Dunia maya yang tercipta tatkala kita berselancar mengarungi  informasi global di internet sering disebut dengan istilah 'cyberspace'. 'Cyberspace' (mayantara) akronim dari 'cybernatics and space'. Â
Cyberspace adalah alam yang terbentuk oleh jaringan perangkat komunikasi canggih. Hanya lewat sekotak laptop atau segenggam android, hidangan segala jenis informasi dari jarak yang jauh secepat kilat hadir di hadapan kita.
Kita semua menganggap bahwa dunia yang tampak dalam internet adalah dunia semu, palsu, atau bayang-bayang saja. Meski seakan-akan 'ada' dan terlepas dari dunia ini tapi kita tidak meyakininya bahwa seluruh diri kita bisa masuk kesana.Â
Hanya indera mata, telinga, yang bisa mencerapnya dan hanya kesadaran kita saja bisa yang masuk ke dalamnya, tetapi yang lain tidak. Tubuh kita sama sekali tak bisa mengalaminya, tangan kitapun tak bisa benar-benar menyentuhnya.
Begitulah pula keyakinan para sufi dalam memandang dunia kasat mata yang kita anggap nyata ini. Bagi para sufi segala kenyataan yang kasat mata di dunia ini sesungguhnya hanyalah alam maya, persis tatkala kita menyaksikan kenyataan yang tampak di dalam layar android.Â
Di dalam tabung kecil itu kita bisa menyaksikan photocopy apa saja dari kenyataan dunia yang teraba panca indera kita. Dengan tanpa beranjak dari tempat, kita bisa menjelajah ke berbagai tempat dunia, menyaksikan dan mengetahui informasi tentang apa saja yang terjadi di sana. Dengan kekuatan jaringan internet maka jarak yang melintas batas samudera dan benua terasa hanya dalam hitungan detik.Â
Semua bisa dijangkau hanya dengan menekan tuts atau mengklik mouse.  Dengan kekuatan ruh dan  piranti indera bathin yaitu hati (qulub) manusia bahkan bisa menembus batas-batas dimensi fisik; ruang, waktu, dan jarak.
Banyak kisah luar biasa yang bisa kita temukan dalam hagiografi para sufi. Dalam 'Tadzkiratul Auliya' (Warisan Para Wali) karya Fariduddin Ath-thar yang kemudian disusun oleh AJ. Arberry, misalnya peristiwa-peristiwa ajaib (amazing stories) ini diceritakan kepada para pembaca secara telanjang. Imam al-Ghazali menyebut peristiwa-peristiwa ini sebagai 'khariqul 'adah' (supranatural). Â Para wali-sufi yang telah memperoleh karamah dengan beragam kemampuan 'metahuman', seperti teleportasi/quantum leap, time travel, medhar sukma, clairvoyant, prekognisi, telekinesis, telepati serta beragam kemampuan extra sensory perception (ESP) lainnya. Meski karamah bukanlah tujuan para sufi, tapi karamah merupakan di antara bukti kebenaran jalan spiritual.
Para hacker atau webmaster melalui pengetahuannya dan keahliannya bisa mengutak-atik bahkan mengacak-acak program atau software di alam maya. Mereka bisa mengatasi program apapun atau menyusup ke dalam gadget orang lain karena mereka sudah mengerti segala rahasianya. Demikianlah pula para wali yang memiliki karamah, kemampuan mereka untuk menembus ruang dan waktu, mengubah suatu benda menjadi benda lain, menerawang masa depan, terbang, berjalan di atas air, menghilang, memecah diri, dan sebagainya, itu semua merupakan keutamaan (fadhilah) yang diberikan kepada mereka dengan izin Allah SWT.
Melalui analogi 'cyberspace' bisa dijelaskan bagaimana pengetahuan yang lebih tinggi (spiritual) bisa mengatasi alam yang lebih rendah. Dunia fisik yang tampak dalam panca indera kita atau kita sebut sebagai alam empiris ini bagi para sufi adalah dimensi terbawah dari kenyataan-kenyataan lainnya yang lebih tinggi. Di samping alam dunia (fisikal) ini bahkan terdapat alam-alam yang lebih tinggi tingkatnya seperti alam Jabarut, Malakut, dan Hahut.
Seorang wali adalah mereka yang telah menguasai misteri dirinya dan misteri alam semesta. Dengan mengetahui apa yang ada di balik alam fisik ini maka dengan mudah segala sesuatu diatasinya dengan izin Allah SWT. Bagi para saintis modern yang berkiblat pada empirisme dan positivisme tentu saja peristiwa-peristiwa tersebut tak akan diterima sebagai kebenaran. Di samping secara epistemologi berbeda, tak mudah meyakini kekuatan spiritual selain dengan mengalaminya sendiri secara langsung.
Lantas apa yang diberikan cyberspace pada kehidupan kita? Kita bisa menyaksikan informasi visual dua dan tiga dimensi, bahkan sekarang kita seolah bisa berinteraksi langsung dengan menggunakan perangkat game supercanggih. Apa hasilnya bagi pengembangan kualitas hidup kita? Adakah kecanggihan cyberspace telah menyanggupkan kita dalam mengembangkan spiritualitas? Atau alih-alih justru malah menciptakan patologi dan mendowngrade diri kita sehingga kompulsif atau obsesif dengan teknologi?
Dunia dalam tabung itu adalah dunia hipperrealitas alias super fantasi. Semakin dalam dan intens interaksinya maka kita semakin terjebak dalam ruang sempit yang disebut  Baudrillard sebagai 'simulakrum' itu. Kita kemudian tak mampu lagi membedakan batas antara kenyataan dengan fantasi. Kehidupan kita hanya eksis di dunia yang dicipta dari impuls rangkaian angka-angka biner, sebuah alam matematis. Kita kemudian mulai terasing dengan aktivitas ruang nyata di luar tabung kecil yang lebih luas, yang udaranya dapat dihirup, benda-benda dapat diraba, yang kita bisa bergerak, berlarian di dalamnya serta berinteraksi dengan sesama manusia langsung dengan ekspresi dan gesturnya.Â
Di alam dunia ini kita merasa seolah bebas bergerak tapi sesungguhnya ruhani kita telah terjebak. Jiwa kita bahkan kini terperangkap hiperrealitas. Terkurung dalam gadget. Dunia nyata kita sebut offline sementara dunia maya kita sebut online. Kita perlahan terperangkap di dunia fantasi baru yang ajaib dan mempesona yang mengikis relasi kita dengan 'traditionalspace'.  Kita terlena dalam interaksi ketegangan artifisial dalam game, perang pencitraan di instagram, perang psikologis di facebook, perang kicauan di twitter, gaul dengan teman-teman di Whatsapp, dan tenggelam dalam fantasi drama korea atau fantasi kesaktian para hero di bioskop Netflix.  Tatkala keseharian ruang dan waktu kita begitu terserap di alam semu maka kita sesungguhnya sedang mengkerdilkan ruhani kita. Banyak manusia begitu eksis di dunia maya namun sesungguhnya  jiwa dan ruhaninya kerdil secara spiritual. Spiritualnya terbonsai oleh kesibukan dan keramaian dunia maya.
Teilhard de Chardin, seorang filsuf mistik pernah meramalkan bahwa umat manusia pada akhirnya akan berevolusi dari "biosfer" yang saat ini kita tinggali menuju dunia tanpa tubuh "noosphere".  Saya teringat pegulatan kesadaran Neo dalam film 'The Matrix'. Noosphere mana yang sekarang kini kita pilih: cyberspace yang lebih rendah dari alam maya dunia ini atau 'spiritualspace' alam yang lebih nyata dan lebih tinggi . Di cyberspace kita memang mengalami banyak kebebasan tapi di spiritualspace kita  mengakses kebebasan yang luar biasa yang bermandikan cahaya kebebasan Ilahiyah.Â
Di akhir zaman ini sudah saatnya kita mendayagunakan cyberspace bukan hanya sekadar untuk kesenangan dan komersil semata tapi juga mentransformasikannya sebagai cyberspiritual. Cyberspace yang menssupport pertumbuhan dan penguatan ruhani. Jika tidak, maka dipastikan pengalaman cyber kita pada saatnya berada dalam kendali sang mata satu.
@Wallaahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H