Mohon tunggu...
L. H. Kim
L. H. Kim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

All sports player (Goodminton, Toothball, Elevennis, etc). "As The Reds go marching on on on".

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dear Marion Falfrey Adalicia

24 Maret 2015   08:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:10 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasih, aku berdiri di sini. Di lesung sunyi yang mendaratkan sisa-sisa pekat malam, sambil menelan bayang tak berujung. Aku berlayar mengarungi samudra yang tak kunjung menggariskan tepi. Pernah aku hampir menemukannya, namun sangat disayangkan kedua mataku masih mampu selirik fatamorgana membuainya. Buaian macam apa? Bukan, bukan tipuan melainkan kehendak. Aku bukan orang yang suka menuhankan alibi. Namun percayalah, keegoisanku hanya untukmu, tidak lebih. Jikapun aku mempunyai kesempatan kedua untuk lahir, aku akan melakukan hal yang sama. Ingat, melakukan! Melakukan beda dengan mengatakan.

Sekarang kamunya yang bagaimana. Aku tidak sedang mem-press kamu dengan judge-judge yang menyudutkan. Hanya saja, tak mungkin terus menerus bertingkah sebagai pemeran utama dalam sebuah pertunjukan, dimana diafragma sebuah pengharapan harus jungkir balik menahan dua medan yang saling berbenturan. Kalau memori tak mampu mengembalikanmu dalam buaian bibir senja yang katamu, dulu sekali, bisa memecah sifat pandir akut seseorang, setidaknya usaha merajut warna suci ini menjadikan (menjabarkan) sebuah pengharapan baru. Seperti elang-elang kecil yang juga baru saja tampak ujung paruknya (andai mereka memiliki batang hidung,).

Selarik pengharapan yang terbujur indah lalu kau tinggalkan sia-sia? Tidak! Tidak kasih! Aku tidak akan percaya kamu memberikannya dengan cuma-cuma. Setelah semua yang kau tanam melalui aku, kau rajut, kau hias, lalu tumbuh menjadi panorama agung nan mengesankan, lantas kau tinggal pergi tanpa permisi. Tidak! Itu semua milikmu. Semuanya, kamu yang berhak memiliki, termasuk aku, media kamu untuk membuatnya. Apakah kamu rela jika ini kembali hilang, lenyap menjadi pekat, lalu hilang ditelan waktu yang singkat? Ataukah sama sekali tidak ada pengaruhnya denganmu? Oh, tidak, aku tidak percaya.

Tapi tunggu. Mungkinkah? Sebegitu tegakah kau membiarkanku menikmati gemerlap ini sendirian? Tidak kasih, kilau ini tidak akan sempurna warnanya tanpa melibatkan warna khas milikmu. Aku tidak akan mampu menenggak anggur sendirian. Yang ada aku akan mati keracunan. Sama sekali bukan sebab terbakar, melainkan rasa hambar. Aku butuh teman yang sepadan untuk bersulang, dan sosok teman sepadan itu hanya ada dalam kamu. Kasih, jangan biarkan aku mati dalam bingar, karena sesungguhnya aku tak benar-benar mati, melainkan terkurung dalam bingkai kerinduan.

Kasih, rangkaian ini aku sampaikan sebab aku tak lagi mampu mengendalikan laju diriku. Cara berjalan yang oleng di atas rel kepatutan, mengundangmu kembali turun tangan. Sebelum aku tergelincir di tengah jalan, sebelum aku terbakar oleh panasnya hujan, sebelum aku terjerembab karena perasaan. Aku butuh kehadiranmu kembali kasih, sebab aku percaya kita bisa berjalan sejajar, tanpa merasa resah akan ribuan cela yang terhampar. Aku butuh seorang penyulam yang mampu menyulam warna menjadi tak terbatas. Aku butuh kamu. Itu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun