Mohon tunggu...
Herlya Inda
Herlya Inda Mohon Tunggu... Administrasi - Momhomeschooler

I am the ordinary mom, love Kids, Playing, sometimes writing bout me & Kids activity and homeschooling. visit my blog at https://www.herlyaa.com/

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

(Kompal Cemara) Sisi Lain Keluarga Cemara, Ketimpangan hingga Rasa Bersyukur

6 Januari 2019   11:12 Diperbarui: 6 Januari 2019   11:57 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
goodnewsfromindonesia.id


Harta yang paling berharga adalah keluarga

Istana yang paling indah adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga

Mutiara tiada tara adalah keluarga 


Sedikit cuplikan lagu sountrack film keluarga cemara yang baru rilis beberapa hari lalu, mengingatkan saya dengan sinetronnya berjudul sama yang selalu saya tonton saat kecil.

Lirik lagu sarat emosi yang selalu membuat saya menitikkan air mata saat mendengarkannya.  Jauh kenangan disaat dulu saya selalu menonton di televisi lengkap seluruh anggota keluarga.  

Cerita kejadian sehari-hari dengan pesan moral yang selalu dibahas setelah sinetron berakhir.  Hingga di hari perdana film  tayang di bioskop, sayapun menontonnya lengkap bersama keluarga.  Bedanya dulu masih anak-anak, sementara sekarang sudah berganti peran menjadi orangtua.

Di kisahkan sebuah keluarga yaitu Abah (Ringgo Agus Rahman), Emak (Nirina Zubir), serta anak mereka Euis (Adhisty Zara) dan Ara (Widuri Sasono)  yang tiba-tiba mengalami kebangkrutan dikarenakan permasalahan utang piutang yang disebabkan oleh  iparnya. Kejadian diperlihatkan begitu cepat.  

Rumah disita, menginap di kontainer yang merupakan kantor kecil Abah, hingga dibuat timingnya masa liburan sekolah, dan mereka pindah ke rumah masa kecil Abah di 'kampung' .

Kejadian drama mulai mengalir saat melihat kondisi rumah yang kotor dan sedikit kerusakan.  Gambaran kekecewaan dan berusaha untuk menerima segala kondisi yang apa adanya.  

Meskipun subjektif pendapat saya, rumah tersebut dengan kondisi tanah yang luas dan perabotan lama yang cukup lengkap menggambarkan kondisi rumah yang tidak reyot sekali.  Rumah yang jaya pada masanya. Hanya perlu sentuhan sedikit, maka rumah menjadi nyaman ditinggali kembali.

Esoknya  gotong royong masyarakat sekitar dimulai untuk menolong memperbaiki kondisi rumah warisan Abah.  Terlihat penggambaran yang mungkin saat ini menjadi langka ditengah kehidupan individual modern di perkotaan.  Saat itu sosok Ceu Salmah (Asri Welas) muncul untuk diperkenalkan sebagai seseorang yang pada perjalanan film ini menjadi peran cukup penting hingga tidak bisa disepelekan.

Singkat cerita masa liburan berakhir.  Kepindahan tersebut tentu saja berimbas dengan Kepindahan sekolah Euis dan Ara yang sebelumnya di Jakarta (notabene) Kota metropolitan ke kota kecil di Cisarua yang merupakan  salah satu kabupaten di Bogor.

Sedikit rangkuman ucapan Emak saat berkata kepada Ara dan Euis yaitu  mereka akan bersekolah di  Sekolah yang fasilitasnya berbeda saat masih di Jakarta, meskipun begitu, sekolahnya 'cukup' bagus dengan guru-guru yang baik.

Itu hanya sebuah awalan.  Hingga di pertengahan cerita di tampilkan bagaimana kepiawaian Bahasa Inggris Euis cukup jomblang dengan teman-teman satu kelasnya di Cisarua.  Bagaimana itu bisa terjadi? Sungguh diperlihatkan bagaimana perbedaan kemampuan siswa yang berusia sama dan strata tingkat sekolah yang sama.

Hingga salah satu yang jadi pemicu keinginan Abah menjual rumah warisan tersebut adalah saat pertemuan dengan gurunya Euis (Gading Marten) yang mengatakan bahwa Euis adalah murid yang cerdas.  Sangat disayangkan jika ia masih bersekolah di sana.  Alangkah baiknya jika Euis kembali pindah ke Jakarta agar kecerdasannya terfasilitasi.

Wohooo...  Abahpun mulai melihat harga rumah susun, hingga terpikir tidak apalah terbatas, yang penting kembali ke Jakarta dan anak-anak bisa sekolah kembali dengan fasilitas yang lebih baik.

Sementara Euis yang pada akhirnya diperlihatkan mulai merasa lebih nyaman dengan teman-teman di Cisarua karena merasa sudah terlupakan oleh teman-teman Jakarta ditambah kehadiran Abah jauh lebih banyak ditengah keluarga dibandingkan saat di Jakarta, menyadari bahwa ia akhirnya lebih menyenangi tinggal di sana.

Tapi, bagaimana dengan ungkapan  fasilitas pendidikan yang di gadang-gadang oleh Pak Guru  bahwa sekolah tersebut tidak dapat mengakomodir Euis yang dinilai sebagai murid yang cerdas sehingga lebih baik Euis kembali ke Jakarta?

Sejujurnya saya suka dengan ceritanya yang mengalir, natural bagaimana sebuah keluarga mengatasi permasalahan bersama.   Ada rasa haru, tangis dan tawa yang berhasil mengaduk perasaan saya.  Nilai kejujuran dan kegigihan bertahan hidup hingga sosok Ceu Salmah dapat menghidupkan suasana bahwa hidup itu selalu penuh warna. 

Namun kembali lagi sangat disayangkan, mengapa salah satu pemicu konflik adalah pemikiran  Ketimpangan pendidikan antara 'Kota Metropolitan' Jakarta dan 'kampung' Cisarua? Benarkah sekolah desa tidak akan mendapatkan kesetaraan hasil dengan yang bersekolah di kota? Mengapa kesempatan baik harus didapatkan di kota besar? 

Ataukah sekolah di pinggiran artinya adalah  dianaktirikan? Jika anda merasa cerdas, artinya anda tidak baik jika bersekolah di kota kecil. Bagaimana jika termasuk yang kurang memiliki minim dana hingga mau tak mau  menerima kondisi yang penting bersekolah?

Rasanya tidak usah bicara perkotaan dan pinggiran kota.  Dalam satu kota besarpun, perbedaan fasilitas dari banyaknya sekolah tetap ada perbedaan.  Silakan dibandingkan sendiri. 

Cukuplah kesalahpahaman hanya dibatas keinginan Euis yang sepertinya sulit 'move on' dengan teman 'Jakarta' tanpa disertakan embel-embel pernyataan Pak Guru bahwa lebih baik Euis kembali bersekolah ke Jakarta.  Atau bisa jadi film ini ingin menyelipkan pesan kepada pemerintah bahwa samakan standard diseluruh sekolah di Indonesia agar dapat mengakomodir siswa cerdas dimanapun berada. 

Sisi lain film ini bisa jadi membuka mata kita bahwa itulah fakta yang terjadi di pendidikan Indonesia pada umumnya.  Hal yang menyebabkan pergeseran arus urbanisasi dari desa ke kota secara terus menerus meningkat.  Pemikiran dan perasaan  ketimpangan hingga kesempatan yang dibedakan. 

Cerita akhir ditutup dengan pentas sekolah dimana Ara tampil sebagai salah satu pemerannya.  Sedikit aneh, mengapa guru sampai melupakan Ara untuk dipanggil saat perkenalan pemain.  Padahal jumlahnya pun tidak banyak.  

Apakah ingin dikaitkan dengan kostum pentas ara adalah kostum lama tahun lalu, sehingga menjadi ikut terlupakan? Atau karena bagian akhir Pentas ingin memperlihatkan bagaimana seluruh anggota keluarga saling mendukung anggota keluarga lainnya yang ditunjukkan dengan seruan Abah memanggil Ara diikuti Emak, Euis hingga guru meminta maaf dan memanggil Ara sebagai pemain penutup.

Keluarga yang saling mendukung  dan bersatu dapat mengatasi semua keterbatasan hingga dapat menjadikan sebuah kelebihan.
Selalu ada sisi indah dibalik kesulitan, selalu ada hikmah yang terjadi dibalik kegetiran hidup.  Karena dibalik kekurangan  akan selalu ada kekuatan menumbuhkan.  Karena diantara tangisan akan ada tawa yang menghidupkan.

Semoga dengan bergabungnya saya menjadi salah satu anggota keluarga kompal menghilangkan kelemahan  dan memunculkan sisi lain yang menjadi kelebihan saya.  Salam kompak, Salam Kompal!

kompal
kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun