[caption id="attachment_315023" align="aligncenter" width="626" caption="http://wallpapermanchesterunited.blogspot.com"][/caption]
Bicara soal Manchester United, pasti banyak yang setuju kalau saya bilang mereka tidak begitu kompetitif musim ini. Bukan sebatas isapan jempol belaka memang, bahkan musim ini bisa saja disebut sebagai musim terkelam pasukan merah Manchester, semenjak digulirkannya Premier League 1992 silam, setidaknya hingga paruh pertama kompetisi. Mayoritas kalangan menyorot soal "transisi kekuasaan" yang baru saja bergulir akhir musim kemarin. Faktor ini ditengarai kuat sebagai merosotnya performa United, yang hingga sekarang masih berkutat di papan tengah.
Sebagai seorang fans, saya pribadipun merasa prihatin dengan kondisi tim kebanggaan saya saat ini. Kekalahan tiga kali beruntun di tiga ajang berbeda, masing-masing dari Tottenham Hotspur di kancah Premier League, lalu dai Swansea City di ajang piala FA, serta terakhir dari Sunderland di Capital One, adalah puncak dari rentetan hasil negatif mereka. Kalau di rasa-rasakan, memang ada yang ganjil dari skuad United saat ini, entah apa. Mungkin salah satunya karena minimnya aksi manajemen setan merah di lantai bursa. Seperti diketahui, hanya Marouane Fellaini yang berhasil di labuhkan ke Old Trafford awal musim lalu. Ini tentu tak sebanding dengan rival-rival mereka, yang menggelontorkan dana cukup besar demi merenovasi tim.
Alhasil, United kini hampir tak ada bedanya dengan musim lalu, yang tak lain adalah musim terakhir sang maestro, Sir Alex Ferguson. Pelitnya manajemen dalam hal memberikan kucuran dana-lah yang menjadi kambing hitam para fans atas monotonnya permainan tim kesayangan mereka. Memang benar, dengan pemain yang terkesan sedanya, United seperti kehilangan roh permainan. Rangkaian seranganpun mudah ditebak oleh lawan. Ditambah lagi, rasa percaya diri pemain yang terlihat mulai pudar. Mereka seperti kehilangan optimisme yang selalu terpancar di musim-musim sebelumnya, hingga United dulu di kenal sebagai king of comeback, dimana mereka bisa membalikkan keadaan, dari tertinggal menjadi memimpin. Hal semacam itu jelas tak bisa dilakukan tanpa kepercayaan diri yang berlipat ganda.
Tentu saja menjadi PR besar bagi nahkoda baru, David Moyes, untuk membawa kembali Manchester United yang sesungguhnya. Sir Alex adalah pelatih yang tak diragukan lagi kapasitas dan kredibilitasnya. Tentu saja bukan tanpa alasan dia menjatuhkan pilihan kepada Moyes untuk menjadi suksesornya. Padahal jika diberi kesempatan, tak sedikit pelatih yang dengan tangan terbuka akan menerima pinangan United. Entah apa saja faktor yang dijadikan rujukan dan pertimbangan Sir Alex, yang jelas saat ini Moyes telah menduduki singgasana kepelatihan theater of dream. Masalahnya, performa United dibawah asuhannya, belum juga menemukan permainan terbaik. Padahal kompetisi telah berjalan setengah musim. Dan para rival telah melaju dan saling sikut di papan atas.
Faktor minimnya transfer
Jika diamati sekali lagi, skuad United memang tak ada bedanya dengan musim lalu, bahkan malah bisa dibilang lebih buruk. Karena, di musim panas lalu, mereka hanya mampu menarik masuk Fellaini seorang, sementara sang pemain hingga kini masih sering berkutat dengan cedera, sehingga belum mampu mempertontonkan aksi terbaiknya. Ditambah lagi dengan pensiun permanen-nya Paul Scholes yang merupakan tombak lini kedua dengan tendangan halilintar jarak jauhnya. Praktis kekuatan United timpang. Belum lagi cedera yang membekap striker andalan mereka, Robin Van Persie. Pertanyaan besar tentu melayang-layang di benak para fans, mengapa manajemen United tak segera mengucurkan dana untuk menjemput amunisi baru? Padahal dengan nama besar The Red Devils, tentu banyak pemain yang dengan senang hati untuk bergabung. Kendati kans untuk mempertahankan gelar sangat tipis, menyusul telah mapan dan konsistennya para pesaing sejauh ini, namun United masih bisa mengupayakan posisi empat, yang merupakan batas terakhir dari pemegang tiket UEFA Champions League.
Jika mau ditengok lebih jauh lagi, pudarnya pesona United telah terlihat sejak musim lalu. Dimulai dari kekalahan saat tandang ke markas Chelsea di ajang piala FA, lalu dipaksa mengakui keunggulan Manchester City, di kandang sendiri. Meski setelah itu sempat menang atas Stoke City, namun lagi-lagi tertahan seri oleh West Ham United. Sempat tampil trengginas kala menghajar Aston Villa tiga gol tanpa balas, sekaligus memastikan diri sebagai juara musim 2012-2013, namun justru menjadi awal rangkaian buruk. Bagaimana tidak, mereka hanya dapat mencatat satu kemenangan pada empat laga terakhir di pentas liga, yaitu ketika menjamu Swansea City. Dan yang paling terasa ganjil adalah partai perpisahan Sir Alex yang serasa anti klimaks, dimana United saat itu ditahan imbang oleh West Bromwich Albion. Sempat unggul 3-1, namun West Brom dapat mengejar dan menghadirkan skor akhir 5-5.
Skuad itulah yang masih dipakai Moyes hingga hari ini. Tak heran jika salah satu klub terbaik di dunia itu mengalami penurunan drastis dalam teknik maupun filosofinya. Lini pertahanan yang semakin rapuh, barisan penyerang yang sering angin-anginan, serta sektor tengah yang tak mampu menunjukkan kreatifitasnya. Untung saja Wayne Rooney tidak jadi angkat kaki awal musim lalu. Jika saja benar-benar minus Rooney, mungkin akan lebih tidak menarik lagi permainan tim saat ini. Karena praktis hanya Adnan Januzaj yang rela naik turun demi menyeimbangkan penyerangan dan pertahanan. Amunisi muda lain yang diharapkan menyusul Januzaj-pun belum menunjukkan kelasnya. Sebut saja Jesse Lingard dan si kembar Michael Keane dan William Keane. Merekapun akhirnya harus rela dipinjamkan ke klub lain.
Kalau menurut saya pribadi, United harus melakukan perombakan besar-besaran dengan mendatangkan pemain-pemain berkelas, terutama untuk sektor tengah. Seperti Andrea Pirlo, Luca Modric, Thiago Alcantara, Koke, Ander Herrera, atau siapapun yang mampu memberikan warna baru. Sentral pertahanan juga tampaknya memerlukan tenaga baru, melihat semakin uzurnya duo Ferdinand-Vidic, serta belum konsistennya Jonny Evans, Chris Smalling dan Phil Jones. Alternatif seperti Jan Vertonghen, Marquinhos, atau Ashley Williams tak ada salahnya untuk diajak bergabung. Lini depan juga akan lebih diperhitungkan lawan seandainya ditambah dengan penyerang macam Mario Mandzukic, Henrikh Mkitaryan, Michu, lebih-lebih jika bisa memulangkan bomber asal Portugal, Cristiano Ronaldo.
Namun sekali lagi keputusan ada di tangan manajer beserta jajarannya. Itu tadi hanya sebatas analisis saya sebagai seorang fan. Bagaimanapun saya tetap cinta Manchester United. Menang, seri atau kalah adalah hal yang biasa dalam sepak bola. Namun jika kalah beruntun, maka tentu ada hal yang harus dikoreksi. Saya pernah merasakan euforia bertahun-tahun ketika United secara konsisten, mengangkat berbagai macam trofi. Dan sekarang mereka sedang terpuruk. Maka tak bijak kiranya jika saya meninggalkan United dan berpaling begitu saja. Bagaimanapun saya akan tetap mendukungnya. Barangkali memang roda nasib sedang mengharuskannya terlempar dari papan atas untuk sementara waktu. Untuk diketahui juga, United pernah mengalami puasa gelar yang luar biasa lama pasca era Sir Matt Busby. Saat itu, terakhir kali United merengkuh gelar pada tahun 1966. Selepas itu baru bisa memenangkannya lagi di tahun 1992.