Pernah mendengar istilah Tiny House?
Bagi Anda pecinta gaya hidup minimalist, mungkin kata "Tiny House" sudah tidak asing lagi.Â
Bagi yang belum tahu, coba search kata ini di internet, maka akan muncul gambar-gambar Rumah Mungil yang imut-imut hehehe.
Yah itulah Tiny House.Â
Rumah Mungil yang telah menjadi tren gaya hidup sederhana "Less is More" di dunia barat.
Pertama kali saya dengar tentang Tiny House adalah sekitar tahun 2007. Pada waktu itu, informasi mengenai Tiny House ini belum sebanyak sekarang. Informasi masih terbatas pada perusahaan Tumbleweed Tiny House Company milik Jay Shafer di California. Dialah yang pertama kali membawa ide Tiny House ke tengah masyarakat luas sekitar awal tahun 2000an. Jay Shafer membuat beragam model Tiny House yang dibangun di atas trailer beroda sehingga bisa nomaden/ berpindah-pindah tempat.
Ada juga Dee Williams, seorang wanita yang yang terkenal dengan bukunya The Big Tiny. Dia juga tinggal di sebuah Tiny House di halaman belakang rumah temannya. Dee mengalami transformasi besar dalam hidupnya setelah divonis sakit gagal jantung kongestif oleh dokter. Dia telah meninggalkan rumahnya yang besar di Portland dan merasa lebih nyaman dan bisa lebih menikmati hidup dengan tinggal di sebuah Tiny House.Â
Pada intinya mereka-mereka ini, adalah manusia-manusia yang telah mendapatkan pencerahan, mereka menyadari bahwa selama ini apa yang kita kejar dalam hidup bukanlah hal-hal fungsional/esensial dan benar-benar kita butuhkan.
Rumah besar nan mewah dengan segala perabotan dan hal-hal tidak penting lainnya menumpuk dan memberi gengsi, bukan fungsi.Â
Alih-alih mengikuti tren hidup mewah, mereka memilih hidup anti mainstream, hidup lebih dekat bersama alam, dan mengurangi ketergantungan kita pada benda-benda kurang berguna. Bayangkan saja, dalam rumah sekecil itu, kita harus bisa selektif dalam menentukan barang-barang apa saja yang akan kita simpan. Bagi mereka, lebih baik sedikit barang dan ruang, tapi semua kebutuhan pokok bisa terpenuhi, dan lebih banyak lahan terbuka sehingga kita bisa menikmati hidup yang lebih sehat.Â
Saat ini makin banyak bisa kita temui beragam Tiny House di internet. Dari bahan rumah kayu sampai kontainer, dari model rumah segitiga sampai kubus. Tentunya dengan material berkualitas dan pengerjaan desain yang rapi dan elegan.
Â
Tiny House di Indonesia
Bagaimana dengan di Indonesia?Â
Rasanya saya belum temukan orang-orang yang memiliki peminatan khusus pada Tiny House ini. Paling banter, mungkin ada  berupa shelter sementara dari kontainer untuk pekerja proyek dan toko waralaba.
Secara fisik, sebenarnya banyak. Tidak percaya?
Lihat saja rumah-rumah petak dan  kontrakan yang sayang sekali dibuat ala kadarnya dan berada di lingkungan yang kumuh.
Terlihat bedanya kan?
1. Ya, orang-orang Indonesia tinggal di rumah-rumah kecil karena TERPAKSA karena kondisi ekonomi dan terbatasnya lahan. Bukan karena kesadaran ingin hidup sederhana.
2. Orang-orang Indonesia tidak peduli akan estetika. Mereka tidak peduli/tidak tahu cara pengaplikasian desain yang cocok dengan rumahnya. Asal tempel triplek, asal cat warna-warna mencolok sudah dirasa keren.
Â
3. Mereka tidak mengenal gaya desain minimalis yang sebenarnya paling cocok untuk rumah mungil. Kebanyakan masih berpandangan bahwa rumah bagus itu adalah rumah mewah dengan segala lekuk dan perabotan khas gaya klasik. Tak heran, banyak yang memaksakan desain berat, cat mencolok, perabotan, dan pernak pernik yang tidak sinkron menumpuk di rumah kecilnya. Padahal, sama sekali tidak cocok.
4. Mereka tidak ada kesadaran untuk hidup bersih dan rapi. Sehingga rumah kecil di lingkungan kumuh dan minim kesadaran akan terus berkembang dan makin menyempit seiring populasi manusia Indonesia yang terus meningkat.
Semoga kesadaran masyarakat Indonesia lebih meningkat untuk bisa hidup sederhana dan peduli lingkungan.
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H