Stunting merupakan salah satu masalah gizi yang  krusial, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang karena merupakan bentuk kegagalan tumbuh kembang yang menyebabkan gangguan pertumbuhan linear pada balita akibat dari akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama, mulai dari masa kehamilan sampai usia 24 bulan. Kekurangan gizi pada masa tumbuh kembang anak di usia dini akan menghambat perkembangan fisik, meningkatnya kesakitan, menghambat perkembangan mental anak, dan bahkan menyebabkan kematian. Balita yang mengalami masalah gizi stunting memiliki risiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual, produktivitas, dan kemungkinan risiko mengalami penyakit degeneratif di masa mendatang. Secara global angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2017, terdapat sekitar 150,8 juta atau 22,2% balita yang mengalami stunting. Dari keseluruhan angka tersebut, setengah balita yang mengalami stunting yaitu 55% dengan jumlah 83,6 juta balita yang mengalami stunting berasal dari Asia. Sedangkan lebih dari sepertiganya berasal dari Afrika dengan persentase sebesar 39% (Kemenkes RI, 2018).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa proporsi stunting pada balita status gizi pendek dan sangat pendek di Indonesia sudah mengalami penurunan dari 37,2% pada tahun 2013 menjadi 30,8% pada tahun 2018 (Riskesdas, 2018). Pencegahan dan penanggulangan stunting membutuhkan upaya yang bersifat holistic dan saling terintegrasi. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 merupakan salah satu strategi dalam Scalling Up Nutrition (SUN) dengan melibatkan berbagai sektor yang harus disikapi dengan koordinasi yang kuat baik di tingkat pusat sampai ke tingkat daerah. Diseminasi informasi dan advokasi kepada stakeholder dan pemangku kepentingan lain diberbagai lintas sektor pada tingkatan yang sama dan perlu dilakukan upaya pelatihan dan edukasi untuk jajaran struktural agar mampu menjelaskan dan melakukan pemberdayaan dalam meningkatkan status gizi masyarakat.
Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi dengan presentasi tertinggi proporsi status gizi stunting pada balita menurut provinsi berdasarkan data  Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 sampai 2018 dan pada tahun yang sama yaitu 2018 provinsi dengan insiden dan prevalensi stunting tertinggi berturut-turut adalah Papua, Papua Barat dan  Nusa Tenggara Timur (NTT). Prevalensi stunting di NTT terdiri dari 26,2% sangat pendek dan 25,5% pendek merupakan masalah serius (Kemenkes RI, 2013). Sebagaimana WHO mengategorikan bahwa prevalensi kependekan sebesar 30-39% merupakan masalah kesehatan masyarakat berat dan bila 40% merupakan masalah serius (2010). Prevelensi balita stunting di NTT masih cukup tinggi yaitu sebesar 42,46 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata rata nasional yaitu 30,8 persen.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, sebanyak 269.658 balita dari 633.000 balita di NTT tercatat mengalami stunting (berbadan pendek) dan 75.960 balita di antaranya mengalami wasting (kurus). Tingginya penderita balita stunting di NTT disebabkan oleh faktor gizi yang sangat kurang. Banyak ibu-ibu saat hamil tidak memberikan asupan gizi yang baik sehingga melahirkan anak dengan postur tubuh kerdil. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menduduki peringkat stunting tertinggi se-Indonesia. Namun dalam kurun dua tahun terakhir, pemerintah daerah setempat telah berhasil membuktikan penurunan angka stunting yang signifikan dari 35,4% pada tahun 2018 menjadi 28,2% di 2020, artinya bahwa stunting merupakan masalah multidimensi jadi penanganan nya harus berbasis data dan dikerjakan dari hulu ke hilir agar nantinya kualitas sumber daya manusia NTT ke depannya semakin baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H