Wacana pluralisme dan multikulturalisme kian kentara dibahas, mulai dari kampus tempat berkumpulnya kaum intelektual, mimbar pejabat negara, surau, bahkan lapau (warung). Apalagi semenjak menguatnya narasi moderasi beragama, keduanya menjadi kata yang tidak terpisahkan untuk dibicarakan. Kendati pun kadang penggunaan keduanya kerap salah kaprah. Yang mana suatu isu seharusnya disebut dengan pluralisme tapi disebut dengan multikulturalisme. Tidak jarang keduanya disebut pula secara bersamaan.
Kedua kata ini sebenarnya memiliki makna yang berbeda dan konteks yang berbeda pula. Melihat kembali ke belakang perihal akhiran "isme" pada sebuah kata tidak hanya menyangkut keyakinan atau kepercayaan semisal Dinamisme. Bisa saja berupa makna tentang sikap, gerakan politik, gerakan artistik, penyebutan terhadap penyakit, tentang kondisi dan keadaan, karakteristik dan lain sebagainya. Hal ini didasarkan kepada istilah-istilah kata yang mengandung "isme" dalam Kamus Isme-Isme Yapi Tambayong, 2013.
Penulis tidak akan membahas lebih jauh mengenai akhiran-akhiran "isme" dalam Bahasa Indonesia. Sebab selain kurang tepat dan juga bukan kapasitas penulis sebagaimana layaknya orang yang mendalami linguistik. Penulis memfokuskan kepada persoalan subtansi pluralisme dan multikulturalisme.
Pluralisme dan multikulturalisme sejatinya sama-sama mengingatkan tentang realitas keberagaman. Namun pluralisme berkenaan dengan pengakuan terhadap keberagaman agama. Pluralisme bersentuhan dengan fenomena adikodrati yang mempengaruhi kehidupan manusia. Pluralisme sarat kaitannya dengan Tuhan dan iman kepada Tuhan.
Substansi pluralisme adalah realitas agama yang beragam. Pluralisme merupakan seruan untuk menerima yang lain (agama bahkan Tuhan) manusia lainnya dengan segala kelainannya itu. Dalam pluralisme hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan agama harus dikesampingkan, sebab pluralisme adalah bagaimana menerima agama yang berbeda-beda tersebut.
Sebab keberagaman agama adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin dapat ditolak dan dibantah adanya. Pluralisme mengedepankan bagaimana memberikan ruang (penerimaan) terhadap masing-masing agama dengan dogma dan ajarannya mengusahakan jalan terbaik untuk membawa perjumpaan penganutnya dengan Tuhan yang diyakini.
Tanpa menghilangkan klaim kebenaran masing-masing agama, karena setiap agama punya dasar kebenaran atas agamanya sendiri yang khas dan unik. Bahwa inilah realitas dalam pluralisme, tidak satu pun agama yang paling benar. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana merekayasa perbedaan itu dalam sebuah batasan wilayah iman dan sosial.
Tentang multikulturalisme adalah bagaimana menerima yang lain sejauh perbedaan itu disebabkan atau berada pada wilayah kultural. Sebuah analogi analogi implisit dalam tulisan Bryan Fay, Jary dan Jary dan C.W Jatson (Yonky, 2007),"perbedaan seperti mosaik, kepingan-kepingan kecil kebudayaan dari berbagai kelompok minoritas disusun layaknya suatu objek gambar mencitrakan kedamaian  dan kerukunan, percampuran kepingan yang berbagai bentuk dan warna pada mosaik tak lain adalah perbedaan yang tergabung dalam suatu kelompok yang bernama masyarakat".
Melihat akar historis multikulturalisme, di Kanada tahun 1971, Mantan Perdana Menteri Kanada Pierre Truedeau keragaman budaya harus diperlakukan sama atau kesederajatan proposisi budaya di tengah masyarakat Kanada. Wacana pengakuan keragaman yang lebih tua daripada Kanada, di Amerika tahun 1970 ketika imigran Asia masuk ke Eropa dan Amerika. Pertemuan ini menghasilkan kesadaran bahwa di dunia luar ada peradaban timur yang sedang berkembang (Hipolitus K Kewuel, 2017). Kemudian pada level selanjutnya bergerak lebih jauh menuntut kesamaan dan penerimaan akan perbedaan cara hidup.
Memahami keragaman kultural bukan dengan memaknai keragaman dipadukan menjadi satu, atau mengakui perbedaan dengan makna yang nihil. Akan tetapi keragaman diakui secara universal dalam perbedaaan yang universal. Bukan absolut ketunggalan tapi absolut yang beragam. Mengakui keragaman dimaknai sebagai suatu keunikan yang tumbuh dan berkembang sebagai dan disebabkan oleh proses kultural yang diterima secara terbuka oleh siapa saja.
Dengan demikian pluralisme berbicara keragaman agama. sedangkan multikulturalisme adalah tentang keberagaman perbedaan kultural. Keduanya tidak dapat disamakan karena berada pada wilayah dan porsi yang berbeda secara signifikan.