Mohon tunggu...
Luzian pratama
Luzian pratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - #PandanganSosial #SeputarMasyarakat

Cuma menulis yang patut ditulis, dibaca syukur, kalau tidak dibaca harus baca dulu. Hehe

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meramal Pucuk Moderasi Beragama

16 November 2021   22:52 Diperbarui: 16 November 2021   23:04 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam berbagai acara seminar kampus, gagasan seputar moderasi beragama kian berdengung. Kata moderasi sendiri selalu dipertentangkan dengan istilah radikalisme dan ekstremisme. Berbagai kejadian yang telah lalu pun diungkit lagi untuk menguatkan gagasan moderasi beragama. 

Lantas apa moderasi beragama itu?Moderasi secara bahasa, moderatio dalam bahasa Latin, moderat dalam KBBI, washatiyah dalam bahasa Arab. Kesemua itu memiliki arti sedang, pertengahan, standar atau tidak berlebih-lebihan. Disandingkan dengan kata beragama, memiliki maksud berlaku sedang, tidak berlebih-lebihan dalam mengamalkan ajaran agama yang dianut. 

Merujuk kepada nalar kritis para ahli, moderasi berarti tidak ke kanan dan tidak ke kiri. Seperti dikemukakan oleh Prof. Komaruddin Hidayat, moderasi beragama berangkat dari kutub ekstrim kanan dan ekstrim kiri.

Secara general jika arti moderasi itu telah tepat tidak berlebih-lebihan, maka moderasi beragama dapat dimaknai sebagai porsi bagi penganut agama dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Dengan begitu moderasi tidak bisa diidentikkan dengan satu agama saja, semua penganut agama di Bumi Pancasila harus menjadi penganut agama yang moderat. 

Sehubungan dengan radikalisme dan ekstremisme yang selalu dipertentangkan dengan moderasi, maka perlu dilihat dengan kacamata beragama agar alasan munculnya paham radikal dan ekstrem itu menjadi sedikit lebih jelas.

Para radikalis dan ekstremis kanan muncul karena memberikan porsi berlebihan memahami agama secara tekstual. Sehingga dalam menjalankan agama, apa saja yang ada pada teks dianggap sebagai kebenaran yang tidak terbantahkan. Dan apa saja yang tidak ada pada teks, maka dianggap telah melenceng dari ajaran agama. 

Radikalis dan ekstremis kanan cenderung tidak melihat kondisi realitas, bahwa menjadi penganut agama dalam sebuah negara terdapat keberagaman yang harus diakui. Para radikalis dan ekstremis kanan ini memiliki semangat yang sangat besar untuk menerapkan hukum yang berlaku dalam agamanya.

Sebaliknya kaum radikalis dan ekstremis kiri muncul karena memberi porsi lebih pada kondisi realitas. Sehingga dalam praksis menjalankan agama cenderung melupakan teks dan hanya berpaku pada akal dalam memahami permasalahan agama. Pemahaman beragama bagi golongan radikalis dan ekstremis kiri memberikan ruang seluas-luasnya pada akal. 

Sehingga otoritas teks suci dari tuhan sebagai sumber beragama menjadi terabaikan. Radikalis dan ekstremis kiri, dalam persoalan agama akan berbicara konteks, relevan atau tidak.

Kedua sebab tersebut memiliki dampak yang sama buruknya. Radikalis dan ekstremis kanan akan melahirkan sebuah gerakan dan tindakan anarkis dalam bernegara. Sedangkan golongan radikalis dan ekstremis kiri akan mencoba mengotak-atik ajaran agama yang bersifat ilahi dengan dalil-dalil yang berdiri di atas nama rasionalitas dan kemanusiaan.

Dengan demikian kedua cara pandang beragama tersebut sama-sama tidak ideal. Oleh karena itu diperlukan titik tengah yang kekinian disebut dengan moderasi beragama. Alasannya sangat sederhana, bahwa semua ajaran agama dipastikan menginginkan kedamaian bagi setiap penganutnya dan orang di sekelilingnya. 

Apalagi dalam konteks keindonesiaan yang memiliki keberagaman suku, bahasa dan agama, sangat tidak pas bila menjadi radikalis ataupun ekstremis baik itu kanan maupun kiri. Maka beragama secara moderat merupakan pilihan sangat representatif untuk menjawab persoalan bagi setiap penganut agama dewasa ini.

Namun perlu juga dipertanyakan, dengan giatnya pemerintah membumikan gagasan moderasi beragama, apakah ujungnya sebatas toleransi bagi setiap penganut agama?. 

Jika benar, maka sangatlah sempit pemahaman akan moderasi beragama di kalangan pemangku jabatan negeri ini. Sangatlah tidak pas apabila moderasi beragama hanya terpaku pada tatanan konsep yang dipakai oleh para penganut agama. Dalam status seperti itu, moderasi beragama terputus pada pemahaman tidak berlebih-lebihan saja.

Penulis mencoba memaknai lebih luas soal moderasi beragama ini. Penulis merujuk kepada pemikiran Kuntowijoyo dan memakai istilah yang ia gunakan dalam merumuskan ilmu sosial profetik. 

Memang dari segi landasan pemikiran Kuntowijoyo berangkat dari Alquran surat Ali Imran ayat 110. Namun kali ini, penulis mencoba merekonstruksi nalar kritis Kuntowijoyo tersebut dan mengawinkannya dengan moderasi beragama sebagai produk untuk menghasilkan kedamaian umat beragama.

Penulis berpendapat bahwa pucuk dari moderasi beragama adalah humanisme, liberasi dan transendensi terhadap manusia beragama di Nusantara. Dalam posisi ini perlu ditekankan, penulis tidaklah menyebutkan bahwa semua agama datang dari Allah SWT. Namun yang tidak dapat dipungkiri adalah setiap agama memiliki tuhan.

Moderasi beragama mewujudkan humanisasi

Kuntowijoyo berpendapat konsep humanisasi adalah memanusiakan manusia, anti kekerasan dan kebencian. Secara esensial jika beragama moderat menjadi tolak ukur setiap umat beragama, maka yang terjadi adalah tegaknya nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat. Karena tidak mungkin, nilai-nilai kemanusiaan itu akan tegak dengan cara kekerasan. 

Apalagi kekerasan sangat bertentangan dengan kemaslahatan umum. Dan yang paling krusial adalah ajaran agama tidak akan diterima masyarakat apabila disampaikan dengan cara melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Penulis sangat yakin tidak satu pun tuhan dalam sebuah agama yang menginginkan terjadi kekerasan dan kerusakan di antara manusia.

Hasil moderasi mewujudkan humanisasi adalah manusia Indonesia sebagai manusia beragama, akan menjunjung tinggi rasa keadilan, kasih sayang dan kesusilaan dalam  interaksi sosial. Dengan rasa kemanusiaan terpatri di hati maka seseorang yang beragama tidak akan mudah menghakimi manusia lain dan akan sangat mudah menerima perbedaan dan keragaman. Tidak hanya soal dirinya dengan orang lain, humanisasi juga berlaku untuk individu tersebut. Dengan maksud humanisasi terhadap manusia beragama yakni menyadari dirinya adalah makhluk yang diciptakan tuhan.

Moderasi beragama mewujudkan liberasi
Singkatnya liberasi adalah adalah upaya pembebasan manusia dari belenggu pengetahuan, ekonomi dan politik serta berbagai aspek lain. Dikaitkan dengan moderasi beragama, maka hasil yang dicapai adalah manusia beragama akan membebaskan dirinya dari segala sesuatu yang akan merubah statusnya menjadi makhluk yang hina di mata tuhan karena perbuatan jahatnya.

Untuk memelihara kesempurnaannya sebagai insan paling sempurna diciptakan tuhan, manusia senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban agama yang diperintahkan. Keimanan kepada tuhan bukan hanya tersimpan di dalam hati, tetapi harus dijewantahkan dalam sikap dan perbuatan sehari-hari. 

Dengan beragama secara moderat, manusia Indonesia yang dikenal agamais akan berupaya melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang ia imani tanpa merusak iman orang lain. Lebih daripada itu, jika moderasi beragama diimplementasikan dengan baik akan membebaskan manusia dari belenggu ketidakberdayaan ekonomi, belenggu politik indentitas, dan belenggu pengetahuan dalam menjalankan agama.

Sebagai contoh; belenggu yang masih mengakar di tengah umat islam adalah masih percayanya akan mitos. Dengan beragama secara moderat, umat islam yang masih percaya akan mitos itu segera membebaskan diri dan berpikir secara rasionalitas.

Moderasi beragama mewujudkan transendensi

Dalam ranah transendensi, moderasi beragama menurut penulis mampu menyadarkan manusia akan tujuan hidupnya sesuai dengan keyakinan yang dianut. Bahwa dengan beragama, manusia itu bisa membedakan benar atau salah dan mampu membuat pilihan hidup yang lebih baik

Di tengah kondisi ini, moderasi beragama tidak lagi sebatas gagasan yang tersimpan dalam kepala belaka. Ujungnya, para penganut agama menyadari beragama bukan sekedar identitas melainkan sebagai jalan menuju tuhan. Dan sudah seharusnya pula, beragama membuat sadar penganutnya sebagai makhluk ciptaan yang lahir dan saling butuh satu sama lain.

Dengan demikian, beragama tidak hanya membuat kita dekat ke pada sang pencipta, namun juga ke sesama manusia, makhluk lainnya, dan juga bumi tempat berpijak. Pada akhirnya, dengan beragama perlahan-lahan berubah dan bertransendensi menjadi a higher state of consciousness.

Akhir kata, moderasi beragama bukanlah sebatas untuk menghasilkan sikap toleransi antar umat beragama. Tapi lebih luas lagi, untuk mewujudkan sumberdaya manusia beragama menjadi lebih berkualitas dan membangun bangsa dengan sikap kebersamaan tanpa harus merusak, menghakimi, dan menyinggung keyakinan orang lain. Indonesia sudah beragam sejak sedia kala masih bernama Nusantara. Dan keragaman itu adalah kehendak tuhan. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang agamais, keberagaman dan persatuan harus dijaga dengan cara beragama yang benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun