya pemandian perempuan tidak bisa digunakan. Akhirnya hanya yang laki-laki yang bisa berendam, sedangkan aku hanya bisa menunggu dengan makan pop mie.
Tak lama, ketiga teman yang menyusul kami sudah sampai. Mereka bergabung denganku ikut menunggu. Sehabis adzan Isya, para lelaki sudah beres mandi. Kami berkumpul dan bergegas melanjutkan perjalanan kembali. Meski vespa Bang Anam sempat mogok lagi, tetapi hanya sebentar dan perjalanan berjalan lancar hingga sampailah kami di rumah Ferdian.
Bermalam di Pejawaran Banjarnegara
Kami disambut hangat dipersilahkan masuk oleh Ibu Ferdian. Kami hanya berbincang sebentar dengannya, karena waktu itu sudah terlalu malam. Jadi kami dipersilahkan langsung istirahat di ruangan lantai dua. Akhirnya, kami bisa rebahan juga setelah menempuh perjalanan beberapa jam. Walaupun menemui beberapa hambatan, perjalanan ke Dieng tidak pernah membosankan karena pemandangan indah di sepanjang jalan yang memanjakan mata.
Keesokan harinya kami bangun lebih awal, bergantian mandi bersiap untuk Salat Ied. Seperti Dieng, udara di Pejawaran itu sama dinginnya. Jadi bisa dibayangkan betapa dinginnya ketika mandi subuh-subuh di sana, hampir semua dari kami menggigil.
Namun mandi termasuk cara aklimatisasi, jadi biarpun menggigil setelahnya kami tak merasa sedingin sebelumnya. Seharian itu setelah sholat ied, kami menghabiskan waktu dengan memasak rendang dan malam harinya kami menikmati sate buatan sendiri sampai sepuasnya. Benar-benar nikmat.
Desa Sembungan Tertinggi di Pulau Jawa
Esok hari kami beranjak dari rumah Ferdian menuju Tebing Watu Gribig. Kalau dari Pejawaran membutuhkan waktu satu setengah jam atau 41 km perjalanan untuk sampai di sana. Namun, ditengah perjalanan Bang Akmal meminta di antar ke bengkel terdekat agar nanti waktu pulang ke Semarang vespanya tidak mogok lagi. Ferdian dan aku pun menemaninya mencari bengkel, sedangkan teman-teman yang lain menuju lokasi lebih dulu.
Bengkel terdekat ternyata lumayan jauh, sepanjang jalan kami belum menemui pemukiman apalagi bengkel. Hingga akhirnya kami sampai di Desa Sembungan. Sebenarnya desa ini hanya berjarak enam kilometer dari Tebing Watu Gribig, tetapi kami dari Pejawaran jadi terasa sangat jauh karena berlawanan arah dengan jalan menuju tebing. Desa Sembungan adalah desa tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian 2300 mdpl, itu berarti lebih tinggi dari Gunung Ungaran. Pantas saja begitu tiba, udara dingin dan kabut langsung menyambut kami. Tak heran jika para warga terus memakai jaket meski beraktivitas di siang hari.
Serunya Rock Climbing di Tebing Watu Gribig