Mohon tunggu...
L. H. Kim
L. H. Kim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

All sports player (Goodminton, Toothball, Elevennis, etc). "As The Reds go marching on on on".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teruntuk Clara Denina Smolnikov

7 September 2014   14:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:23 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_357697" align="aligncenter" width="576" caption="Image source: www.kickstarter.com"][/caption]

Lama. Lama sekali aku mencari kata yang tepat untuk memulai. Namun sayang, hanya jelaga yang terlahir tanpa menyisakan petunjuk. Lantas aku mengiyakan bisik hatiku saja. Aku lenturkan jari dan pikiranku, entah mau dibawa kemana. Aku bukannya tak ingin terlahir kembali. Siapa sih yang tak mau memiliki dunia yang tanpa noda. Bersih, tak memikul beban apapun, polos, teduh. Sesuatu yang menyejukkan, bukan? Jika saja ada lorong yang mengantarkanku kembali ke masa itu, aku jauh lebih memilih untuk memasukinya. Sepanjang apapun itu, yang penting aku bisa kembali ke euforia belia. Meninggalkan dan melupakan hiruk-pikuk keinginan yang menurutku semakin hari semakin aneh saja. Termasuk riuh yang timbul dari satu organ tubuh ini : hati.

Aku masih tak habis pikir, kenapa hati yang hanya sebesar kepalan tangan itu bisa mengubah pola hidup, bahkan tak jarang membuat dunia si empunya jungkir balik. Aku tidak sedang membicarakan siapa-siapa. Diriku sendiri. Ya, lorong waktu adalah lubang mustahil, menemukannya, apalagi memasuki. Selalu ada resiko yang harus diambil, apalagi kalau sudah bersangkut paut dengan yang namanya hati. Perasaan. Tak jarang perasaan yang tak terucap menjelma menjadi beban berat, hingga membuat si pemikul terhuyung mencari apa saja yang bisa mencari pegangan, tumpuan, untuk kembali ke otak jernihnya. Tapi sudahlah, aku terlanjur berkeluh kesah. Aku tak mau bertele-tele seperti ustadz yang sedang memberikan siraman rohani, atau seperti para sopir angkot yang sedang berebut penumpang, atau malah seperti para pejabat yang sedang berbusa-busa dengan cuap-cuap pencitraan. Aku mau to the point saja.

Ini yang harus aku katakan, sekarang : aku memendam rasa sama kamu. Sayang sekali aku hanya baru berani menyeduhnya dalam ramuan coretan ini. Aku belum memiliki nyali untuk melafalkan kata-kata itu di depan kamu. Jangankan bilang suka, orang ngomong saja masih jarang. Kita masih terlalu jauh. Ada beberapa langkah lagi yang harus aku lalui untuk mencapai fase itu. Sayangnya aku enggan membiarkan langkahku menjamahnya. Ada ragu yang menggelayut diantara dorongan yang hanya beberapa. Sekarang ini, aku hanya mampu memandangmu dari jauh, mengamati setiap gerak, mengagumi setiap jengkal langkahmu yang mencipta frasa luar biasa : keanggunan. Aku tak bisa mengingkari perasaanku. Setiap keanggunan yang terlahir darimu membuat hatiku menjerit cemburu ketika kau dekat dengan sesiapa. Ada perasaan tak rela yang membuncah. Padahal kita bukan siapa-siapa. Aku tak tau bagaimana cara mengurai helai demi helai perasaanku yang terlajur zigzag. Satu sisi aku love sama kamu, tapi di sisi yang lain, aku rasa sempit sekali celah yang tersedia untuk mendekatimu. Atau mungkin aku yang terlalu bodoh untuk mencarinya? Entahlah.

Aku tak tahu pasti hatimu sudah terisi atau belum. Tapi sejauh yang aku tau, kamu masih kosong, meskipun ada beberapa orang yang dekat denganmu. Tapi aku tak bisa mengambil konklusi begitu saja tentang hubunganmu dengan salah satu di antara mereka. Aku sadar, aku terlalu naif mendekatimu. Kamu mungkin juga akan berpikir, apa sih kelebihanku, apa sih yang aku punya, sehingga berani dekat-dekat sama kamu. Tapi perasaanku bukan selilit api di atas lilin yang akan padam hanya dengan sekali tiup. Bukan pula seperti busa deterjen yang akan musnah dengan sendirinya jika dibiarkan beberapa saat. Melainkan lebih mirip smartphone. Sensitif sekali dengan yang namanya sentuhan. Dan akan hancur berantakan begitu membentur lantai dari jarak tak terlalu tinggi. Tak jarang aku tenggelam dalam lamunan ketenangan berada di sampingmu, menikmati keteduhan sinar matamu, saling berbisik mesra tentang dua hati yang terrakit menjadi satu, meskipun aku telah berkali-kali menangkis bayangan itu. Ingin sekali rasanya meluapkan stok kasih sayang yang tak akan habis itu kepadamu. Namun apa daya, tanganku masih terlalu minimalis untuk menggapai matahari.

Sekali lagi aku hanya mampu mengagumimu lewat satu-dua untai kata sederhana ini. Jujur, aku bukan orang yang mudah jatuh hati. Aku bahkan pernah merasakan saat-saat aku tak tertarik sama sekali dengan perempuan. Saat itu aku berpikir, aku bisa hidup sendiri, dan nyatanya memang tak ada yang bisa membuka pintu hatiku. Tapi kamu? Kehadiranmu membuatku berbalik arah. Kamu menyita penuh perhatianku, menyalakan bara api, yang berujung pada terbakarnya pintu hatiku dan akhirnya terbuka sepenuhnya. But again, it's only for you. Untuk yang lain, masih sama seperti semula : tertutup rapat. Rasanya seperti kembali ke masa puber beberapa tahun silam. Ataukah ini yang disebut puber kedua? Atau ketiga? Keempat? Kelima? Aku tak tau pasti. Yang aku tau, hanya, aku suka kamu. Aku ingin dekat denganmu. Aku ingin hati kita menjadi satu warna, satu dimensi, senada, selaras, searah, hingga serasi. Aku ingin sekali setiap saat setiap waktu, kamu selalu membacakan mantra-mantra kedamaian untukku. Hatiku. Hatimu. Hati kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun