Mohon tunggu...
Herlya Inda
Herlya Inda Mohon Tunggu... Administrasi - Momhomeschooler

I am the ordinary mom, love Kids, Playing, sometimes writing bout me & Kids activity and homeschooling. visit my blog at https://www.herlyaa.com/

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Antara Kisah Kentongan, Buku Sakti, Pelukan Hangat, dan Sandal yang Berakhir di Masjid Zainuddin MZ

12 Mei 2020   08:42 Diperbarui: 14 Mei 2020   16:20 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sarung dan Ninja (sumber: brilio.net)

Assalamualaikum..., Selamat menjalankan puasa Ramadan buat Kamu yang lagi puasa ya... :)

Kali ini aku pengen cerita kisah Ramadhan waktu masa kecil era 90-an. Yang umurnya sudah menjelang tua, boleh ikutan bareng sama aku gabung di sini. Kita nostalgia. Yang berasa masih muda, tetap boleh dong... biar tahu kisah puasa kita-kita era 90-an sama gak dengan kamu? *Hohohohihuy....

Gara-gara kentongan sahur

Waktu kecil dulu, inget banget, pas bulan puasa selalu ada gerombolan anak-anak rame yang keliling bawa kentongan sambil teriak "Sahur...sahurr..." Entah kenapa tiap lewat dekat rumah aku, itu rombongan sudah mulai sahut-sahutan jam 1 pagi. Kebayang kan ya, betapa kagetnya pas lagi enak-enak tidur suara nyaring fals membahana ke seluruh liang telinga?

Sangking kagetnya, aku mesti kebangun di jam itu. Tapi berhubung belum siap makanannya, jadilah ngadem di kamar sambil menunggu panggilan mama tersayang. Biasanya sih, baru mulai reda suaranya rame-rame sekitaran pukul 3 pagi. Nah, baru tuh mata mulai lengket lagi seperti dioles lem Aibon sekaleng.

Baru juga berasa mejem, tiba-tiba...,"Dek, bangun....sahur..,"

Dengan mata masih setengah lengket, akupun meraba jalan menuju meja makan. Segera makan dengan harapan bisa segera kembali tidur.

"Mau ke mana? Jangan tidur lagi, subuh dulu", Dan perintah mama memang tak terbantahkan. Akupun tertahan tidak boleh ke kamar hingga adzan subuh berkumandang.

Pas ambil wudhu, dah hilang itu lengketan mata, rasanya segar seketika. Setelah sholat subuh, akupun langsung beres-beres cuci piring dan siap-siap pergi sekolah. Ketika baru sampai sekolah, rasanya masih aman.

Tapi setiap mendekati jam 10 pagi, mata mulai kumat kembali lengket. Alhasil dijam yang sama, aku pergi ke ruang UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) dengan wajah memelas. Voila! Berhasil selalu mendapat salah satu tempat tidurnya buat berbaring. Memang sesuatu deh!

Gak tau juga kenapa aku selalu diijinkan sama Guru yang piket di UKS. Dan berhubung gurunya ganti-ganti, jadi akunya selow datang setiap hari. Hingga suatu hari masuk Minggu ke dua, seorang guru yang pernah sebelumnya jaga, bicara sesuatu saat aku permisi mau masuk kembali ke kelas.

Sambil berbisik, Ibu Guru itu bilang, "Lya... Ngoroknya tadi gede banget...kamu ijin pulang aja sekalian tidur di rumah, nanti dibuatin surat keterangan,"

Sebagai wanita terhormat, rasanya pengen segera ambil kantong plastik item buat nutupin muka. Sambil menahan malu, setengah berlari aku menuju kelas. Sejak itu aku gak pernah kembali lagi ke UKS untuk waktu yang lama dan lebih memilih memejamkan mata sesaat di pojokan kelas sambil menunggu guru masuk kelas. *Hehee....

Buku Ramadan Tersayang

Yang muda di era 90-an mesti tahu sama kewajiban anak sekolah pas lagi bulan Ramadan. Yup! Tandatangan buku setoran ramadan.

Buku Ramadan (sumber: idntimes)
Buku Ramadan (sumber: idntimes)

Dengan kewajiban yang sama, artinya setiap sekolah dengan berbagai tingkatan wajib punya buku setoran. Meskipun masjid tersebar di seantero jagad raya, setiap akhir sholat tarawih biasanya di setiap masjid bakalan numpuk dengan anak-anak sekolahan yang berebutan buat minta tandatangan Imam dan Penceramah. Termasuk aku, si anak baik-baik dan berprestasi di sekolah *cihuy

Gak mau ada sedikitpun kolom yang bolong, hari itu berencana meminta tandatangan lima kali alias untuk lima hari karena hari-hari sebelumnya aku tidak sholat tarawih disebabkan mendapatkan 'bendera Jepang'. Entah mengapa perasaan malu menyeruak muncul jika mendapat hari istimewa, bisa jadi saat itu anak perempuan masih pada lugu ya?

Dengan semangat membara, akupun mulai melangkah, nyelip diantara anak lainnya. Beruntung punya badan mungil, bisa nyempil dengan gesit.

Berhasil mendapat tanda tangan sekali, aku kembali meluncurkan serangan. "Heran juga itu Imam ga sadar apa ya, tanda tangan diatasnya punya beliau? Apa karena sudah terlalu banyak, jadinya beliau udah gak peduli lagi?"

Dan aku pun berhasil mendapatkan semua tandatangan yang diinginkan. Namun, ketika saatnya minta tandatangan penceramah, untuk yang kedua kali, setelah menunggu cukup lama, namaku tidak dipanggil-panggil.

"Jangan-jangan bukuku tertumpuk dengan buku yang lain ya?" Pikirku.

Sabar menunggu, saat anak-anak lain mulai bubar, aku baru dipanggil dan bukuku dikembalikan, tanpa omongan. "Yah.., tadi baru dua kali. Gimana ini?" Ujarku dalam hati.

Sesampainya di rumah, setelah menyusun mukena, aku langsung lihat buku setoran. Dan taraaa... Bukan hanya tiga kali bagian penceramah yang tidak ditandatangani, namun empat kali. Selain itu, tandatangan Imam yang sudah di buat, di coret oleh beliau. "Haduuhh....seketika cap anak baik-baik sedikit berkurang kadarnya..."

Coretan penceramah, akhirnya aku tip-ex. "Ahh...sia-sia rasanya bolak balik minta tanda tangan Imam berdesakan diantara keringat yang bercucuran."

Tidak habis akal, akupun merayu papa untuk tanda tangan. Papa memang is the best pokoknya. Tanpa bertanya, papa mau langsung tandatangan. Tapi..., kok diujung tanda tangannya ada tulisan kecil digaris bawahi?

Kudekatkan mata agar terlihat jelas, dan ternyata tulisannya adalah SEDANG HAID. "Yaahhh..., papaa....!"

Peluk Abang Lain

Punya Abang itu rasanya menyenangkan. Kalau ada apa-apa bisa mengadu kapanpun. Sebagai adik perempuan, aku merasa terlindungi. Sebut saja nama abang, dijamin anak laki-laki gak akan berani gangguin.

Hari itu, seperti malam-malam sebelumnya, aku berangkat tarawih. Abang biasanya sudah lebih dulu ke Masjid bersama teman-temannya. Anak laki-laki saat itu seringkali lebih rajin karena mau bermain dulu. Entah apa-apa saja permainannya, lempar sendal, petasan bambu hingga tarung sarung.

Tidak seperti kami yang biasanya hanya duduk dan ngobrol-ngobrol sambil menunggu waktu sholat, termasuk saat ceramah tarawih dimulai. Karena waktunya agak lama, biasanya anak laki-laki kembali keluar masjid untuk bermain. Sementara kami anak perempuan yang biasanya rajin mencatat isi ceramah hingga sholat tarawih dimulai.

Saat aku sedang serius mencatat, seorang anak laki-laki mengambil buku Ramadanku dan membawanya lari keluar. Tidak mau rusak, aku segera keluar dan mengejar. Kesulitan mengejar, akupun mengadu kepada Abang. 

Kulihat tidak jauh Abang menggunakan kostum sarung ala ninja, sedang bermain tarung sarung bersama temannya. Aku panggil-panggil, Abang tidak menoleh. Takut kena sarung yang dipecat, aku berlari dan langsung memeluk Abang dari belakang.

Sarung dan Ninja (sumber: brilio.net)
Sarung dan Ninja (sumber: brilio.net)

"Bang, ada yang gangguin, ambil buku. Tolong Bang..."

Tarung sarung dihentikan, akupun melepas pelukanku sambil menunjuk anak laki-laki yang merebut bukuku. Betapa terkejutnya aku, Abang berada di belakang anak laki-laki yang mengambil bukuku.

Sontak saja aku berlari menuju Abangku yang sesungguhnya sambil menahan malu. Semua tertawa sambil mengejek, "Cieee....cieee..."

Ternyata yang aku peluk adalah teman Abang yang meminjam sarung Abang untuk dipakai bertarung. "Haduuhh....sarung yang dipegangnya sama dengan milik Abang"

Untungnya Abang berada tidak jauh dari sana. Semua candaan langsung dihentikan oleh Abang. Pelajaran yang aku petik saat itu adalah, Tidak menyahut bukan berarti tidak mendengar, bisa jadi memang bukan itu namanya. Apalagi dengan kondisi muka tetutup. Fisik boleh mirip, tapi orang bisa saja berbeda. Malunya aku....

Hanya selang beberapa hari, anak laki-laki itu menyatakan perasaan sukanya kepadaku, "Cieee..., Uhukk...uhuukk..."

Antara sendal dan Zainuddin MZ, sang idola

Setiap sore, menjelang berbuka. Kalau gak ikutan orangtua cari makanan berbuka ke pasar kaget, biasanya aku dan teman-teman dekat rumah suka ngumpul di lapangan buat main rame-rame. Kita main hadang, benteng, dan badus.

Jadi permainannya benteng itu, kita terpisah jadi dua kelompok. Setiap orang berhak menarik anggota dari benteng lawan sampai anggota lawan habis dan bentengnya direbut.

Sementara hadang, permainannya adalah melewati lawan yang menghadang dengan kotak-kotak besarnya, hingga berhasil sampai ujung. Badus itu lebih seru lagi. Main kejar-kejaran.

Cara menangkap lawan dengan melempar bola kasti yang dibasahi lumpur. Kalau kena bola itu, selaij baju kotor, dijamin badan terasa linu, dan kita kalah. Semua permainan ketangkasan sekali main, bisa lupa waktu, Hehe...

Pernah suatu hari, permainan sangat imbang, sama-sama tidak ada yang mau mengalah atau berhenti. Sore itu suara Ustadz Zainuddin MZ sudah mulai membahana, hingga tidak terasa beduk adzan bertalu. Sontak saja kami semua langsung bubar.

Karena rumah aku cukup dekat dengan lapangan, tentu saja aku tidak secepat kilat teman-teman lainnya. Dengan sabar, aku menunggu teman-teman lain mengambil sendal masing-masing di kumpulan sendal di pojokan. Memang bermain permainan-permainan yang membutuhkan kecepatan, kami sering kali membuka sendal agar lebih gesit bergerak.

Setelah tidak ada lagi yang mengambil sendal, tentu saja harusnya tinggal sendal aku saja yang tersisa. Tapi, "Kemana ya sendal aku?"

Sandal (sumber: ebipo/Kaskus)
Sandal (sumber: ebipo/Kaskus)

Diantara perasan bingung dan takut dimarahin, aku mulai bolak-balik mencari di sekeliling. Daripada ketahuan sendal hilang, akupun berlari pulang ke rumah sebelum mama semakin marah.

Sesampainya di rumah, mama bicara kepadaku, "Kalau sudah dengar suara Zainuddin MZ bicara dari Masjid, pulanglah. Mandi belum, baju kotor lagi,".

Akupun diam mendengarkan daripada tambah lama kena omel, lagian memang bisa, Zainuddin MZ ngomong di setiap Masjid yang berbeda dengan waktu berbarengan? *Peace Ma..., Memang hanya Ustadz Zainuddin MZ yang tahu kapan saat buka puasa, Hehehe....

Saatnya mau pergi tarawih, hati mulai gusar. Sendal hilang, mosok mesti pergi sholat pakai sendal pesta, apalagi pakai sepatu sekolah, hahaha...

Akhirnya dengan kekuatan bulan, setelah mengenakan mukena, secepat kilat aku balik ke lapangan pakai sendal papa, sebelum beliau keburu berangkat ke Masjid. Ga nyangka, sendalnya nyangkut dekat pohon ga jauh dari tempat tumpukan sendal yang tadi. "Lho, kenapa tadi gak kelihatan ya?" Pikirku lega.

Sesampainya di Masjid, saat kumpul dengan teman-teman, salah seorang temanku menghampiri kami sambil terengah-engah berkata, "Tadi barusan pas lewat lapangan, ada putih-putih dekat pohon pojokan," Semua berteriak ketakutan, kecuali aku yang sadar kalau aku tadi yang ada di lapangan saat mencari sandal, hihihi...

Sekarang giliranmu berbagi kisah nostalgia Ramadanmu, ditunggu ya!

Salam Kompal,

Kompasianer Palembang (sumber :FB )
Kompasianer Palembang (sumber :FB )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun