Gak tau juga kenapa aku selalu diijinkan sama Guru yang piket di UKS. Dan berhubung gurunya ganti-ganti, jadi akunya selow datang setiap hari. Hingga suatu hari masuk Minggu ke dua, seorang guru yang pernah sebelumnya jaga, bicara sesuatu saat aku permisi mau masuk kembali ke kelas.
Sambil berbisik, Ibu Guru itu bilang, "Lya... Ngoroknya tadi gede banget...kamu ijin pulang aja sekalian tidur di rumah, nanti dibuatin surat keterangan,"
Sebagai wanita terhormat, rasanya pengen segera ambil kantong plastik item buat nutupin muka. Sambil menahan malu, setengah berlari aku menuju kelas. Sejak itu aku gak pernah kembali lagi ke UKS untuk waktu yang lama dan lebih memilih memejamkan mata sesaat di pojokan kelas sambil menunggu guru masuk kelas. *Hehee....
Buku Ramadan Tersayang
Yang muda di era 90-an mesti tahu sama kewajiban anak sekolah pas lagi bulan Ramadan. Yup! Tandatangan buku setoran ramadan.
Dengan kewajiban yang sama, artinya setiap sekolah dengan berbagai tingkatan wajib punya buku setoran. Meskipun masjid tersebar di seantero jagad raya, setiap akhir sholat tarawih biasanya di setiap masjid bakalan numpuk dengan anak-anak sekolahan yang berebutan buat minta tandatangan Imam dan Penceramah. Termasuk aku, si anak baik-baik dan berprestasi di sekolah *cihuy
Gak mau ada sedikitpun kolom yang bolong, hari itu berencana meminta tandatangan lima kali alias untuk lima hari karena hari-hari sebelumnya aku tidak sholat tarawih disebabkan mendapatkan 'bendera Jepang'. Entah mengapa perasaan malu menyeruak muncul jika mendapat hari istimewa, bisa jadi saat itu anak perempuan masih pada lugu ya?
Dengan semangat membara, akupun mulai melangkah, nyelip diantara anak lainnya. Beruntung punya badan mungil, bisa nyempil dengan gesit.
Berhasil mendapat tanda tangan sekali, aku kembali meluncurkan serangan. "Heran juga itu Imam ga sadar apa ya, tanda tangan diatasnya punya beliau? Apa karena sudah terlalu banyak, jadinya beliau udah gak peduli lagi?"
Dan aku pun berhasil mendapatkan semua tandatangan yang diinginkan. Namun, ketika saatnya minta tandatangan penceramah, untuk yang kedua kali, setelah menunggu cukup lama, namaku tidak dipanggil-panggil.